Kuberitahu padamu, Nak.
Sebuah kisah yang kelak kau baca betapa apapun yang kau rasakan sejak
kehadirannmu di dunia hingga sekarang, tak semudah membalik telapak tangan. “Hidup”
saja mesti berjuang, apalagi jika menghadapi “mati”. Kami –buya dan bunda- memulai
dari nol. Entah apapun itu, meski harus getir, atau terlalu bahagia. Ini bukan
keluh dan galau yang tercatat. Hanya mencatatkan sejarah bahwa apapun kelak
jadinya dirimu, percayalah, cinta Bundamu-itulah seluar biasanya cinta. Ialah yang
lebih banyak mengenalkanmu pada dunia, pada Tuhan, dan betapa sabarnya cinta
yang ia genggam. Tanpa lelah. Maka, tanpa dirinya, bahkan diriku tak akan
setangguh sekarang
***
Sayang, cita-cita kita dulu, sungguh sangat dalam, aku merenunginya malam
ini. Langsa, 5 Januari 2008 aku menikahimu bukan tanpa alasan, dan bukan hanya
keinginan nafsu yang kupasung dalam hati dan kubuka lilitannya. Aku ingin kau
menjadi pandu bagiku, menyejukkan setiap resahku, mengingatkan pada kealfaanku
pada tuhan, begitu juga sebaliknya.
Menikahimu penuh dengan perjuangan yang sampai detik ini masih kukenang,
berjuang mengumpulkan kekuatan hati, tenaga, fikiran, dana dan pengorbanan.
Demi cita-cita menyempurnakan setengah dien
kita.
Alhamdulillah. Anak kita pertama lahir tanpa harus berhutang, tanpa harus
dioperasi. Rezeki yang berlimpah, rezeki yang tak sudah-sudah, dan kitapun
menamai anak kita AWALUL AKBAR RIZQY.
Hanya saja tak jua aku bersyukur dengan baik.
Aku tak menyalahkanmu, duhai pendampingku. Aku juga tak bisa
menyalahkanmu yang sekarang lebih memperhatikan anak kita, yang kadang terlupa
untuk mengingatkan aku apakah sudah sholat, qiyamullail, dhuha, puasa sunnah
senin-kamis. Karena aku juga semakin terlena, menjadikan alasan anak kita,
akupun “sibuk” dan lebih banyak tak sempatnya untuk itu semua.
Kata-kata ini mengarahkan jemariku
untuk mengetiknya. Jika suatu hari kau baca, istriku sayang, maafkan aku, yang
tak bisa menjadi mujahid mu, hanya
sekedar panggilan buya yang tak
membekas rasa syukur akan kehadiran kalian, dan mengalahkan cintaku pada
Allah.
Dua tahun lebih kita sudah berumah tangga. Sudah punya anak, sudah punya
rumah walaupun menyewa, sudah punya kendaraan yang tak perlu dipikirkan lagi
untuk biaya kreditnya, yang dulu-dulu ketika menikah tak berani aku
membayangkannya, hanya kuserahkan semua pada Allah.
Hari ini, Allah telah menyerahkan kepada kita dari sejak kita menikah,
rezeki kita bertambah, anak kita yang cerdas. Tapi malam ini aku merefleksi
diri, kucatatkan supaya suatu hari kau membaca ini, atau sejak ini kutulis tak
jua aku-kita kembali ke fitrah-Nya, semoga dapat membentengi kita dari semakin
jauh pada-Nya.
Ingatkah kau sayang, masa-masa kita menyelesaikan hutang setelah menikah,
dikejar tanggal masa pembayaran, kau membuka celengan ayam kita duluan dari
bawah tanpa memberi tahu aku…
Setelah keringat dingin, kembang kempis hati ini sepulang kerja tak dapat
menggali lobang lainnya. Ternyata uang kita cukup untuk melunasinya
Ingatkah kau sayang, saat kita di Aek Loba, sebulan setelah pernikahan
kita, mencoba mandiri dari orang tua, air mata yang sering kita jatuhkan
bersama.
Kau menangis di pangkuanku
Sarapan, makan siang, makan malam, lauk kita hanya ditemani kerupuk. Bahkan
untuk membuat teh panas saja kita mesti mengejar waktu subuh-subuh berangkat
mengajar, supaya dapat gratisan di sekolah, di desa Alang bonbon.
Kita tegar, bahkan semakin dekat pada tuhan
Di sanalah Alul anak kita untuk pertama kalinya di dalam perutmu. Itu rezeki, semakin kita bersyukur.
Walaupun harus berhutang di sana sayang, cukup lama untuk melunasinya.
Ingatkah engkau sayang, ketika kita kembali ke Kisaran, di jalan Suluk.
Alul sering nangis kepanasan ketika siang dan kedinginan ketika malam, dan air
hujan menetes di kakinya ketika kita sedang tidur di malam hari sayang, kita
masih dekat pada Allah.
Walau aku harus berpeluh di kala dingin karena mencari bocor yang akan ditempel,
menutup dinding yang merembes hujan…kita tak tidur dengan nyenyak sepanjang
waktu di rumah itu.
Kita melewatinya. Kau teguh sayang. Aku bersedih tak mampu
membahagiakanmu dan anak kita. Berkali-kali aku sakit gara-gara panas dingin
rumah kita yang tak menentu.
Ingatkah kau pula, seminggu kelahiran anak kita, kau harus dipindah dari
tempat tidur menuju depan pintu muka rumah kita, karena di situlah tempat aman
untuk tidur, semua rumah kita telah berisi air. Padahal di situ ada
emakmu-mertuaku…hufhhhh…tak apa..
Masih selalu kita syukuri
Ingatkah engkau bagaimana kita punya “akbar” kuda beroda dua buatan
pabrik 2 windu yang lalu, yang jungkir-balik kita menyelesaikan pembayarannya,
dan hingga hari ini menemani kemanapun kita pergi.
Sayang…
Rindu kita menjadikan mereka generasi sholeh-sholeha
Menjadi orang tua, sahabat, teman, bahkan tempat curhat mereka.
Malam ini, di
Kisaran, 10 Oktober 2010 di rumah jl. SM. Raja gg. Amal.
Kau sudah mengandung anak kita yang kedua, setelah yang pertama Awalul
Akbar Rizqy telah pandai dengan kepandaiannya, dan sudah berusia 1 tahun 7
bulan. Tuhan terus memberikan kita kebahagian, jalan yang mudah di dunia ini.
***
Ketika catatan ini kau baca nak, tanyalah
bunda-mu. “Betapa sejarah tak mesti di ulang”. Mungkin itulah jawabannya. Bahkan
saat ini, adikmu Kahfi dan Zakiyah telah turut menemani kehadiranmu.
No comments:
Post a Comment