Thursday, January 23, 2014

CITA-CITA = KOMITMEN = DOA

CITA-CITA = KOMITMEN = DOA

            Ketika masih sekolah di SMK dulu, cita-cita terbesarku adalah menikah saat usia 21 atau 22 tahun. Entahlah, saat itu aku hanya berhitung saja dalam mencita-citakannya. Sebab bila aku menikah dalam usia 22 tahun, maka setidaknya paling lama 1 tahun berikutnya aku sudah punya anak. Berarti 23 tahun usia. Jika anak pertamaku masuk SD, maka usianya saat itu 6 tahun dan aku masih usia 29 tahun. Selama 6 tahun di SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMA, kemudian menyelesaikan S1nya 4 tahun, jika ditotal berarti usiaku masih 39 bahkan belum 40. Saat 40 tahun khayalanku adalah bahwa aku masih dalam usia produktif untuk bekerja. Sehingga masih sanggup untuk menyekolahkan anak-anakku yang lain.

            Coba tebak, apa yang terjadi?

Ya! Aku menikah tepat di saat usiaku masih 22 tahun. Saat itu aku semester 8, waktu yang sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti PPLT (Program Pengalaman Lapangan Terpadu) dari kampus. Sibuk mempersiapkan dana PPLT, sibuk mencari backup plan untuk tetap mendapatkan penghasilan selama ± 3 bulan PPLT, dan sibuk mengurusi teman-teman yang akan menjadi satu tim PPLT (sebab aku ketua tim).
 Sebulan sebelum tenggat waktu pembayaran uang kuliah tahap terakhir, dan uang pendaftaran PPLT, saat itulah aku melangsungkan pernikahan. 5 Januari 2008, di Aceh tepatnya Langsa. Calon istriku waktu itu tinggal di sana bersama orang tuanya. Tapi suku jawa. Mengenai pertemuanku dengan calon istriku, bagaimana aku meminangnya, hingga calon mertua mengijinkan anaknya yang sudah S1 IAIN Medan dinikahi pemuda yang masih belum menyelesaikan S1nya, lain waktu kuceritakan. Setelah menikah, tentu saja aku membawa istrikembali ke Kisaran. Tempat aku bekerja, dan akan menyelesaikan kuliahku.

Coba tebak, apa yang terjadi?

Kami (Istriku dan Aku), masih menetap di Pondok Mertua Indah (PMI)nya istriku, tepatnya hanya 1 bulan saja kok. Istriku juga bekerja, ditempat aku bekerja, di SMA Muhammadiyah 8 Kisaran sebagai guru BP. Aku, hanya tenaga Tata Usaha di sekolah itu. Saat aku harus menyelesaikan urusan PPLT, tak disangka aku dipanggil sama dosen yang jabatannya sebagai kepala unit PPLT di kampus. Kebetulan memang, saat itu aku angkatan ke-2 di kampusku yang masih baru, sehingga administrasi dan tenaga pekerja di unit PPLT belum tertata dengan baik. Jadi ceritanya aku diminta untuk menjadi tenaga tambahan dalam urusan administrasi di unit PPLT, mulai dari pengetikan surat hingga menerima uang registrasi mahasiswa yang akan PPLT.
Sesungguhnya tak ada yang kebetulan, sebab pastinya ini rezeki Allah bagi orang yang sudah menikah ya. Dalam kegiatan part time ini, aku benar-benar tidak perlu membayar uang pendaftaran PPLT, bahkan tiap bulan aku mendapat gaji, juga kemudahan untuk menentukan lokasi PPLT. Luar biasakan? Hehe….
Jadi, sepenjang pelaksanaan PPLT, aku benar-benar mahasiswa yang beruntung. Beruntung sebab aku sudah menikah duluan dibanding teman-teman seangkatanku, beruntung tidak bayar uang PPLT, beruntung mendapat gaji. Dan beruntung pula, di lokasi PPLT, aku malah digaji oleh sekolah (lain waktu tentang gaji yang kudapat dari sekolah tempat PPLT ini kuceritakan ya) hehe…
Kembali ke cerita awal tentang cita-cita menikahku di usia 22 tahun.
Seperti yang kusebutkan semula, bahwa kenyataan itu benar-benar terjadi, aku menikah di usia 22 tahun, dan baru punya anak setelah 1 tahun pernikahan. Jadi ceritanya, kami baru dititipkan Allah anak saat 1 tahun pernikahan. Mungkin karena doa awalnya begitu kali ya. Hehe…
Cerita doa, aku jadi teringat beberapa teman yang sudah menikah tapi masih belum punya anak. Ada yang usia pernikahannya sudah 6 tahun, ada lagi yang sudah 12 tahun, tapi hingga hari ini masih belum punya anak.

Coba tebak, mengapa demikian?

Doa. Ini menurut pemikirannku saja ya. Dan kurasa memang doa. Ternyata, saat mereka akan menikah, ada pula janji lainnya yang mereka sematkan dalam hati. Setelah menikah, mereka berkomitmen, untuk belum mau punya anak 1 sampai 2 tahun menikah. Dan ini kudapat ceritanya langsung dari mereka. Jadi, untuk apa menikah kalau tidak mau punya anak? Dan tidak hanya mereka saja, ada lagi beberapa orang yang kukenal yang belum punya anak, awal-awal sebelum menikah komitmen mereka sama: belum mau punya anak setelah menikah. Bukankah komitmen ini adalah doa. Nanti akan kuceritakan bagaimana komitmen-komitmen lainnya yang kubangun bersama istri menjadi doa-doa yang diijabah oleh Allah. Bisa jadi Allah marah, menikah kok cuma mau menerima halalnya aza, tapi nggak mau dititipin anak (maaf bila pernyataan ini salah, karena ini masih menurutku).

Coba tebak!

Aku masih tetap bisa menyelesaikan S1ku dan diwisuda saat aku sudah punya anak 1 (ssssstttt…ini juga doaku awal semester 1 kuliah lho, diwisuda sambil menggendong anak). Ini juga doa, bahwa komitmen apapun yang kubangun di awal, betul-betul di ijabah oleh Allah. Salahku sendiri sih, doanya punya anak dulu baru wisuda, kan molor 1 tahun kuliah S1 jadinya. Ups!! Hehe…..  

Jadi, tunggu apalagi, segerakan menikah bagi yang belum, bangun cita-cita, komitmen dengan baik dan bernilai positif. Itulah doa.



Sunday, January 5, 2014

INI AKU, LELAKI ITU

INI AKU, LELAKI ITU
-MUHAMMAD SAUFI GINTING-


Sajak-sajak yang dulu kita cipta dalam diam, sayang
Seperti senja yang selalu meranum
Membungkam rindu-rindu pada setiap keraguan
Hingga raga menelurkan sayap kerinduan

Resah yang dulu setiap senja kita campakkan
Akhirnya mulai menua, sayang
Bahkan menjadi memoar dalam relung-relung kalbu
Meremas-remas sayap kerinduan yang malu
Hingga menjadi mimpi tentang ibu anak-anakku

Uh…betapa satu senja saja hari ini, sayang
Ia kuredam dalam keranjang kebajikan
Agar mereda detak jantung ini di bola matamu
Ini aku, Lelaki itu
Menyulam ijab qabul pada penghulu
Menjemput engkau bersama mahar pengikat halalmu


Kisaran, 17 September 2013