Kenalan Sama Si Non Fiksi Dulu, Yuk….
Apa itu tulisan non fiksi?
Gampangnya, ia adalah jenis tulisan yang berkarakter ilmiah, berbasis data, dan dianalisa dengan sistematis. Kita mengenal selama ini ada tulisan berupa disertasi, tesis, skripsi, makalah, artikel, esai, resensi, hingga feature. Nah, itulah ragam rupa tulisan non fiksi. Ia dicirikan oleh hanya satu hal: ilmiah.
Berbanding terbalik dengan fiksi kan (cerpen atau novel), yang bersifat cerita dan rekaan.
Itulah ciri paling sederhananya.
Namun, buru-buru saya harus jelaskan di sini bahwa tidak berarti tulisan fiksi itu lebih rendah kelasnya dibanding non fiksi. Penulis fiksi tidak boleh disebut kurang pintar dan cerdas dibanding penulis non fiksi.
Kenapa?
Sebab dalam menulis fiksi yang baik, ya yang baik sih ya, kau sangat membutuhkan kekuatan logika pula, sistematika berpikir pula, penguasaan data pula. Pendeknya, penulis fiksi dan non fiksi sama-sama harus memiliki kualitas state of mind yang baik. Tanpa topangan itu, penulis apa pun hanya akan muter-muter kayak odong-odong kedinginan.
Justru, maaf aja nih, saya ingin menyatakan di sini bahwa penulis fiksi mestinya lebihtsakep daripada penulis non fiksi. Mengapa? Sebab penulis fiksi yang ber-state of mind baik, pastilah juga piawai menulis segala jenis tulisan non fiksi, dari makalah, artikel, sampai resensi, dan feature. Ini tidak berlaku otomatis lho, penulis non fiksi lalu ahli menulis fiksi. Tidak. Sebab untuk menulis fiksi yang baik, kau harus memiliki kualitas logika cerita dan jelajah imajinasi yang baik pula, yang hal ini tidak menjadi tuntutan bagi penulis non fiksi.
Masih kurang yakin?
Mari bandingkan petanya: menulis non fiksi membutuhkan penguasaan data dan analisa yang logis-sistematis, sedangkan menulis fiksi membutuhkan imajinasi, penguasaan data, penuturan cerita yang logis.
Jika unsur “analisa data” dalam tulisan non fiksi bersifat sistematika yang logis, maka unsur “analisa data” dalam tulisan fiksi bersifat cerita yang logis. Keduanya (sistematis dan logis) memiliki sifat dasar yang sama: sama-sama membutuhkan pondasi state of mind yang baik.
Selain itu, penulis fiksi lebih diuntungkan daripada penulis non fiksi dalam hal kemampuan berbahasa, berdiksi, dan bertutur yang lebih kreatif dan imajinatif tentunya. Membaca tulisan non fiksi karya seorang penulis fiksi pastinya akan lebih hidup, tidak monoton, dan reflektif.
Wow, kan?
Unsur-unsur dalam Tulisan Non Fiksi
Pada dasarnya, ragam jenis tulisan non fiksi itu memiliki unsur-unsur yang sama. Iya, tentu dengan hanya sedikit sekali perbedaan antar variannya. Kisi-kisi formalnya yang berbeda.
Secara umum, passion orang dalam menulis non fiksi ialah artikel. Dan segala unsur dalam tulisan artikel sebenarnya “mewakili” segala unsur dalam tulisan berjenis makalah, esai,feature, dan resensi.
Sebab itu, di sini, saya akan berfokus pada tulisan non fiksi berjenis artikel saja. Soal jenis-jenis lainnya macam makalah, esai, feature, dan resensi, akan saya singgung sebagai tambahan di bagian belakang untuk memperjelas kisi-kisi perbedaannya doang.
Apa itu artikel?
Tadi sudah disinggung di awal, bahwa artikel merupakan jenis tulisan ilmiah. Sebuah tulisan disebut ilmiah jika berbasis data dan analisa sistematis.
Maka, kesimpulannya, artikel ialah sebuah tulisan yang berbasis data dan dianalisis secara sistematis (runtut, logis).
Paham, ya? Iya aja deh….
Oke, lanjutkan. Sekarang kita bicara tentang struktur atau unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah tulisan artikel.
1. Ide/Topik/Tema
Apa yang ingin kau tuliskan? Itulah idenya. Ide adalah “pokok hal” atau “pokok permasalahan” yang akan kau teliti dan tuliskan. Semakin tsakep idemu, semakin kerenlah tulisanmu. Karena itu, tulislah hanya ide-ide yang tsakep. Ciri ketsakepan sebuah ide ialah “aktual, bergreget, penting, memantik rasa ingin tahu pembaca”.
Misal. Sekarang lagi ramai tentang sosok Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden. Apa yang ingin kau tuliskan tentang mereka?
Lalu kau munculkan ide berdasar “pokok permasalahan”.
Jokowi atau Prabowokah Sang Pembasmi Koruptor?
Modal Militer Prabowo untuk Libas Korupsi
Watak Kesederhanaan Jokowi Ditakuti Para Koruptor
Ya, itu hanya beberapa contoh. Di dalamnya, ada pokok permasalahan yang akan kau teliti dan tuliskan, yakni “presiden dan pemberantasan korupsi”.
Lain lagi dengan ide yang berbasis “pokok hal”. Ide sejenis ini tidak berbasis “masalah”, tapi bersifat pengetahuan atau motivasi.
Misalnya:
Pentingnya Tahajjud untuk Mengundang Jodohmu
Bahagia Itu Sederhana, Santai Sajalah….
Agresi Israel ke Tanah Palestina
Korupsi dalam Kacamata Islam
Saat Kodifikasi Agama Jadi Kiblat
Pacaran itu Haram atau Tidak, Ya?
Mungkin, kalian yang tsakep akan bertanya di sini, lalu apa bedanya ide dengan judul?
Sering pula ide itu disebut topik atau tema lho. Pada intinya, ia adalah hal yang ingin kau teliti dan tuliskan. Otomatis, judul pun akan sesuai dengan ide itu, bukan? *Iya aja deh….*
Tentu nggak asyik jika topikmu, temamu, idemu tentang “korupsi adalah bagian dari kekufuran”, tapi judulmu ternyata nggak mencerminkan itu sama sekali. Maka, gampangnya, judul yang kau pilih kemudian boleh sama atau berbeda dengan idemu, asalkan tetap mewakili, mencerminkan idemu.
2. Data
Setelah dapat ide, kau harus kumpulin data. Bagus lagi, ide yang akan kau tuliskan sudah kau kuasai data dan keilmuannya. Sudah mendalami dan menguasainya.
Data yang kau pilih haruslah data yang akurat. Jangan data abal-abal tidak jelas juntrungnya.
Ciri data yang akurat itu ialah ilmiah, yang bisa dibuktikan dengan memiliki sumber rujukan yang jelas. Haram hukumnya menggunakan rujukan semaca “menurut sebuah penelitian” atau “katanya” atau “konon” atau…. Harus jelas menurut siapanya.
Bukankah mendapatkan kepastian itu sangat penting? Haaaa….
Misal kau dapat data dari sebuah buku atau artikel atau situs yang terpercaya (tentang situs-situs ini bertelitilah ya, sebab banyak sekali situs yang hanya bersifat propaganda, sama sekali tidak ilmiah). Ciri lainnya ialah ia banyak dikutip atau dipakai orang.
Ciri sebuah data patut diragukan keilmiahannya ialah “sensitif konflik” (ini jangan disamain dengan istilah polemik atau ikhtilaf ya). Hari gini, jangan mudah terprovokasi oleh “ke-wah-an” sebuah tulisan yang kesannya menggelegar. Lebih baik cari saja sumber-sumber data yangkredibel, lazim, popular, dan terpercaya.
Oh ya, saya tandaskan satu hal lagi di sini, bahwa ilmiah bukan berarti lalu tidak ditentang orang lho ya (sedunia setuju gitu). Yang terpenting ialah data yang kau kutip ialah data yang jelas sumbernya dan sumber itu sendiri (usahakan) tidak diragukan kapasitasnya.
Lantas, data yang kau ambil tidak perlulah sekarung gitu. Ambil data yang kau butuhkan saja sebagai penopang keilmiahan tulisanmu.
Ada data yang disebut data primer dan sekunder. Nah, data primer inilah yang harus kau pegang. Soal data sekunder sifatnya pelengkap dan penambahan belaka.
Data primer ialah data yang berkaitan langsung dengan ide yang akan kau tuliskan dan bersifat teori atau data besar. Jika tentang korupsi di Indonesia, sebutlah itu data berdasar KPK. Data sekundernya misal tentang ketidakadilan pembangunan di Indonesia Timur.
Dalam dunia akademik, data primer yang paling dihormati ialah buku, lalu jurnal, lalu media massa, lalu sumber online. Tapi dalam tulisan artikel, peta ini lebih longgar sih.
3. Pembukaan
Setiap artikel tentu harus memiliki bagian pembukaan dulu. Ia menjadi semacam pengantar terhadap ide yang akan kau ulas. Mau sekadar satu atau dua paragraf, ia harus ada.
Bentuk pembukaan yang keren ialah merangsang pembaca untuk melanjutkan membacanya. Ya, setelah judul yang bergreget, pastikan kalimat-kalimat pembukamu juga bertaji ya. Ia bisa dikemas dalam bentuk kutipan atau pertanyaan atau “provokasi” bahkan, dll.
Misal yang berbentuk kutipan:
Nyaris separuh penghuni bumi Indonesia ini masih didera kemiskinan, dan itu merupakan buah haram korupsi. Begitulah data riset terbaru yang dikeluarkan oleh LSM Belum Sempat Korupsi Juga (2014). *contoohhhhhh….
Bentuk pertanyaan:
Mau tahu berapa juta di tahun 2014 ini anak-anak Indonesia yang tidak tersingkir dari bangku sekolah hanya karena kemiskinan? Ya, kemiskinan yang ditebar oleh tangan-tangan kejam koruptor.
Apa benar pacaran itu haram sepenuhnya, tanpa pengecualiaan sedikit pun? Apa lantas juga berarti benar bahwa semua pelaku pacaran itu adalah para muslim sesat, sebagaimana dipekikkan oleh para pengusung fiqh serba subhanallah dan anti dialog itu? *ngoaahhaa…
Bentuk “provokasi”:
Inginkah Anda menjadi satu dari jutaan orang yang berdiam diri menyaksikan pemerkosaan-pemerkosaan terus menayang di depan mata? Masihkah Anda bertahan hati untuk duduk manis menyaksikan kenyataan kian maraknya kekejaman seksual, yang sebagiannya mulai mendera anak-anak tak berdosa itu?
Ya, ya, banyak lagi contoh model lainnya. Intinya, pembukaan haruslah menarik, memikat, dan “memaksa” pembacamu untuk melanjutkan membaca tulisanmu, bukan malah melipat, angopngantuk, lalu lelap berbantal tulisanmu. Kalau sampai terjadi yang kedua ini, pertanda tulisanmu sukses menjadi pengantar tidur.
4. Analisa sistematis
Data yang sudah kau kumpulin selanjutnya harus kau kuasai sekaitan dengan idemu tadi. Inilah proses analisa.
Analisamu haruslah berjalan secara sistematis. Runut. Jangan lompat-lompat ke sana-sini tidak runtut. Sistematika adalah cerminan cara berpikirmu. State of mind-mu.
Dari bagian pembukaan, analisa, sampai penutup, harus kau jalinkan secara runtut, saling menunjang dan mendukung. Kagak lucu bingiiittt jika analisamu nggak sesuai dengan kesimpulanmu.
Itu sama persis dengan kau berkata, “Aku sayang kamu,” padahal kau tak pernah bertemu dengannya kecuali di sosmed dan BBM sehingga kau tidak pernah bisa menyediakan bahumu secara nyata untuk jadi sandarannya. Sayang macam apa coba yang begitu? Jawab….!!! Eaaakkkk…..haaaa….
Ya, sistematiskanlah cara berpikirmu, runtutkanlah, mengalir teratur, runut, agar analisamu tersaji dengan jernih dan enak.
Saran tambahan, buatlah kerangka tulisan untuk membantumu meruntutkan analisasmu. Misal, di bagian pembukaan, poin-poin apa yang ingin kau sajikan. Lalu di bagian pembahasan, kau kutip sebuah teori, dilanjutkan dengan data-data lapangan, dan dilanjutkan lagi denganpendapatmu pribadi. Di bagian kesimpulan, kau tegaskan inti dari semua analisamu itu.
Ya, buat corat-coret saja seputar plot tulisanmu itu mau kayak apa. Ini pasti sangat membantu membuatmu fokus dan sistematis.
5. Kesimpulan
Tentu, artikel harus ada kesimpulannya. Kesimpulan di sini tidak melulu harus berupa solusi lho ya. Ia bisa bersifat penegasan teori, atau data lapangan, atau motivasi tertentu terkait ide tulisanmu.
Misal, idemu tentang “korupsi itu adalah salah satu bentuk kekufuran”. Maka kau bisa memungkasi tulisanmu dengan kesimpulan begini:
Sudah jelas sekali berdasar tuturan Sayyid Sabiq di atas, bahwa kafir bukan semata tentang ingkar tauhid. Berbuat kerusakan di muka bumi juga merupakan bentuk praktik kekafiran. Dan tentu saja, korupsi adalah salah satu bagiannya.
Jadi, masihkan Anda mau korupsi?
Begitu juga bisa, kan?
Bisa pula kau akhiri kesimpulan artikelmu dengan sebuah quote atau puisi bahkan. Yang terpenting, apa pun itu, kudulah selaras dengan bagian analisamu tadi.
Misal:
Rasanya, cukup telak untuk menandaskan ucapan bijak Einstein di sini bahwa “Ilmu tanpa agama hanya akan menjadi kebutaan dan agama tanpa ilmu hanya akan menjadi kelumpuhan.”
Banyak caranya, kan? Prinsipnya, kesimpulanmu harus selaras dengan analisamu.
Tips-tips Praktis Lainnya
Berikut beberapa poin tambahan dalam menulis artikel dan sekaligus kaitannya dengan peluang publikasinya di media massa.
1. Ide aktual atau ide penting bagi publik luas
Jika kau ingin artikelmu dimuat di media massa, salah satu hal yang kudu kamu sadari benar ialah tentang aktualitas ide artikelmu atau ide penting dari artikelmu.
Ingat, media massa itu harian atau mingguan ya. Waktunya berkelebat cepat. Semudah kau cinlok di acara Kampus Fiksi, lalu putus seminggu kemudian sebab hanya berdasar emosi sesaat aja. Haaaa….
Wajar saja jika sifat media massa yang demikian menghasratkan mereka selalu “berburu aktualitas”. Semakin aktual ide artikelmu, hot news begitu, maka semakin besar peluang tulisanmu dimuat.
Khusus untuk momen-momen rutin tahunan, misal lebaran, hari kemerdekaan, hari ibu, Sumpah Pemuda, Hari Galau, dll., sebaiknya kau juga memiliki jadwal yang akurat. Sehingga kau bisa mempersiapkan tulisanmu jauh-jauh hari dan dibidikkan secara tepat pada waktunya.
Nah, ini tips amat penting lho. Jangan sampai kau menulis artikel yang nggak aktual, apalagi nggak penting pula bagi publik luas.
Jika tulisanmu tidak memiliki aktualitas momen, pastikan ia mengandung ide yang amat penting untuk publik luas. Semakin menarik segmen pembaca seluasnya, maka akan semakin berpeluang pulalah artikelmu dimuat.
Misal, tentang pacaran Islami, adakah?
Ide ini jelas tak kenal momen, kan. Mau ditulis kapan saja juga bisa. Namun, pastikan, bahwa idemu itu memiliki muatan yang menarik untuk diketahui atau dibaca masyarakat luas.
2. Kekuatan dan aktualitas data
Pastikan untuk riset data ya sebelum menuliskan idemu. Jangan menulis dari ruang kosong, agar tulisanmu bertaji. Data-data yang kau kumpulkan haruslah data yang akurat pula, baik secara legitimasi sumbernya maupun aktualitasnya. Jangan sampai kau pakai data yang sudah direvisi atau diperbaharui ya, sebab itu justru hanya akan menunjukkan bahwa kau tidak punya tradisi membaca dan menguasai data yang baik.
Malu-maluin atuh….
Mengutip dari tokoh-tokoh besar yang terkait dengan ide yang kau tuliskan bisa dijadikan salah satu tipsnya. Misal kau akan menulis tentang ide khilafah islamiyah (Negara Islam), maka mengutip pemikiran Abul A’la al-Maududi, Abdur Razzak, Ibnu Taimiyyah, atau Yasser Auda bisa menjadi kekuatan datamu.
Misal lain kau akan menulis tentang masalah cinta, kau bisa kutip pemikiran Kahlil Gibran, Erich Fromm atau pun Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Misal kau ingin menulis tentang feminisme, maka kau bisa kutip pemikiran Lia Nurida, Pia Devina, atau Farrah Nanda, dll. *abaikan*
Tapi, ingat pula, bahwa kekuatan data bukanlah berarti tulisanmu berisi kutipannnnnnmulu. Tidak. Sekali lagi, data ilmiah yang kau kutip dalam artikelmu adalah penunjang kualitas keilmiahan tulisanmu saja yaMaka ambil seperlunya. Kau sebagai penulis sendiri jelas harus bereinversi, berkonsep, bak peneliti dan penemu atau pencetus pula, sehingga kau pun harus menyodorkan pula analisamu dan pendapatmu.
Baiklah, itu disebut sebagai intersubyektif. Kita kunjungi yuk….
3. Analisa Intersubyektif
Tidak ada seorang penulis bagus yang hanya mengamini data. Ia haruslah memunculkan pendapatnya terhadap ide yang dituliskannya. Karena itulah ia harus mampu membuat analisa.
Soal kau berpendapat akhir setuju atau tidak terhadap data tulisanmu di hadapan publik, itu bukanlah masalah. Yang terpenting, kau harus menyajikan analisa terhadap ide dan data, lalu munculkan pendapatmu terhadapnya.
Semakin kuat datamu, semakin detail analisamu, maka akan semakin kuatlah argumenmu, kan? Itu tanda kau mampu melakukan analisa yang tajam terhadap ide yang kau tuliskan.
Otomatis, ketika kau menyimpulkan tulisanmu nantinya, kau sudah melahirkan sebuah pandangan, pendapat, bahkan teori tentang ide itu. Semakin tajam dan fresh pendapatmu, berarti semakin kerenlah intersubyektifmu.
Apa itu intersubyektif?
Gampangnya ia adalah “kegelisahan intetelektualmu”, “kritisimu” terhadap ide yang kau tulis. Ia adalah pemahamanmu terhadap sebuah masalah, yang telah kau kuasai dengan penelitian dan pemikiran, lalu kau munculkan sebagai pendapatmu.
Itulah intersubyektif.
Apa pendapatmu tentang relasi korupsi dan kekafiran?
Apa pendapatmu tentang isu bahwa wanita itu nyebelin?
Apa pendapatmu tentang paham bahwa pacaran itu haram mutlak?
Nah, jawabanmu terhadap semua contoh pertanyaan itu adalah buah intersubyektifmu.
Tentu dong, bukan asal jawaban, tapi berbasis data yang dianalisis secara argumentatif dan ilmiah.
Eh, ngomongin tentang ilmiah, simaklah poin tentang state of mind.
4. State of mind
Artikel itu haruslah ilmiah. Nah, pondasi tulisanmu kian ilmiah bukanlah sebab bertaburnya kata-kata yang gawaaattt itu, tetapi seberapa kuat sistematika berpikirmu, logika analisa tulisanmu, atau state of mind-mu.
Sekali lagi, kau takkan bisa menulis artikel yang sistematis enak dibaca jika kau tidak memiliki dasar state of mind yang baik.
State of mind adalah kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Ia harus dicirikan argumentasi yang kuat berdasar data dan analisa. Ia juga berlandaskan kerangka teori.
Pusing?
Ya sudah deh, nggak usah diperluas, cukup kau pahami saja bahwa state of mind itu adalah kemampuan berpikir logis dan sistematis. L
Iya, poin ini memang tidak bisa disulap dong, butuh proses pembelajaran tiada henti. Yakinlah, semakin kau banyak membaca, berpikir, dan menulis, pastilah state of mind-mu akan kian kuat kok.
Otomatis, tulisanmu akan kian ilmiah, kian argumentatif, kian sistematis.
Ya, baca, baca, diskusi, diskusi….
5. Fair pada Data
Penulis itu cendekiawan lho. Dan cendekiawan yang baik pastilah semangatlah ialah gerakan dinamika keilmuan. Bukan propaganda partisan dalam bentuk apa pun, kayak nganu itu.
So, kuncinya ialah kau harus fair pada data yang kau kutip. Jangan sekali-kali memperlintiri data apa pun demi sekadar mendukung kepentingan tulisanmu. Sekali lagi, “Jangan pernah MEMPELINTIR data!” Itu namanya pengkhianatan intetelektual lho. Efek negatifnya sangat besar ke publik, yakni penyesatan opini. Dan ini mengerikan sekali dampaknya.
Jika sebuah data berkata A, maka kau harus bilang itu A. Jangan diakal-akali supaya menjadi B, sesuai maumu. Tidak boleh. Harammmmm…!!! Dosaaa……!!! *cari aja sendiri dalilnya gih* J
6. Catatan Kaki dan Catatan Perut
Dalam artikel media massa, tidak dipakai catatan kaki, tetapi catatan perut. Kecuali kau menulis untuk sebuah jurnal ilmiah, memang dipakai catatan kaki. Ya sih, mudah dimaklumi, sebab adanya catatan kaki dalam atikel koran pastinya bakal bikin ribet membacanya.
Catatan perut itu lazimnya hanya ditulis begini (misal).
Pandangan saklek tersebut cukup berbeda dengan analisa Edi Akhiles dalam bukunya, Putusin Nggak, Ya? (2014), bahwa pacaran….
Pendapat yang menyatakan bahwa korupsi adalah bagian dari kekufuran itu muncul dalam tulisan Sayyid Sabiq (1995), ….
Dalam bukunya, Truth and Method (1992), Hans-Georg Gadamer menegaskan….
Apa yang dituturkan Amir Pilliang (2000) tentang galaksi simularka itu….
Begitulah contoh catatan perut. Tidak perlu pakai halaman berapa juga. Sekali lagi, jangan manipulasi sumber data ya. Harammmm…..!!! OMG hallowww…. J
Kalau catatan kaki penulisannya begini:
Dengan ukuran font lebih kecil, 10 pts.
Jika catatan kaki berikutnya, nomer 2, juga masih dari buku yang sama dengan halaman yang berbeda, maka cukup tulis begini:
Jika catatan kaki selanjutnya (misal nomer 3) diselingi oleh buku lain, lalu kau akan mengutip dari buku yang sudah pernah dikutip sebelumnya (artinya sudah dipakai sebelumnya dalam catatan kakimu), maka dituliskan begini:
5. Edi Akhiles, Putusin…, hlm. 55.
Sekarang jenis catatan kaki ala op.cit. dan lok.cit. atau pun kuc.rit. dan mak.tit sudah tidak dipakai lagi ya. Jika kau masih pakai itu, oke fix, kau tua!
Ngoaahhaaa….. J
7. Daftar Pustaka
Selain tentang catatan kaki, ciri keilmiahan sebuah tulisan ialah adanya daftar pustaka. Dalam artikel memang tidak pakai daftar pustaka sih. Ia biasanya dipakai di makalah atau buku atau skripsi dan sejenisnya. Jika ada sebuah buku tidak memiliki catatan kaki atau daftar pustaka, hemmm….patut diragukan kehalalannya lho. Atau, mungkin saja dia menulisnya dari wahyu langit ya?
Baiklah, sekadar tambahan pengetahuan, begini cara menulis daftar pustaka yang benar.
Sumber:
http://ediakhiles.blogspot.com/2014/06/silabusmenulisnonfiksi-by-edi-akhiles.html?showComment=1402283969417#c3215830334928589939
*) Boleh dishare kata Mas Edi Akhiles.