DEAR DIARY
Oleh
Saufi G
Pendiri
Komunitas Penulis Muda Asahan
Banyak
sebenarnya cerita yang dapat diangkat untuk menjadi catatan sejarah. Semua bisa
dimulai dari sebuah kata apa saja. Jangan berlama-lama untuk mengolahnya
menjadi sebuah kalimat, hingga menjadi sebuah paragraf. Cerita tersebut
selanjutnya dapat diurai menjadi beberapa paragraf yang utuh hingga menarik
untuk dibaca.
Sudah
berapa banyak cerita yang telah kurangkai menjadi ribuan paragraf utuh yang
ajeg satu sama lain? Atau meski ia tak ajeg, adakah cerita itu sudah aku
tuliskan?
Masih
segar dalam ingatan pada masa aku masih sekolah dulu, cerita sepenggal
kehidupan dapat dituliskan dalam sebuah buku diari. Kau tahu buku diari? Pernah
melihatnya? Dulu setiap akan menulis sebuah kisah, selalu dimulai dengan dear diary…hari ini aku bla…bla.. itulah
selalu kalimat pembuka dalam sebuah buku diari.
Buku
diari ini tidak hanya milik seorang wanita saja, dan tak identik bahwa pemilik
buku diari adalah seorang wanita. Seorang lelaki yang juga senang menulis
ceritanya dalam sebuah buku diari juga akan melakukan hal yang sama. Bedanya
hanya pada warna yang menyampuli buku diari itu. Bila buku diari itu punya
wanita, maka warna lebih kepada warna merah muda, hijau muda, dan warna-warna
sendu lainnya. Tapi bila pemiliknya seorang laki-laki, hampir dipastikan,
warnahnya selalu biru atau hitam. Dan tak ada tertulis diary pada sampulnya.
Adapula
buku diari yang dapat ditulis dari kepunyaan teman. Biasanya berisi biodata,
alamat, tempat lahir, hingga motto hidup. Terakhir ketika menulis itu,
dilampiri sebuah foto ukuran 3 x 4 cm. Warna.
Kadang-kadang
ada cara unik mengisi buku diari seperti ini. Buku diari yang punya teman
tersebut kebanyakan tidak boleh diisi ketika jam sekolah berlangsung, harus
dibawa pulang, karena ada kewajiban mengisinya dengan pasfoto. Sudah barang
tentu, setiap orang yang mengisi buku diari ini akan bergiliran membawa pulang
buku diarinya. Sayangnya, karena kebanyakan milik perempuan, maka yang paling
banyak mengisi adalah anak laki-laki pada masanya. Kamu masih punya data teman
di buku diarimu kah? Atau, masih adakah buku diarimu?
Sebenarnya
aku hanya ingin menceritakan sisi positif dari menulis buku diari pada zaman
itu. Bayangkan apabila kebiasaan itu menjadi nilai plus dalam diri pemiliki
buku diari. Si pemilik akan dengan tekun menulis apa saja yang dirasakan,
hingga pada masanya ia akan melihat kembali buku diari itu.
Pada
masanya adalah masa dimana menjadi masa kilas balik dalam perjuangan, kebaikan,
kelam, atau apapun yang terekam dalam sebuah buku diari. Pemilik buku diari
setidak sudah punya sebuah dasar kuat untuk menulis ulang kisah-kisah buku
diarinya menjadi sebuah cerita utuh; novel misalnya. Kerenkan?
Itulah
sekelumit cerita tentang sebuah buku diari. Apapun yang kita lakukan dalam
kehidupan hendaknya bernilai dan bermanfaat positif. Hingga nilai positif itu
akan dapat digunakan pada saat kemudian hari. Dengan melatih terus, ia tidak
akan menjadi serba dadakan, tapi karena sudah sering dilakukan dalam menulis
buku diari, maka ia akan menjadi kebiasaan.
Begitu
juga pada zaman sekarang. Sesungguhnya sudah banyak sekali cara dan teori yang
diungkapkan oleh orang-orang cerdik pandai, dari zaman dahulu hingga melewati
masa penggunaan buku diari, sampai pada masa penggunaan teknologi. Intinya,
apabila ingin mencatatkan sejarah dalam sebuah tulisan, syaratnya ya harus
menulis.
Nah,
aku juga sedang mengusahakan itu. Catatan yang kurangkai masih dalam uraian
kata-kata yang masih biasa. Hampir saban hari aku tetap menuliskan apa yang ada
di kepalaku menjadi sebuah cerita. Meskipun terkadang, ada satu atau dua hari
yang terlewat tak terkendalikan, hingga tak dapat pula menulis cerita.
Tulis
saja apa yang ingin aku tulis, tulis saja. Jangan khawatirkan apabila ia
amburadul, jangan pedulikan. Yang paling penting, apapun yang ada dalam otak,
keluarkan ia menjadi sebuah tulisan. Biarkan ia tak menarik. Lepaskan saja isi
otak itu, pindahkan ia ke jemari, untuk kemudian aku ubah ia menjadi sebuah
tulisan.
Tak
usah aku baca ulang. Ketikkan saja. Jangan khawatir bahwa tulisan ini tak
layak. Usah pula aku berkhayal tulisan yang baru aku tulis itu agar bisa masuk
dalam sebuah media. Jangan. Karena sebuah hasil membutuhkan proses. Kalau aku
tak mulai proses itu dari waktu-waktu sebelumnya, dan tak pula dilakukan secara
terus menerus, maka hasil yang diharapkan memuaskan itu tak akan didapat. Tak
ada yang instan.
Justru
akan kecewa. Kok aku ga bisa ya? Apa yang salah denganku? aku akan terus
memikirkan kekalahanku, padahal kalahnya diriku juga sebenarnya memang tak
layak untuk bertanding, sebab tak ada persiapan sama sekali yang aku lakukan.
Aku
teringat ketika meraih anugerah pegiat literasi Sumatera Utara pada tahun 2018
dari Balai Bahasa Sumatera Utara yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT)
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Apa yang kubuat hingga
aku menjadi peraih anugerah pegiat literasi 2018 itu adalah hasil dari yang
kulakukan sejak tahun 2012. Artinya tak ada yang instan.
Tentunya
semua kehendak Allah. Allah yang menentukan. Masih banyak lagi pegiat-pegiat
literasi yang berhak untuk mendapatkan itu, tapi Allah yang menentukan. Allah
pasti tak akan memberikan kesempatan itu, apabila ternyata yang kulakukan baru
saja.
Sejak
tahun 2008 aku sudah menulis di sejumlah media. Terinspirasi dari menulis,
lantas mendirikan taman bacaan masyarakat, setelah itu membentuk komunitas
penulis muda Asahan.
Meskipun
sepanjang tahun 2012 sampai 2016 hanya perkara-perkara biasa. Tapi sejak tahun
2017, sejumlah kegiatan mulai diikuti karena mulai dikenal, hingga 2018 meraih
anugerah pegiat literasi.
Sebenarnya,
sejak awal mendirikan dan mengkomandoi literasi, tak niat harus menang ini,
menang itu. Tak pernah terpikirkan itu sama sekali. Yang penting didirikan,
bisa mengakomodir teman-teman dalam kegiatan sastra, dan seterusnya, dan
seterusnya.
Itulah
yang kumaksudkan tadi dengan proses. Aku yang mengalaminya mencoba menarik
sebuah benang merah agar tampak jelas bahwa menulis juga begitu. Tak ada orang
yang tiba-tiba bisa jadi penulis. Untuk menjadi penulis ia harus banyak
menulis. Banyak menulis adalah proses, walau belum tentu dari sekian banyak
yang ditulis, tulisan itu menjadi sebuah cerita utuh yang baik. Tak apa,
namanya juga proses.
Tulisan
ini diambil dari buku
MOMEN
GANTENG (MOtivasi MENulis; GAli, Nikmati, TEkuni, BareNg-barenG .
Penulis : SAUFI G
Penerbit : Azka Gemilang, 2020
ISBN : 9278 623 9206833
No comments:
Post a Comment