UN: PEMISKINAN
MASSIF DALAM PENDIDIKAN
Muhammad
Saufi Ginting
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Medan (UNIMED)
Ujian Nasional (UN)
merupakan fase akhir bagi seorang siswa dalam menyelesaikan sekolahnya baik
untuk tingkat Sekolah Dasar/Sederajat berupa UASBN, sampai pada tingkat
SMA/Aliyah Sederajat. Dahulu, pada awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1971
ada juga ujian akhir bagi siswa namanya Ujian Negara, kemudian pada tahun 1972
berubah menjadi Ujian Sekolah karena tingkat kelulusan Ujian Negara hanya 30-40
persen saja. Pada saat menjadi 100 persen, kemudian diganti lagi menjadi
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), dan sekarang namanya berubah
menjadi Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional tahun pelajaran 2010/2011 telah
berlalu, dan telah pula diumumkan para siswa yang lulus dan tidak lulus dari
tingkat SMA, SMP, dan yang terakhir tingkat SD.
Kelulusan bagi anak-anak kita adalah
jalan untuk menuju pintu kebahagiaan lainnya. Lihat saja, bagi siswa SD, mereka
akan bahagia melanjutkan ke SMP, otomatis mereka tak akan memakai seragam merah
putih lagi. Anak-anak kita di SMP mereka akan sangat bahagia melanjutkan ke
jenjang SMA sebab tak ada lagi seragam biru putih, dan mereka bisa menikmati
masa-masa remaja dengan penuh keceriaan. Bagi yang SMA akan bahagia melanjutkan
ke tingkat kuliah, sebab tak ada lagi baju seragam yang akan mengikat mereka
kemanapun mereka pergi dalam menempuh pendidikan.
Belajar dari pengalaman UN
tahun-tahun sebelumnya, setiap sekolah sudah mempersiapkan diri sejak semester
II awal tahun pelajaran. Bahkan ada juga sekolah yang sudah mempersiapkan diri
sejak awal Semester I bagi siswanya yang akan menghadapi UN. Pelaksanaan dan
aturan-aturan yang berlaku dalam UN membuat setiap sekolah berusaha dengan
keras mempersiapkan segalanya. Misalnya saja dengan mewajibkan para siswanya
untuk mengikuti les tambahan sepulang sekolah ataupun di hari libur. Mewajibkan
para guru bidang studi yang di-UN-kan menjadi tutor pada les tambahan tersebut.
Bahkan bagi orang tua yang memiliki kemampuan lebih, ia akan memasukkan
anak-anaknya mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, baik melalui
institusi resmi ataupun memanggil guru privat ke rumah.
Akan
tetapi bagi orang tua yang memang kerja keras untuk mendukung anaknya agar
lulus UN dengan nilai memuaskan, tentu rasanya tidak fair ketika melihat nilai sebagai hasil UN anak-anaknya
kenyataannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang sama sekali
tidak pernah mengikuti bimbingan. Begitu juga bagi anak-anak kita yang
bersekolah di SMP akan tak bahagia mengetahui bahwa ‘mencontek’ yang dilarang
ketika ulangan harian, formatif, dan lain sebagainya, hanya menjadi bahan
renungan sesaat, sebab tak berguna kepandaian saat UN. Anak-anak kita yang di SMA
akan kecewa, sebab kecerdasan mereka harus dibayar dengan ketidak puasan hati
dalam menjalankan keinginan untuk bersaing menjadi yang terbaik, apalagi ketika
kuliahpun kebiasaan mencontek merupakan bahan yang paling baik saat ujian. Lebih
ironis apabila mereka kuliah sebagai calon
guru, ketika ujian mereka ‘mencontek bahkan mengopek’ sementara ketika mengajar dan berada di depan siswa
dengan tanpa bersalah untuk melarang anak-anaknya mencontek dan mengopek. Di
dalam http://ujiannasional.org/ disebutkan bahwa semua persoalan terkait UN
adalah cerminan masyarakat Indonesia, persoalan UN bermuara dari persoalan
paling mendasar di masyarakat, yaitu sulitnya memberantas budaya korupsi.
Korupsi menurut Suara
Muhammadiyah edisi 16-30 Juni 2011 hlm. 6, merupakan
salah satu proses pemiskinan pada “level
atas” yang berbentuk pada gejala pendangkalan makna hidup, pemiskinan alternatif
mencari sumber kehidupan, dan penyempitan orientasi hidup. Hidup cenderung
dipahami sebagai wahana untuk mengumbar kenikmatan duniawi, dan satu-satunya
sumber kehidupan mereka hanyalah korupsi. Orientasi hidup hanya ditujukan
kepada kepentingan diri sendiri, keluarga, partai dan kelompoknya.
Hal ini menjadi image buruk di mata masyarakat. Bisa
jadi pendidikan tak lagi penting bagi orang tua yang berharap anaknya lulus di mata
masyarakat, tak penting bagi anak, sebab semua bisa sejalan, apalagi dengan
uang pasti lebih diutamakan. Tidak penting bagi bangsa, sebab kalau anak bangsa
cerdas kemungkinan akan menjadi duri dalam daging sendiri. Pendidikan tak
penting, sebab agama telah terkikis dengan persaingan dan lemahnya iman.
Peristiwa ini bisa saja terjadi
sebab pemiskinan terhadap akses pendidikan yang lebih baik sudah berkurang. Sehingga
menghasilkan gap yang sangat kentara
antara sekolah yang satu dan sekolah lainnya, apalagi antara sekolah negeri dan
sekolah swasta, antara sekolah yang di pusat dengan sekolah yang di
daerah-daerah. Sejujurnya, ketika kita lihat lebih jauh, ternyata model
pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah elit di Jawa, sangat jauh berbeda
dengan sekolah yang berada di pelosok kampung di salah satu daerah di Sumatera
misalnya, sekalipun juga merupakan Sekolah Standar Nasional (SSN) ataupun
Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Kononlah lagi sekolah yang
tidak menyandang gelar atau yang belum terakreditasi. Tetapi UN tetap terkesan
untuk “dipaksakan” demi kepentingan Negara, hanya ingin membuktikan bahwa
Indonesia juga punya standar nasional dalam menilai kelulusan siswa, dan tidak
kalah dengan sekolah-sekolah luar negeri lainnya.
Bisa jadi inilah salah satu
bentuk pemiskinan dalam pendidikan. Muhammadun dalam situs http://gp-ansor.org/
menjelaskan bahwa kemiskinan tidak lahir dengan sendirinya (given), ia tidak muncul bukan tanpa
sebab. Orang-orang miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Mereka
miskin bukan pula karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin.
Mereka menjadi orang miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik
dan sosial. Mereka miskin karena memang sengaja dilestarikan untuk menjadi
miskin. Mereka menjadi kaum tertindas karena memang disengaja, direkayasa dan
diposisikan sedemikian rupa untuk ditindas. Mereka miskin karena dieksploitasi,
diperas, dijarah dan dirampok hak-haknya. Mereka miskin karena dipaksa oleh
sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Kemiskinan penting untuk dipelihara
dan dilestarikan karena besar manfaatnya, yakni menunjang kepentingan kelompok
dominan, elite penguasa (the ruling
elites) atau kaum kapitalis.
Munculnya
apa yang disebut sebagai ‘kesengsaraan umum’ dimana-mana sudah bukan lagi menjadi
rahasia umum. Proses pemiskinan yang berlangsung secara masif di Indonesia
terus berkelanjutan, ini berlangsung pada dua jalur dan dua level yaitu pada
masyarakat kelas atas yang berlangsung pada
titik strategis, yaitu mental, spiritual, nilai dan kesadaran sosial
mereka, Serta pada masyarakat kelas bawah, yaitu berupa pengurangan dan
penghilangan akses mereka terhadap kesempatan kerja, pengurangan dan
penghilangan akses terhadap tempat usaha, pasar. Pengurangan dan penghilangan
akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, permodalan, bahan baku usaha, lahan
dan cita-cita (lihat Suara Muhammadiyah No.
12/TH. KE 96, 16-30 Juni 2011 hlm. 6).
Bagaiamana dengan pemiskinan
dunia pendidikan baik pada level atas dan level bawah? Muhammadun dalam resensi buku “Sekolah Bukan Pasar”,
menjelaskan bahwa tragedi kapitalisasi pendidikan menurut St. Kartono si
penulis buku merupakan bentuk McDonalisasi pendidikan. Dalam arti, pendidikan
diibaratkan sebagai makanan lezat yang akan diperjual-belikan sesuai harga
pasar. McDonalisasi pendidikan selalu menempatkan institusi pendidikan dalam
proses daya tawar (bargaining) antara
penjual (seller) dan pembeli (customer). Barang dagangan (commodity) akan dipoles sedemikian rupa
dengan berbagai atribut dan selera pasar. Komoditas hanya dilihat luarnya saja,
tidak begitu penting isi dalamnya. Substansi tidak begitu penting. Makan
McDonal di kafe mewah, seolah mendapatkan prestise yang luar biasa. Image
publik itulah yang dibeli dalam dunia McDonalisasi pendidikan.
Menegaskan hal ini Suara Muhammadiyah (ibid) menjelaskan bahwa semua proses pemiskinan masif, khususnya
yang kelas bawah ini berlangsung diakibatkan oleh atau bersumber dari kebijakan
negara, kebijakan pemerintah, kebijakan partai yang lebih mengabdi dan menghamba
pada kepentingan pasar, kepentingan modal, dan kepentingan pasar modal global
sekarang ini. Intinya, kebijakan negara dan pemerintah itu lebih memanjakan
pihak asing ketimbang pihak rakyat sendiri. Akan tetapi kita berharap “pemiskinan”
dunia pendidikan khususnya dalam pelaksanaan UN, bukan menjadikan kita untuk
melemahkan proses pendidikan, tetapi semakin menguatkan bahwa kita harus
berubah.
Penutup
Sungguh, semua jalannya kehidupan
kita ini diatur oleh Allah SWT. Mau jadi apapun, tetap saja rezeki Allah yang
tentukan. Tinggal bagaimana kita mensyukuri nikmat Allah tersebut. Lihat juga
cerita laskar pelangi, walau semua siswanya miskin, tapi ada seorang yang
‘sangat’ pandai, akhirnya hanya membuka kedai kopi di kampungnya. Sementara
sang penulis cerita tersebut juga salah satu pemeran utamanya, dapat beasiswa
dari perusahaan di kampungnya dan berkuliah di luar negeri.
Contoh yang saya sebutkan di muka
tadi, bisa jadi dalam kehidupan kita saat ini. Anak-anak kita yang menyelesaikan
pendidikan 9 tahunnya, punya satu tujuan, LULUS. Sudah bukan rahasia umum lagi
bahwa untuk lulus tak perlu belajar. Sebab cukup dengan datang pagi-pagi satu
jam sebelum UN, maka tidak usah diragukan lagi, sang gacok sudah mendapat jawaban tepat.
Tidak ada yang bisa kita salahkan,
tapi saatnya untuk memperbaiki segalanya di berbagai bidang. Terutama dalam
dunia pendidikan. Karena dengan memperbaiki pola pendidikanlah semua korupsi,
kolusi, dan nepotisme dapat dihapuskan. Caranya tentu tidak mudah. Kita pasti
akan ditertawakan olah sekelompok orang yang telah terbiasa menghalalkan segala
cara. Tapi bagi kita yang ingin berusaha untuk bertindak profesional, kita bisa
memulainya dari kita sendiri. Dari bagian yang bisa kita lakukan. Dengan begitu
tidak ada lagi mencuci nilai rapot dengan setumpuk uang. Tidak ada lagi Ujian
Nasional yang dibantu guru, dan semua berjalan apa adanya.
Begitupun dengan anak-anak kita,
ajarkan mereka untuk jujur terhadap diri sendiri dan dengan kemampuan mereka.
Ajarkan mereka untuk bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang mereka
lakukan.
No comments:
Post a Comment