JEJAK JUJUR
Oleh: Saufi G bin Yusuf
Pagi ini hari ke dua puluh di bulan ke dua.
Telah lewati tiga purnama engkau tak muncul
di hadapanku.
Bulan demi bulan telah menjadi ingatan mendalam. Bayangkan betapa ketakutan
hati ini terus menjadi-jadi tak karuan.
Tak ada kabar yang
pasti setelah engkau pergi. Kapan kau akan kembali hanya
itu yang tercatat pada selembar daun yang jatuh pada sore sebelum matahari
terbenam di sebelah rumahmu. Daun itu telah menguning, tak terpikir olehku
waktu itu untuk mengawetkannya. Setidaknya ia menjadi saksi sejarah, kau pernah
pergi, berjanji kembali.
Semalam, ketika aku
mulai melupakan kisah yang pernah kita lakukan dalam perjalanan panjang
penantian, aku tak bisa berhenti. Langkahku tak pernah tertahan. Tetap saja kau
muncul entah dari mana.
Aku benci
sesungguhnya mengenangmu. Menunggumu juga menjadi benci yang kedua, apalagi
berharap lebih dari apa yang pernah kau janjikan dahulu, semakin mendalam rasa benci ini.
Benarkah kau akan
kembali? Hingga hari ini kabarpun tak kau beri.
Rasanya sudah
terlalu lama kau pergi. Meski menurut perhitungan
kalender yang tergantung di dinding rumah dekat lemari buku berlalu sudah tiga bulan.
Beginilah bila rindu itu telah menjadi-jadi. Tak ada waktu berbenah diri, hanya
merenungi. Bukan merenungi untuk berbenah diri. Tapi merenung dan terus
merenung kepergianmu. Duhai.
“Aku pergi. pasti
akan kembali. Lihatlah daun yang gugur
itu, ia menjadi saksi kita. Kelak aku kembali pada bulan ketiga tepat ditanggal
yang sama sejak kepergianku” tanpa berurai air mata, dengan nada yang biasa,
seolah tanpa cinta, kau berbicara lancar adanya.
Sementara aku
tersedu, tertunduk, tak sanggup menatap wajahmu. Meskipun tanganmu terus menggenggam dan meremas tanganku. Kaku, tak sanggup mengatakan
apapun.
Aku melepas
kepergianmu, bersama doa beribu. Doa yang tertancap dalam hati, kuhamburkan saban hari
hingga berganti hari lagi. Doa yang terus kulafalkan saban malam hingga
matahari kembali ke peraduan. Tapi hingga bulan ini, secercah harapan akan
kabar keberadaanmu tak kudapati.
Duhai, betapa tak
sanggup hatiku ini.
Kau tahu ayah tak
pernah setuju menjadikan kau sebagai separuh hatiku. Tapi ibu selalu meyakinkan.
“Bila cintamu tulus
dari hati terdalam, yakinlah kelak siapapun itu, ia yang akan membawakan
sekuntum bahagia, ia rawat bersama kesahajaan. Tak hanya dititipkan saja padamu
bahagia itu, ia akan merawatnya bersamamu” Ibu tersenyum meluruhkan hati ini.
Ketika kepergianmu,
lihatlah betapa marahnya ayah.
Ia diam saja, tak banyak kata, bahkan menegurpun tidak, apalagi menegurmu. Aku
tahu sifat ayah, bila marah, selalu begitu. Diam. Aku faham sekali.
Diam ayah semakin
panjang, bulan ini telah kali kesekian aku menunggumu, sembari menatap
daun-daun pada pohon kersen yang telah menguning, berguguran. Itulah
penyebabnya, tak ada kabarmu.
Pantaskah aku
menjadi pendampingmu, duhai? Aku terus berkeluh, tak pasti aku apakah kau sudah
makan? Apakah kumismu masih selalu kau buat rapih dan tipis sebagaimana ketika
kita bersama? Bagaimana dengan janggutmu? Atau
kau tak sempat mengurus semua itu?
Dimanakah kau,
duhai? Aku rindu. Sepotong doa saja rasanya tersendat kulantunkan, berdentum
jantung ini bila melihat seolah bayangmu yang memeluk tadi malam. Tapi itu
hanya mimpi.
Ayah tak pernah
setuju. Tak setuju saat kunyatakan kau akan datang meminang, tapi ibu dengan
kelembutan hatinya ia berhasil meyakinkan ayah. Kau datang, pernikahan kita
ditentukan segera.
Tugas Negara
memanggilmu, wahai duhai. Konflik di ujung pulau salah satu Negara kita menjadi
tujuan penugasanmu. Tiga bulan kau berperang di sana. Aku khawatir, tak pernah
dapat kabar darimu. Itulah mengapa ayah tak setuju. Tugas Negara tak akan
pernah bisa dihindari.
Bisa saja kau gugur kapan saja.
Tapi ibu selalu
meyakinkan ayah.
“Kematian bisa datang kapan
saja, tak mengenal waktu dan tempat. Meskipun ia sampai ke ujung dunia, kelak takdirnya
kembali kepangkuan pertiwi, kembali juga ia. Meskipun di rumah atau bersembunyi
kemanapun, tak akan sanggup ia melawan takdir Allah. Bila
nyawa sudah ditakdirkan ditarik, tak
siapapun dapat berlari” ibu meyakinkan ayah, tak
ada kematian yang tak diatur waktunya oleh sang pemilik. Ayah luluh. Mengiyakan
pernikahan kita.
Tepat
seminggu pernikahan kita, kau pamit, bersama doaku, doa
ibu, dan ayah yang berkomat-kamit dalam hati. Aku yakin, ia pasti mendoakan
kau, anak menantunya. Tak kan ia berharap aku menjadi janda sebelum ia menutup
mata. Setidaknya doalah yang bisa dibantu, katanya pada ibu.
Hari ini, tepat tiga bulan kepergianmu. Aku
menunggu, bersama dzikir pagi menunggu dadamu untuk kurebahkan kepala yang terus
berdenyut-denyut dari
malam tadi. Sejak mendapat kabar dari pak Agus
kau dan tim akan segera kembali. Aku berharap kau salah satunya.
Sayangnya pak Agus juga tak bisa memastikan
siapa saja yang dapat pulang dengan selamat. Sebagian besar telah gugur di
medan perang. Melawan para pengacau keamanan Negara.
Suamiku mati. Ia tak
kembali.
Ia, suamiku mati. Ia
tak kembali. Seluruh daun kersen telah berguguran dari batangnya. Seluruh
ketakutanku menyatu bersama kekhawatiran ayahku. Tak ada pula mereka membawa
mayatmu. Tak ditemukan mereka mayatmu.
Aku menjerit,
sejadi-jadinya.
*
Hari ini tepat 19
tahun yang lalu, aku hanya bisa menjiarahi makammu lewat hamburan doa. Bersama Jujur,
anak kita, setelah tahajjud sendu.
Ia namanya Jujur, Jujur Purnomo. Aku
tak menyangka kepergianmu justru membawa kehidupan baru. Dia anakmu. Jujur. Wajahnya
persis sepertimu. Prilakunya sepertimu.
Ia baru tamat dari
SMA, beberapa kali mewakili sekolahnya menjadi atlit karate berprestasi. Pernah
menjadi salah seorang yang ikut mengibarkan bendera pada hari kemerdekaan di
istana Negara. Cita-citanya satu. Ingin sepertimu. Membela Negara ini. Aku
senyum, getir. Tapi tak melumpuhkan aku dalam membesarkannya.
Lihatlah, sejak
kelas empat sekolah dasar, aku sudah melihat bakat kemandiriannya. Ia bisa
membawa kembali uang jajannya tetap utuh, bahkan bertambah. Aku khawatir ia mencuri, atau melakukan
kecurangan. Tidak. Ia berjualan. Membantu nenek-nenek kantin tukang lontong
yang ada di sekolah. Nenek itu berjualan sendiri. Tapi selalu ramai teman-teman
dari kelas satu
sampai enam belanja di tempatnya. Meskipun ada kantin-kantin lain di
sebelahnya.
Nenek itu kewalahan
katanya. Ia menawarkan diri. Boleh dibantu nek, itu ceritanya padaku. Kau tahu,
aku baru saja baru mengetahuinya saat
akan mencuci baju sekolahnya. Kutemukan di
kantongnya sejumlah uang yang berjumlah sepuluh
kali lipat dari jumlah uang jajannya. Ia baru saja menerima uang arisan kelas.
Ia selalu menabung di kelas. Dari nenek kantin ia mendapat uang jajan tambahan
beserta sepiring lontong saban harinya. Ia mandiri. Sepertimu, ketika tak ada
yang setuju kau akan jadi tentara, kau tetap ngotot. Kau hanya minta doa saja
dari ayah ibumu. Dan kau membuktikan itu.
Begitu pun anakmu, Jujur. Sejak kelas 4 sudah
mandiri, uang jajan yang kadang kuberi, dan lebih banyak tidak. Tak pernah ia
berkomentar. Tak pernah dia menuntut apapun. Tak pernah ia meminta dibelikan
sepatu baru. Meskipun
tapak kaki sepatu telah terbelah. Meskipun kaus kaki selalu diikat karet agar
tak melar saat dipakai. Tak pernah. Ia anakmu. Sepertimu. Itu yang dulu membuat
aku jatuh cinta padamu.
Hari ini ia akan
melamar menjadi tentara sepertimu. Ada pembukaan pendaftaran. Fisiknya yang
cukup, kecerdasanya yang sungguh baik, mungkin bisa menjadi modalnya. Aku
yakin, ia pasti bisa. Seperti dirimu. Meskipun hati ini risau. Risau ia
mengikuti jejakmu, risau mendengar kata tetangga.
Bila aku tak punya uang yang
banyak, tak punya tanah yang bisa dijual, Jujur tak akan lulus menjadi tentara.
Tidak, aku menampar
risau itu. Meskipun telah 19 tahun berlalu, jiwaku ada padanya, semangatmu juga
ada padanya. Aku selalu ingat pesanmu, hidup yang baik itu harus selalu jujur,
meskipun kita tak mampu. Jangan memaksakan diri. Ketika kau bercerita tentang
masa-masa sedang ikut proses seleksi menjadi tentara, kau bilang tak pernah ada
kekuatan yang dapat membantu selain kekuatan Allah. Yakinlah, hanya bersama Allah
kita pasti bisa, katamu.
Kau membuktikannya.
Dengan kemampuanmu tak sepeserpun dana yang kau keluarkan agar kau lulus
menjadi tamtama. Semua kau lakukan dengan kemampuanmu, dengan kelebihan yang
diberikan Allah padamu. Hari ini aku terus meyakinkan Jujur.
“Jangan dengar
apapun kata orang, bila tekadmu sudah kuat, kudoakan engkau mendapatkan yang
terbaik” Jujur hanya tersenyum. Manis. Seperti senyummu. Selalu meluluhkan dan
merampas air mataku bila melihat senyum anakmu. Persi sepertimu.
Kau tahu, Jujur
sudah sangat mandiri sekarang. Ia hanya meminta restu dariku. Aku tak perlu
khawatir katanya.
“Bila Jujur lulus
itu takdir dari Allah, bila tidak itu juga takdir, mungkin Allah mau memberikan
jalan lain yang terbaik untuk kita, Mamak doakan saja Jujur” Itu katanya
sembari menyium pipiku. Aku terenyuh.
Betapa setiap
tetesan keringat ini selalu kujadikan doa, untuk perjalanan panjang kehidupan aku dan anakmu. Tak mau pasrah dengan keadaan.
Tak boleh mundur dari dunia hanya masalah tak makan. Atau tak ada tempat
berteduh. Aku selalu menghamburkan doa untuk menjadi Ibu dan istri yang dapat
mengumpulkan kita di syurga kelak.
Aku rindu engkau,
biarlah doaku khusus untukmu agar kita berkumpul di sana kelak. Akan
kuceritakan banyak hal tentang anak kita. Akan kubawa ia, dan memperkenalkannya
pada ayahnya yang tak pernah ia temukan sejak kelahiran di dunia.
Aku
terhenyak.
Anakmu tak lulus
pada seleksi tahap kedua. Ia kembali ke rumah yang sudah reot ini. Kusambut
hangat dan kupeluk. Ia tetap tersenyum, menganggap semuanya tanpa beban. Aku
hanya bisa mengelus punggungnya.
Kepulangannya dari
mengikuti seleksi tentara menjadi bahan gunjingan para wanita tua tetangga
kita. Mereka tak menggunjing anak kita, tapi menggunjing anak orang yang telah
lulus menjadi tentara.
“Sudah kubilang,
jangan kau paksakan diri mendaftarkan dia menjadi tentara. Tak ada uang, tak
akan lulus anakmu itu” wanita tua berwajah mulus berpipi tembem mencolek aku
saat akan bersiap menjual pisang coklat yang akan kubawa ke pasar.
“Jangan memaksakan
diri, syukuri saja apa yang ada, hanya orang-orang yang berada saja yang bisa
menjadi tentara itu, anak bu Har saja menjadi tentara telah banyak menguras
hartanya. Anaknya lulus, tapi ladangnya yang di kampung harus dijual habis”
Wanita tua kedua yang tak bersuami berdiri di depan gubukku saat aku sedang
menjemur pakaian. Aku hanya tersenyum. Tak berguna memperdebatkan apapun pada
mereka. Hanya membuat rasa jiwaku merana. Aku tak perlu peduli dengan apa yang
mereka cakapkan, dan tak perlu tahu benar atau tidaknya.
Anakmu malah lebih
kuat dariku. Meski setiap pagi ia selalu mendengar gunjingan itu, sepanjang
satu bulan setelah proses seleksi mengikuti untuk menjadi tentara, ia tetap
tersenyum. Ia tetap permisi, lagi ada kerjaan kecil yang bisa menghasilkan uang
katanya.
Aku tak bertanya,
aku khawatir ia tersinggung bila kutanya
apa yang dia kerjakan, dimana, bersama siapa. Karena aku yakin dia sudah sangat mandiri dan
dewasa. Meskipun baru Sembilan belas tahun usianya, baru tamat SMA.
Aku hanya tahu ia
pulang dengan selamat, membawakan aku buah tangan berupa bahan-bahan yang dapat
kuolah di dapur
kita. Tak banyak, tapi itu sangat lebih dari cukup bila dibandingkan
penghasilan dari perjuangan keseharianku menjual pisang coklat yang kuambil
dari ibu Ila, pengusaha pisang coklat itu.
Aku yakin, kejujuran
yang dulu kau ajarkan padaku, saban hari kutunjukkan padanya. Aku yakin, ia tak
akan berbohong, sekalipun.
Rumah Azka,
Siumbut-Umbut. Maret-April 2020
Saufi Ginting bin Muhammad Yusuf Ginting. Lahir dan besar di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumut.
Pegiat literasi. Pendiri Taman Baca Masyarakat Azka Gemilang, Komunitas Penulis
Muda Asahan, dan penerbit buku Ber-ISBN. Peraih Anugerah Pegiat Literasi 2018
dari Balai Bahasa Sumut Upt Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Terbit di Asahan Pos, 8 Juni 2020
No comments:
Post a Comment