CITA-CITA = KOMITMEN = DOA
Ketika
masih sekolah di SMK dulu, cita-cita terbesarku adalah menikah saat usia 21
atau 22 tahun. Entahlah, saat itu aku hanya berhitung saja dalam
mencita-citakannya. Sebab bila aku menikah dalam usia 22 tahun, maka setidaknya
paling lama 1 tahun berikutnya aku sudah punya anak. Berarti 23 tahun usia. Jika
anak pertamaku masuk SD, maka usianya saat itu 6 tahun dan aku masih usia 29
tahun. Selama 6 tahun di SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMA, kemudian menyelesaikan
S1nya 4 tahun, jika ditotal berarti usiaku masih 39 bahkan belum 40. Saat 40
tahun khayalanku adalah bahwa aku masih dalam usia produktif untuk bekerja.
Sehingga masih sanggup untuk menyekolahkan anak-anakku yang lain.
Coba tebak,
apa yang terjadi?
Ya! Aku menikah tepat di
saat usiaku masih 22 tahun. Saat itu aku semester 8, waktu yang sibuk
mempersiapkan diri untuk mengikuti PPLT (Program Pengalaman Lapangan Terpadu)
dari kampus. Sibuk mempersiapkan dana PPLT, sibuk mencari backup plan untuk tetap mendapatkan penghasilan selama ± 3 bulan
PPLT, dan sibuk mengurusi teman-teman yang akan menjadi satu tim PPLT (sebab
aku ketua tim).
Sebulan sebelum tenggat waktu pembayaran uang
kuliah tahap terakhir, dan uang pendaftaran PPLT, saat itulah aku melangsungkan
pernikahan. 5 Januari 2008, di Aceh tepatnya Langsa. Calon istriku waktu itu
tinggal di sana bersama orang tuanya. Tapi suku jawa. Mengenai pertemuanku
dengan calon istriku, bagaimana aku meminangnya, hingga calon mertua
mengijinkan anaknya yang sudah S1 IAIN Medan dinikahi pemuda yang masih belum
menyelesaikan S1nya, lain waktu kuceritakan. Setelah menikah, tentu saja aku
membawa istrikembali ke Kisaran. Tempat aku bekerja, dan akan menyelesaikan
kuliahku.
Coba tebak, apa yang
terjadi?
Kami (Istriku dan Aku),
masih menetap di Pondok Mertua Indah (PMI)nya istriku, tepatnya hanya 1 bulan
saja kok. Istriku juga bekerja, ditempat aku bekerja, di SMA Muhammadiyah 8
Kisaran sebagai guru BP. Aku, hanya tenaga Tata Usaha di sekolah itu. Saat aku
harus menyelesaikan urusan PPLT, tak disangka aku dipanggil sama dosen yang
jabatannya sebagai kepala unit PPLT di kampus. Kebetulan memang, saat itu aku
angkatan ke-2 di kampusku yang masih baru, sehingga administrasi dan tenaga
pekerja di unit PPLT belum tertata dengan baik. Jadi ceritanya aku diminta
untuk menjadi tenaga tambahan dalam urusan administrasi di unit PPLT, mulai
dari pengetikan surat hingga menerima uang registrasi mahasiswa yang akan PPLT.
Sesungguhnya tak ada yang
kebetulan, sebab pastinya ini rezeki Allah bagi orang yang sudah menikah ya.
Dalam kegiatan part time ini, aku
benar-benar tidak perlu membayar uang pendaftaran PPLT, bahkan tiap bulan aku
mendapat gaji, juga kemudahan untuk menentukan lokasi PPLT. Luar biasakan?
Hehe….
Jadi, sepenjang pelaksanaan
PPLT, aku benar-benar mahasiswa yang beruntung. Beruntung sebab aku sudah
menikah duluan dibanding teman-teman seangkatanku, beruntung tidak bayar uang
PPLT, beruntung mendapat gaji. Dan beruntung pula, di lokasi PPLT, aku malah
digaji oleh sekolah (lain waktu tentang gaji yang kudapat dari sekolah tempat
PPLT ini kuceritakan ya) hehe…
Kembali ke cerita awal
tentang cita-cita menikahku di usia 22 tahun.
Seperti yang kusebutkan
semula, bahwa kenyataan itu benar-benar terjadi, aku menikah di usia 22 tahun,
dan baru punya anak setelah 1 tahun pernikahan. Jadi ceritanya, kami baru
dititipkan Allah anak saat 1 tahun pernikahan. Mungkin karena doa awalnya
begitu kali ya. Hehe…
Cerita doa, aku jadi teringat
beberapa teman yang sudah menikah tapi masih belum punya anak. Ada yang usia
pernikahannya sudah 6 tahun, ada lagi yang sudah 12 tahun, tapi hingga hari ini
masih belum punya anak.
Coba tebak, mengapa
demikian?
Doa. Ini menurut
pemikirannku saja ya. Dan kurasa memang doa. Ternyata, saat mereka akan menikah,
ada pula janji lainnya yang mereka sematkan dalam hati. Setelah menikah, mereka
berkomitmen, untuk belum mau punya anak 1 sampai 2 tahun menikah. Dan ini
kudapat ceritanya langsung dari mereka. Jadi, untuk apa menikah kalau tidak mau
punya anak? Dan tidak hanya mereka saja, ada lagi beberapa orang yang kukenal
yang belum punya anak, awal-awal sebelum menikah komitmen mereka sama: belum
mau punya anak setelah menikah. Bukankah komitmen ini adalah doa. Nanti akan
kuceritakan bagaimana komitmen-komitmen lainnya yang kubangun bersama istri
menjadi doa-doa yang diijabah oleh Allah. Bisa jadi Allah marah, menikah kok cuma
mau menerima halalnya aza, tapi nggak mau dititipin anak (maaf bila pernyataan
ini salah, karena ini masih menurutku).
Coba tebak!
Aku masih tetap bisa menyelesaikan
S1ku dan diwisuda saat aku sudah punya anak 1 (ssssstttt…ini juga doaku awal
semester 1 kuliah lho, diwisuda sambil menggendong anak). Ini juga doa, bahwa
komitmen apapun yang kubangun di awal, betul-betul di ijabah oleh Allah.
Salahku sendiri sih, doanya punya anak dulu baru wisuda, kan molor 1 tahun
kuliah S1 jadinya. Ups!! Hehe…..
Jadi, tunggu apalagi, segerakan menikah bagi yang belum, bangun cita-cita, komitmen dengan baik dan bernilai positif. Itulah doa.
No comments:
Post a Comment