SUDAH MERDEKA
Oleh: Muhammad Saufi Ginting (di Kisaran-Asahan,
Sumatera Utara)
Apa jadinya jika seorang sarjana, tapi tak mampu mendapatkan penghasilan
yang cukup? untuk makan saja masih tak cukup, apalagi untuk berbakti kepada
orang tua sekedar membelikan sekilo gula untuk membuat teh manis di rumah?
Itulah aku kini, sarjana pendidikan yang baru saja di wisuda 2 bulan yang lalu
di salah satu universitas milik pemerintah Kabupaten tempat aku tinggal.
Masih kuingat dengan jelas, tanggal
21 Nopember itu, kedua orang tua ku datang dengan mengendarai sepeda bututnya
untuk menghadiri acara wisuda anaknya dengan senyum tak terhitung jumlahnya
sepanjang jalan dari rumah menuju kampusku.
Anakku wisuda, Anakku wisuda, teriak mereka sepanjang jalan, kata Umri,
teman sekelasku di Universitas yang kebetulan berpapasan dengan kedua orang
tuaku sebelum dia sampai ke Universitas ini untuk di wisuda juga.
Aku hanya tersenyum malu. “Maaf mak”
ucapku dalam hati. Aku tak bisa membawa orang tua ku kemari secara
bersama-sama, seperti Umri yang menggunakan mobilnya, datang ke acara wisuda
bersama seluruh keluarga besarnya.
***
Hanya pada sebuah asa kau mengamuk
Jangan begitu saudara
Ini sudah merdeka!
Sekali lagi, ini sudah merdeka!
Mari redakan gelisah di dada
Sambil iseng, aku berdiri membaca tulisan kecil yang ditempelkan di
mading sekolah itu, tulisan yang bagus, menurutku, yah negeri ini memang sudah
merdeka, tak perlu gelisah dalam menjalani kehidupan, pikirku.
Bukan waktunya aku kau rembuk
Waktunya mendefinisikan merdeka
Merdeka kita dari penjajah dulu
Pasti.
Merdeka kita sekarang dari malu
mau
Merdeka kita dari mau
cepat
Merdeka kita dari sabar
ngeri
Merdeka kita dari menggeletar
kejam
Merdeka kita semua dari tuhan?
…..
Maka kembali lahir sebuah kemerdekaan…
Diantara belantara kerancuan
Memang benar, dulu identik kata merdeka adalah dari penjajahan, batinku
sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui apa yang baru saja kubaca.
Tapi sekarang, semua orang sangat gampang menyatakan bahwa menampilkan kemaluan itu juga bagian dari
seni, bagian dari bangsa yang sudah merdeka, dan cepat-cepat ingin mengikuti
prilaku yang buruk dari bangsa barat sana. Sementara ketika kita bersabar,
untuk menahan diri tidak mengikuti kemerdekaan yang memalukan, semua orang
menunjuk bahwa kita ketinggalan zaman, tapi ketika kita sudah tak sabar, maka
tindakan anarkis yang malah terjadi untuk menghentikan kemerdekaan yang
memalukan itu. Rasa-rasanya memang bangsa kita ini sudah begitu kejam memaknai
arti merdeka. Bagaimana pula jika sudah merdeka dari Tuhan? Aku benar-benar
sangat mengapresiasi tulisan kecil yang kubaca satu persatu ini. Apakah semua
orang ingin merdeka ya? membingungkan. Gumamku.
Mataku terus tertuju pada tulisan di bawahnya.
Apakah ini merdeka saudara???
Bukankah seharusnya merdeka hari ini
Adalah dari papa?
Derita ?
Bencana?
Dan ketidakadilan?
Sebelum aku selesai melanjutkan membaca tulisan kecil itu lebih jauh,
tiba-tiba bahuku di pegang seseorang dari belakang. Aku menoleh.
“Apa kabar
saudara?” katanya
“Baik.” Jawabku
dengan wajah kebingungan.
“Masih kenal
dengan saya?” katanya
“emmmmh…” kataku
sambil mengerenyitkan dahi.
“Kamu Yusuf kan?
Dulu sekolah di SD 11 Kisaran kan?” lanjutnya
“emhh, ia betul,
kok kenal saya, kamu siapa? Apa dulu kita satu SD? Kataku mencoba mencari
jawaban kebingunganku, begitu dia menyebutkan SD ku yang dulu.
“Ia, ini Aku
Panji, Muhammad Panji, dulu kita pernah satu kelas” katanya
“Dulu aku pernah
memanah kamu memakai lidi yang diikatkan di karet gelang, dan kena mata kamu,
untungnya kata bu Nurita, tidak kena biji mata kamu, padahal waktu itu aku
sudah ketakutan tak karuan” dia terus menyerocos panjang lebar, sambil
menerbangkan ingatku pada waktu 10 tahun yang lalu.
“ohhhhh…..iaaaaaa”
pekikku setengah menjerit. “Kaunya Panji” kataku sambil menjabat dan
menggoyangkan tangannya serta tangan kiriku menepuk-nepuk bahunya.
“Seingatku dulu
kamu hitam, sekarang kok bisa jadi putih gini, makanya aku pangling, ga ingat,
ga tau, kok kamu bisa kenal aku, rupanya kamu, Ji” gantian aku pula yang
menyerocos begitu tau kalau itu adalah Panji, kawan ku waktu masih di SD dulu.
Kami dulu termasuk kawan akrab, sakingkan akrabnya permainan pun yang
aneh-aneh, yang terakhir kali, memang waktu itu di kelas 6, saat tragedi tak
mengenakkan yang baru saja diceritakan Panji itu terjadi padaku. Panji hanya
tersenyum mendengar kebingunganku, lalu mengajakku ke kantin sekolah, yang tak
jauh dari lokasi kami berdiri.
“Kamu ngajar Ji”
tanyaku menyelidik
“Ya ialah, masa’
aku di sini jualan”! jawabnya sambil tersenyum, dengan pertanyaanku. Ya,
mungkin tadi pertanyaan aneh yang baru saja kutanyakan, padahal aku sedang
berada di komplek sekolah bertemu Panji yang berpakaian safari rapi ini.
“Ngajar apa Ji”
“Agama Islam”
jawabnya sambil meminum teh manis dingin.
“Wah, pantas
saja pesannya teh manis dingin, bukan teh botol” Ledekku sekenanya.
“Dulu tamat dari
mana, Ji, Kuliahnya?”
“Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara” katanya
“Ada perlu apa
kemari? Kok kayak orang linglung tadi kulihat dari jauh” lanjutnya, memutuskan
rasa keingintahuanku terhadapnya yang begitu hebat.
“Emangnya kamu
liat dari mana?”
“Tadi, pas kamu
masuk lewat gerbang, aku lagi duduk di meja piket, sebelah sana” katanya sambil
menunjuk sekenanya saja. “Sepertinya aku kenal sama kamu, jadi begitu kamu mau
keluar lagi, ya langsung ku kejar, eh rupanya kamu masih melototi mading.” Aku memang
lagi iseng membaca mading yang kebetulan terletak dekat dengan gerbang sekolah
tempat aku baru saja memasukkan lamaran pekerjaan, ya aku melamar untuk menjadi
guru di sekolah ini.
“Ia, aku tadi
masukin lamaran pekerjaan, mau jadi guru. Tapi katanya lagi ga ada lowongan
guru yang sesuai dengan jurusan ku. Maklumlah namanya juga masih baru tamat
kuliah, Ji, masih cari-cari”. Kataku.
“Emangnya kamu
jurusan apa Suf?” tanya Panji.
“Matematika.
Eh..kamu kok ga ngajar ni?
“Ini lagi jam
istirahat, liat aja banyak anak-anak
yang keliaran di lapangan tu!”
“Tapi ga
apa-apa, Insyaallah pasti ada cara lain yang Allah kasih buat kamu dalam
mencari rezeki” kata Panji menyejukkan jiwaku.
“Amiin…”ucapku
mengamini doa Panji barusan.
****
Hubungan ku dengan Panji, berlanjut melalui HP. Memang HP ini walau masih
merek jadul (jaman dulu) nokia 3315
tapi masih dengan setia menemaniku, apalagi memiliki nilai histori yang tinggi,
karena merupakan pemberian temanku waktu kuliah dulu. Dan kini, sungguh banyak
manfaatnya, walau entah kapan-kapan aku baru bisa mengisi pulsanya.
“Suf, ada
lowongan ni jadi Wartawan di Koran Serambi” bunyi SMS yang baru saja kuterima
dari Panji. Tak lama, sebelum aku membalas ingin menanyakan lebih lanjut
tentang lowongan itu, ia sudah mengirim SMS lagi tentang persyaratannya dan
alamat lengkap yang akan di tuju.
“Cobalah, aku
yakin kamu bisa” kata Panji dalam SMS selanjutnya.
Tanpa membalas
kembali SMSnya aku pun bergegas menghitung sisa-sisa uang ku yang baru saja ku
dapatkan dari hasil mengajar les privat anak SD tetanggaku. Akupun pergi ke
rental komputer untuk mengetikkan surat lamaran pekerjaan, dan akan segera
kukirim melalui kantor pos. Apa salahnya untuk mencoba, walau mesti jauh,
pikirku.
***
Begitulah, ketika kau kuatkan hati untuk
menang
Maka keyakinan pasti akan datang
Jangan ragu
Allah itu dekat…
Satu layar memang, tak banyak. Tapi sudah cukup meneteskan air mataku
begitu aku selesai membaca SMS dari sahabatku yang baru saja masuk ke HP-ku.
Ya, aku kini diterima menjadi salah satu wartawan di Serambi Indonesia, Aceh.
Walau masih berstatus magang, aku sangat bangga, karena dari seribuan orang
yang melamar, aku menjadi salah satu dari sepuluh orang yang diterima menjadi
wartawan di Koran itu. Terima Kasih Allah, akhirnya aku bisa membantu orang
tuaku. Terimakasih Panji. Aku jadi teringat catatan kecil yang kulanjutkan
untuk mencatatkannya di notesku dari mading, sewaktu aku pulang bertemu Panji dan
memasukkan lamaran pekerjaanku di sekolah itu. Zaman sudah merdeka, bukan
waktunya untuk berkeluh kesah, walau aku berlatar pendidikan, aku mesti
memerdekakan diriku sendiri, bahwa hidup mesti berjuang, dimana saja.
Kisaran, 23 Januari 2011.
Terinspirasi dari Halimah; mantan jurnalis Koran Serambi Indonesia,
Banda Aceh.
5 comments:
fighting spirit until end...
hamasah!
heheh, tq bro. udah ngasih komen dan udah berkunjung...
oia, makasih juga udah di pasang link saya ya bang... hehehe
sama-sama. sekali lagi saya bukan abangmu.
wkwkw,wew... berarti ini adeknya Adhly ya? hahaha...pake sarung wajah pulak profilnya...
Post a Comment