Wednesday, March 28, 2012
GALAU
Hidup hanya sekali kawan, jangan kau sia-siakan. Cinta yang kau puja-puji berbeda dengan cinta yang akan kau rasakan tatkala kau telah memiliki belahan jiwa dan anak keturunanmu. Semua lebih. Lebih dari sekedar kata sayang, lebih dari sekedar say hello, lebih dari apapun yang kau dambakan saat kau masih sendirian. Berhentilah. Berhentilah dari kegelisahannmu. Jangan bersedih, usia bertambah, maka ilmu dan iman harus berlebih. jangan statis. mari mengikis kacau.
Monday, March 26, 2012
OPINI
MEMBELAJARKAN KARAKTER HEBAT PADA
ANAK
Oleh: Muhammad Saufi Ginting
Mouly
(dalam Trianto, 2010:9) mendefinisikan bahwa belajar pada dasarnya adalah
perubahan tingkah laku seseorang berkat adanya pengalaman. Lebih lajut
dikatakan bawwa perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan
dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah
laku, kecakapan, keterampilan dan kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang
lain yang ada pada individu belajar.
Perubahan
yag dimaksud dalam belajar di atas perubahan ke arah positif, dalam arti untuk
memperbaiki generasi penerus (siswa) memiliki pegetahuan yang bermanfaat dan
berdaya guna dikemudian hari kelak, untuk bangsa dan agamanya. Akan tetapi melihat
dan membaca media baik televisi dan koran belakangan ini, rasanya bergidik ngeri ketika anak-anak bangsa (pelajar)
sudah kehilangan karakter positif untuk mencintai hidupnya dan mendekatkan diri
pada Tuhan. Perkelahian yang terus-menerus dilakoni oleh pelajar kita contoh
kasus perkelahian siswa SMA Negeri 6 Jakarta dengan wartawan, bisa dilihat beritanya
di televisi berulang-ulang. Perilaku geng motor menurut informasi dari media
juga dilakukan oleh para pelajar kita di Medan, semakin menjadi-jadi dan belum
terkendalikan, menjadi fenomena memiriskan hati bagi siapa saja yang
mendengarnya apalagi menjadi korban tindakan anarkis oleh anak-anak kita
sendiri.
Jika
kita melihat ke belakang, perkembangan dan kebebasan berekspresi menjadi dilema
buruk bagi bangsa kita. Pascareformasi 1998, peranan media massa dan elektronik
menjadi lebih besar, khususnya televisi. Televisi dapat memberikan informasi
dari seluruh dunia kepada orang dimanapun berada. Tetapi sayangnya kebanyakan
siaran yang dipertontonkan penyedia layanan dan penyedia hiburan hanya
mementingkan kebutuhan pribadi mereka ketimbang memikirkan bagaimana pengaruh
buruk televisi terhadap pendidikan masyarakat, khususnya kejiwaan anak yang merupakan masa depan
bangsa. Padahal menurut UU Penyiaran tahun 2002 pasal 36 tentang isi siaran
“dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang”.
Tapi
tak juga semua bisa kita salahkan kepada televisi. Masyarakat harus turut
menjaga dengan terus memberikan pendampingan agar tidak berakibat buruk pada
perkembangan psikologis dan masa depan anak kita. Selain itu ada juga lembaga
yang berhak menyensor siaran yang berkewajiban terus menjaga kualitas siaran,
sebut saja Lembaga Sensor Film, bahkan bisa jadi lebih ke atas adalah Menkominfo.
Seiring
dengan perkembangan zaman, banyak hal yang terus berubah dan baru. Mulai dari
gaya, budaya, dan bahkan dunia pendidikan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban
untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuan sehingga tidak meninggalkan generasi
yang lemah di belakang kita. Selain itu, perlu diingat bahwa kita harus lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab bisa jadi karakter yang kita berikan
selama ini adalah tentang ilmu-ilmu umum, tapi masih belum kita kaitkan untuk
mengingat Tuhan. Hal yang dapat diusahakan adalah memberikan tauladan yang baik
bagi anak-anak kita, salah satunya dengan iqro’
(banyak membaca).
Membangun Karakter Positif
Terkait
dengan membaca, setidaknya ada enam obyek yang bisa kita jadikan bahan bacaan.
Keenam obyek tersebut menurut Rahadi dalam tulisannya “Membudayabacakan
Masyarakat (2004)” adalah: Buku (tulisan), diri sendiri (individu), orang lain
(sosial), lingkungan (alam semesta), koran (informasi) dan Qur’an (agama). Nabi
Muhammad SAW sebelumnya adalah orang yang tak pandai membaca, sampai
ketika ia diperintahkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril supaya pandai
membaca. Sejarah ini terekam dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1-5, merupakan
wahyu pertama yang dimulai dengan kata Iqro, “Bacalah!”.
Hal
ini mengisyaratkan kepada kita agar mampu menjadi pribadi yang gemar membaca.
Membaca dalam konteks yang diajarkan Allah kepada kita tidak hanya kepada
kitab, tapi semua yang telah diciptakan oleh Allah SWT baik yang tersurat
(tekstual) atau tersirat (kontekstual). Ayat tersebut memberi isyarat yang
sangat baik bagi pola pikir manusia, khususnya bagi umat Islam. Dengan
penurunan ayat tersebut pada tahap awal, Allah SWT mengingatkan bahwa nilai
bacaan berada pada posisi yang utama. Karena itu, sabda Rasulullah SAW “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
muslim” merupakan anjuran yang sangat erat kaitannya dengan wahyu pertama.
Ironisnya,
saat ini tidak sedikit orang yang melalaikan makna ayat tersebut. Bahkan tidak
jarang orang beranggapan bahwa bacaan, terutama bacaan secara tekstual, tidak
berpengaruh besar terhadap posisi kehidupan manusia. Padahal, terlepas dari
penggalian terhadap makna wahyu pertama kepada Rasulullah SAW di atas, kegiatan
membaca merupakan salah satu ujung tombak bagi perkembangan peradaban umat
manusia. Untuk itu membaca adalah tahap awal dalam membangun karakter positif
bagi kita dan anak-anak kita.
Selain
itu, Muslich dalam bukunya “Pendidikan
Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional” (2011: 56-57) memberikan
tips bagaimana menjadi pendidik yang memiliki karakter hebat. Mencintai
anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak.
Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendorong
anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cinta
adalah dengan senyum, sering tampak bahagia, menyenangkan, dan pandangan
hidupnya positif.
Bersahabat
dengan anak dan menjadi teladan bagi anak.
Guru
harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang
diucapkan di hadapan anak harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral,
agama, budaya. Cara penyampaiannya pun harus "menyenangkan" dan
beradab. Ia pun harus bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk,
lebih-lebih angkuh. Anak senantiasa mengamati prilaku gurunya dalam setiap
kesempatan.
Mencintai
pekerjaan guru.
Guru
yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran
baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang
hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Guru yang hebat akan mencintai
anak didiknya satu persatu, memahami kemampuan akademisnya, kepribadiannya,
kebiasaannya dan kebiasaan belajarnya.
Luwes
dan mudah beradaptasi dengan perubahan.
Guru
harus terbuka dengan teknik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu
mencari ilmu. Ketika masuk kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak
ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
Tidak
pernah berhenti belajar. Dalam rangka
meningkatkan profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan belajar.
Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya, dan mengakses informasi
aktual tidak boleh ditinggalkan.
Penutup
Kita tidak perlu saling
menyalahkan, tapi saatnya untuk memperbaiki segalanya di berbagai bidang,
terutama dalam dunia pendidikan. Jangan sampai apa yang terjadi di kota-kota
besar, seperti Jakarta dan Medan menjadi virus di kota-kota kecil lainnya yang
setiap saat bisa saja berkembang dengan cepat. Cukupkan sampai di situ dan
selesaikan. Mulai dari diri kita sendiri, sehingga nilai-nilai positif dan
sikap mencintai Tuhan terus tertanam pada generasi penerus.
Dengan demikian rumah
(keluarga) dan pendidikan yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang
penting dalam pertumbuhan kejiwaan. Begitupun dengan anak-anak kita, ajarkan
mereka untuk jujur terhadap diri sendiri dan dengan kemampuan mereka. Ajarkan
mereka untuk bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang mereka lakukan.
Penulis adalah mahasiswa
Pascasarjana Universitas Negeri Medan prodi Linguistik Terapan Bahasa Inggris
tinggal di Kisaran.
Pendidikan
BELAJAR,
INFO TERBARU,
OPINI
Sunday, March 25, 2012
CERPEN
SUDAH MERDEKA
Oleh: Muhammad Saufi Ginting (di Kisaran-Asahan,
Sumatera Utara)
Apa jadinya jika seorang sarjana, tapi tak mampu mendapatkan penghasilan
yang cukup? untuk makan saja masih tak cukup, apalagi untuk berbakti kepada
orang tua sekedar membelikan sekilo gula untuk membuat teh manis di rumah?
Itulah aku kini, sarjana pendidikan yang baru saja di wisuda 2 bulan yang lalu
di salah satu universitas milik pemerintah Kabupaten tempat aku tinggal.
Masih kuingat dengan jelas, tanggal
21 Nopember itu, kedua orang tua ku datang dengan mengendarai sepeda bututnya
untuk menghadiri acara wisuda anaknya dengan senyum tak terhitung jumlahnya
sepanjang jalan dari rumah menuju kampusku.
Anakku wisuda, Anakku wisuda, teriak mereka sepanjang jalan, kata Umri,
teman sekelasku di Universitas yang kebetulan berpapasan dengan kedua orang
tuaku sebelum dia sampai ke Universitas ini untuk di wisuda juga.
Aku hanya tersenyum malu. “Maaf mak”
ucapku dalam hati. Aku tak bisa membawa orang tua ku kemari secara
bersama-sama, seperti Umri yang menggunakan mobilnya, datang ke acara wisuda
bersama seluruh keluarga besarnya.
***
Hanya pada sebuah asa kau mengamuk
Jangan begitu saudara
Ini sudah merdeka!
Sekali lagi, ini sudah merdeka!
Mari redakan gelisah di dada
Sambil iseng, aku berdiri membaca tulisan kecil yang ditempelkan di
mading sekolah itu, tulisan yang bagus, menurutku, yah negeri ini memang sudah
merdeka, tak perlu gelisah dalam menjalani kehidupan, pikirku.
Bukan waktunya aku kau rembuk
Waktunya mendefinisikan merdeka
Merdeka kita dari penjajah dulu
Pasti.
Merdeka kita sekarang dari malu
mau
Merdeka kita dari mau
cepat
Merdeka kita dari sabar
ngeri
Merdeka kita dari menggeletar
kejam
Merdeka kita semua dari tuhan?
…..
Maka kembali lahir sebuah kemerdekaan…
Diantara belantara kerancuan
Memang benar, dulu identik kata merdeka adalah dari penjajahan, batinku
sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui apa yang baru saja kubaca.
Tapi sekarang, semua orang sangat gampang menyatakan bahwa menampilkan kemaluan itu juga bagian dari
seni, bagian dari bangsa yang sudah merdeka, dan cepat-cepat ingin mengikuti
prilaku yang buruk dari bangsa barat sana. Sementara ketika kita bersabar,
untuk menahan diri tidak mengikuti kemerdekaan yang memalukan, semua orang
menunjuk bahwa kita ketinggalan zaman, tapi ketika kita sudah tak sabar, maka
tindakan anarkis yang malah terjadi untuk menghentikan kemerdekaan yang
memalukan itu. Rasa-rasanya memang bangsa kita ini sudah begitu kejam memaknai
arti merdeka. Bagaimana pula jika sudah merdeka dari Tuhan? Aku benar-benar
sangat mengapresiasi tulisan kecil yang kubaca satu persatu ini. Apakah semua
orang ingin merdeka ya? membingungkan. Gumamku.
Mataku terus tertuju pada tulisan di bawahnya.
Apakah ini merdeka saudara???
Bukankah seharusnya merdeka hari ini
Adalah dari papa?
Derita ?
Bencana?
Dan ketidakadilan?
Sebelum aku selesai melanjutkan membaca tulisan kecil itu lebih jauh,
tiba-tiba bahuku di pegang seseorang dari belakang. Aku menoleh.
“Apa kabar
saudara?” katanya
“Baik.” Jawabku
dengan wajah kebingungan.
“Masih kenal
dengan saya?” katanya
“emmmmh…” kataku
sambil mengerenyitkan dahi.
“Kamu Yusuf kan?
Dulu sekolah di SD 11 Kisaran kan?” lanjutnya
“emhh, ia betul,
kok kenal saya, kamu siapa? Apa dulu kita satu SD? Kataku mencoba mencari
jawaban kebingunganku, begitu dia menyebutkan SD ku yang dulu.
“Ia, ini Aku
Panji, Muhammad Panji, dulu kita pernah satu kelas” katanya
“Dulu aku pernah
memanah kamu memakai lidi yang diikatkan di karet gelang, dan kena mata kamu,
untungnya kata bu Nurita, tidak kena biji mata kamu, padahal waktu itu aku
sudah ketakutan tak karuan” dia terus menyerocos panjang lebar, sambil
menerbangkan ingatku pada waktu 10 tahun yang lalu.
“ohhhhh…..iaaaaaa”
pekikku setengah menjerit. “Kaunya Panji” kataku sambil menjabat dan
menggoyangkan tangannya serta tangan kiriku menepuk-nepuk bahunya.
“Seingatku dulu
kamu hitam, sekarang kok bisa jadi putih gini, makanya aku pangling, ga ingat,
ga tau, kok kamu bisa kenal aku, rupanya kamu, Ji” gantian aku pula yang
menyerocos begitu tau kalau itu adalah Panji, kawan ku waktu masih di SD dulu.
Kami dulu termasuk kawan akrab, sakingkan akrabnya permainan pun yang
aneh-aneh, yang terakhir kali, memang waktu itu di kelas 6, saat tragedi tak
mengenakkan yang baru saja diceritakan Panji itu terjadi padaku. Panji hanya
tersenyum mendengar kebingunganku, lalu mengajakku ke kantin sekolah, yang tak
jauh dari lokasi kami berdiri.
“Kamu ngajar Ji”
tanyaku menyelidik
“Ya ialah, masa’
aku di sini jualan”! jawabnya sambil tersenyum, dengan pertanyaanku. Ya,
mungkin tadi pertanyaan aneh yang baru saja kutanyakan, padahal aku sedang
berada di komplek sekolah bertemu Panji yang berpakaian safari rapi ini.
“Ngajar apa Ji”
“Agama Islam”
jawabnya sambil meminum teh manis dingin.
“Wah, pantas
saja pesannya teh manis dingin, bukan teh botol” Ledekku sekenanya.
“Dulu tamat dari
mana, Ji, Kuliahnya?”
“Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara” katanya
“Ada perlu apa
kemari? Kok kayak orang linglung tadi kulihat dari jauh” lanjutnya, memutuskan
rasa keingintahuanku terhadapnya yang begitu hebat.
“Emangnya kamu
liat dari mana?”
“Tadi, pas kamu
masuk lewat gerbang, aku lagi duduk di meja piket, sebelah sana” katanya sambil
menunjuk sekenanya saja. “Sepertinya aku kenal sama kamu, jadi begitu kamu mau
keluar lagi, ya langsung ku kejar, eh rupanya kamu masih melototi mading.” Aku memang
lagi iseng membaca mading yang kebetulan terletak dekat dengan gerbang sekolah
tempat aku baru saja memasukkan lamaran pekerjaan, ya aku melamar untuk menjadi
guru di sekolah ini.
“Ia, aku tadi
masukin lamaran pekerjaan, mau jadi guru. Tapi katanya lagi ga ada lowongan
guru yang sesuai dengan jurusan ku. Maklumlah namanya juga masih baru tamat
kuliah, Ji, masih cari-cari”. Kataku.
“Emangnya kamu
jurusan apa Suf?” tanya Panji.
“Matematika.
Eh..kamu kok ga ngajar ni?
“Ini lagi jam
istirahat, liat aja banyak anak-anak
yang keliaran di lapangan tu!”
“Tapi ga
apa-apa, Insyaallah pasti ada cara lain yang Allah kasih buat kamu dalam
mencari rezeki” kata Panji menyejukkan jiwaku.
“Amiin…”ucapku
mengamini doa Panji barusan.
****
Hubungan ku dengan Panji, berlanjut melalui HP. Memang HP ini walau masih
merek jadul (jaman dulu) nokia 3315
tapi masih dengan setia menemaniku, apalagi memiliki nilai histori yang tinggi,
karena merupakan pemberian temanku waktu kuliah dulu. Dan kini, sungguh banyak
manfaatnya, walau entah kapan-kapan aku baru bisa mengisi pulsanya.
“Suf, ada
lowongan ni jadi Wartawan di Koran Serambi” bunyi SMS yang baru saja kuterima
dari Panji. Tak lama, sebelum aku membalas ingin menanyakan lebih lanjut
tentang lowongan itu, ia sudah mengirim SMS lagi tentang persyaratannya dan
alamat lengkap yang akan di tuju.
“Cobalah, aku
yakin kamu bisa” kata Panji dalam SMS selanjutnya.
Tanpa membalas
kembali SMSnya aku pun bergegas menghitung sisa-sisa uang ku yang baru saja ku
dapatkan dari hasil mengajar les privat anak SD tetanggaku. Akupun pergi ke
rental komputer untuk mengetikkan surat lamaran pekerjaan, dan akan segera
kukirim melalui kantor pos. Apa salahnya untuk mencoba, walau mesti jauh,
pikirku.
***
Begitulah, ketika kau kuatkan hati untuk
menang
Maka keyakinan pasti akan datang
Jangan ragu
Allah itu dekat…
Satu layar memang, tak banyak. Tapi sudah cukup meneteskan air mataku
begitu aku selesai membaca SMS dari sahabatku yang baru saja masuk ke HP-ku.
Ya, aku kini diterima menjadi salah satu wartawan di Serambi Indonesia, Aceh.
Walau masih berstatus magang, aku sangat bangga, karena dari seribuan orang
yang melamar, aku menjadi salah satu dari sepuluh orang yang diterima menjadi
wartawan di Koran itu. Terima Kasih Allah, akhirnya aku bisa membantu orang
tuaku. Terimakasih Panji. Aku jadi teringat catatan kecil yang kulanjutkan
untuk mencatatkannya di notesku dari mading, sewaktu aku pulang bertemu Panji dan
memasukkan lamaran pekerjaanku di sekolah itu. Zaman sudah merdeka, bukan
waktunya untuk berkeluh kesah, walau aku berlatar pendidikan, aku mesti
memerdekakan diriku sendiri, bahwa hidup mesti berjuang, dimana saja.
Kisaran, 23 Januari 2011.
Terinspirasi dari Halimah; mantan jurnalis Koran Serambi Indonesia,
Banda Aceh.
Tuesday, March 13, 2012
PUISI
Sebab
tertarik pada status seorang rekan di jejaring sosial, inilah jadinya…semoga
bermanfaat…dan selamat membaca…
DIALOG
MEMBUNUH SENJA
Oleh: Setia Wati dan Muhammad Saufi Ginting
Apa menurutmu, kubunuh saja
senja sebelum habis waktunya?
Biarkan!
Biarkan ia mengusap peluh
Pada Allah, dengan sujud-sujud mendesah
Biarkan ia mengusap peluh
Pada Allah, dengan sujud-sujud mendesah
Apa kau yakin ia takkan
mengulang kisah yang sama?
Biarkan!
Biarkan ia mengusik detik dengan detak
Membaur pada sayap-sayap asa
Pada ribuan tahun yang terarak
Pada dunia yang tak lagi bersahaja
Yakinlah, dunia tak seujung senja
Yang ingin kau bunuh dengan usikmu saja
Biarkan ia mengalir pada sampai waktunya
Biarkan ia mengusik detik dengan detak
Membaur pada sayap-sayap asa
Pada ribuan tahun yang terarak
Pada dunia yang tak lagi bersahaja
Yakinlah, dunia tak seujung senja
Yang ingin kau bunuh dengan usikmu saja
Biarkan ia mengalir pada sampai waktunya
Berdoalah..
Maka,
pantaskah kau bunuh senja dengan gelisahmu?
Ku tak ingin ia pergi
Pun, tak ingin ia di sini
Bila lara... mengendapkan tanya pada cawan-cawan gelisah
Aku lelah... kendati ku dapat bersandar pada teduhnya daun-daun doa...
Pun, tak ingin ia di sini
Bila lara... mengendapkan tanya pada cawan-cawan gelisah
Aku lelah... kendati ku dapat bersandar pada teduhnya daun-daun doa...
Apakah waktu sudah berubah?
tidak
Masih mengulir diantara detik, menit, dan jam
Apakah cinta sudah berubah?
tidak
Masih dasar penguat bingkai kata sakinah, mawaddah, dan rahmah
Apakah Tuhan sudah berubah?
Tidak
Masih pada waktu Dia berjanji
Dan mahacinta sifat dasarNya
tidak
Masih mengulir diantara detik, menit, dan jam
Apakah cinta sudah berubah?
tidak
Masih dasar penguat bingkai kata sakinah, mawaddah, dan rahmah
Apakah Tuhan sudah berubah?
Tidak
Masih pada waktu Dia berjanji
Dan mahacinta sifat dasarNya
Apakah aku sang buta?
hingga harus kau cecar aku dengan sabda-sabda layaknya Isa menggenggam
mukjizatnya?
Apakah aku sang hina? hingga harus kumengemis pada makhluk-makhluk penghuni rawa dosa?
Katakan padaku, dimana aku harus menggungat janjiNya?
Apakah aku sang hina? hingga harus kumengemis pada makhluk-makhluk penghuni rawa dosa?
Katakan padaku, dimana aku harus menggungat janjiNya?
Apapun
itu,
Hidup harus tetap berjalan
Selama nyawa masih di badan
Jangan melengah pada kenangan
Pada ketakpastian yang harusnya dibuang
Jangan merenggang dalam bimbang
Majulah!
Allah bersama dalam detik tak terbilang…
Hidup harus tetap berjalan
Selama nyawa masih di badan
Jangan melengah pada kenangan
Pada ketakpastian yang harusnya dibuang
Jangan merenggang dalam bimbang
Majulah!
Allah bersama dalam detik tak terbilang…
Dan titik bening itu
luruh... mengalir bersama keangkuhan yang perlahan runtuh. Apa aku harus
menanti?
Atau meminta senja pergi?
jiwaku tlah jadi bangkai. mati... tak lagi merasai elegi pagi...
Ini
cinta!
Genggam, Sembunyikan.
Ini waktu!
Pasti kan kau temukan jawaban
Genggam, Sembunyikan.
Ini waktu!
Pasti kan kau temukan jawaban
Medan-Kisaran, 13 Maret 2012
Satu tempat tak terbilang..
Language Shift and Language Maintenance
Mini Research on Language Shift and Language Maintenance
1.
Background
of the Study
The
existence of language cannot be separated from human life. According to Holmes
(1992), every language represents the temple in which the speaker’s soul is
his/her devotee. It seems that everything related to human life in the society
involves language because it is through the language that interaction among
tribes, ethnic groups, and religions can happen. However, language is not
always able to maintain by the ethnic group especially in the multilingual
societies. Sumarsono (1993) in Amrullah states that language shift and language
maintenance is like two sides of a coin. One side of the coin is a language
that cannot be shifted by another language because its users constantly use it
to carry out their daily affairs. On the other side of the coin is a language
that can be shifted by another language because the speakers are not likely to
use it anymore. Hoffman (1991) in Amrullah states that a community that does
not maintain its language by adopting another language gradually is referred to
as language shift. He also observed that under certain cultural, social and
political conditions, a community might opt to change one set of linguistic
tools for another.
Language shift, sometimes referred to as language transfer or language
replacement or assimilation,
is the progressive process whereby a speech community of a language shifts to
speaking another language. The rate of assimilation is the percentage of
individuals with a given mother tongue who speak another language more often in
the home. When a linguistic community ceases to use their original language, language death or language extinction is said to
occur.
Based
on the data of UNESCO in the year of 2001, there are 6,900 languages in the
world. 2,500 of them are extincting. UNESCO says that Indonesia, India,
America, Brazil, and Mexico are countries which have multi varieties of
languages, but they are also facing a very big danger of language shift.
Based
on the data of UNESCO, almost 200 languages do not exist anylonger after three
generations, because they lost their speakers; for example Urbykh language in
Turkey which extincted in 1992, Aaasax language in Tanzania in 1976, Eyak in
Alaska, and so on. 900 languages in the world are in danger of extinction
nowadays. 199 languages in the world are mastered by less than a dozen of
speakers; for example Lengilu language in East Borneo, Indonesia used by only 4
people, Karaim language in Ukraina used by only 6 people, Wichitha language in
Oklahoma, USA used by 10 people only.
There
are other 178 languages in the world which are extincting, because they are
used by 10 to 150 people only. Based on the record of UNESCO, India is at the
first rank in facing language shift. There are 196 shifting languages in India
now. America takes the second position with 192 shifting languages. And Indonesia
takes the third position with 147 shifting languages. 169 ethnic languages of
742 in Indonesia are facing danger of extinction because their speakers are
less than 500 people.
One
of the issues which is quite important in the study of language shift is the
powerless minority group which tries to maintain its original language when
communicating with the majority group whose language is dominant, and
supraethnics which is economically and politically dominant in all sectors (Sumarsono,
1993 in Amrullah). As the consequence, the minority language will experience a
shift to majority language or even it will dissapear. That process, according
to Sumarsono (1993) in Amrullah, involves three generations, each of which has
its own characteristics. The first generation will preserve that ethnical
language as well as possible. In this case, the speakers always use this
language in their daily life. Later, the second generation becomes bilingual
and master the second language better than their mother tongue. Finally, the
third generation refers to the ones who are unable to master their ethnical
language anymore.
The
researchers saw that there is a phenomenon of gradual language shift occured in
their society, especially in families. And there are some families taking
efforts in maintaining their ethnic languages. This phenomenon makes the
researchers feel that it is necessary to describe this phenomenon and to find
out the factors influencing the language shift and language maintenance in
society especially in the families. Thus, the researchers feel that it is
important to share the knowledge of language shift that happens in society so
that the society can be aware of the steps to be taken in maintaining a
language.
2.
Research
Methodology
This study was conducted by using
qualitative descriptive research design. The researchers used interview and
note-talking as the methods to collect the data and then analyzed the data
based on the answers given by the respondents. The researchers used this design
because the researchers want to describe the analyses and explain the process
of language shift and language maintenance.
The technique used for deciding the
sample is random sampling. It is the technique in which samples are taken
randomly (Ary:1979). The researchers took five families as the samples and
interviewed them by using adapted research from Nurhalis (2003) and Agustin
(2004) who had researched about language shift of Makassarese and Sumbawanese
in Mataram.
3.
Data
and Data Analysis
Data
The data of this study can be seen from
the table below :
Cases
(Families)
|
Language Shift
|
Language Maintenance
|
1
|
√
|
__
|
2
|
√
|
__
|
3
|
__
|
√
|
4
|
√
|
√
|
5
|
√
|
√
|
6
|
√
|
√
|
Data
Analysis
From the table above, the
researchers know that different family experienced language shift and language
maintenance. Language shift occured to five from the six families observed. The
two families’ language shift was influenced by economic and social factors.
Meanwhile, the other two cases were affected by demographical factor . And the
rest was influenced by demographical and social factors.
Language maintenance can be seen
from the four families. The language maintenance in the four families were
influenced by social and economy factors (for family 3 and 4). Demogrpahical
factor on family 6 and attitude and values for family 5.
4.
Findings
There
are no absolute answers about the factors contributing to language maintenance
since elsewhere some factors may have little effect on language maintenance or
even associated to language shift. According to Holmes (1992), the following
are some factors which could contribute to language shift and language
maintenance.
1)
Economic,
Political and Social Factors
Obtaining work is the
most obvious economic reason for learning another language. In English dominated
countries, for instance, people learn English in order to get good jobs. This
results in bilingualism. Bilingualism is always a necessary precursor of
language shift, although, it does not always result in shift.
The social and some
economic goals of individuals in a community are very important in accounting
for the speed of shift. Rapid shift occurs when people are anxious to “get on”
in a society where knowledge of the second language is a requirement for
success. Young upwardly mobile people are likely to shift fastest.
The more domains in
which the minority language can be used, the more chance there is of its being
maintained. The possibilities will largely determined by socio-economic
factors, such as where the jobs are.
These factors can be
seen from the cases for family 1, 2, 3, 4 and 6.
2)
Demographic
Factors
Demographic factors are
also relevant in accounting for the speed of language shift. Resistance to
language shift tends to last longer in rural than in urban areas. This is
partly a reflection of the fact that rural groups tend to be isolated from the
centers of political power for longer, and they can meet most of their social
needs in the ethnic or minority language.
This factor can be seen
from the cases for family 2, 4 and 6.
3)
Attitudes
and Values
Language shift tends to
be slower among communities where a language is highly valued, especially if
the language is seen as an important symbol of identity. Positives attitudes
supports efforts to use minority language in a variety of domains, and this
helps people resist the pressure from the majority group to switch to their
language. Where it has a status in a community, it will help to maintain the
language since the language will be regarded more with pride.
These factors can be
seen from the cases for family 4 and 5.
5.
Conclusion
There
are many different reasons for choosing a particular language or variety in a
multilingual community. The various constraints on language choice faced by
different families are described in this mini research. The factors which
contribute to language shift also can be the factors contributing to language
maintenance. The most dominant factors for language shift and maintenance is
economy and social factors, meanwhile the least factor is attitude and value.
Based
on Holmes (1992:70), there are efforts that can be done in order to maintain a
language.
v the
use of minority language in education, e.g. bilingual education programmes,
using or teaching the minority language in school, in pre-school, and in
after-school programmes,
v support
by the law and administration, e.g. the right to use the language in court, the
House of Assembly, in dealing with government officials, etc.,
v the
use of the language in places of worship, e.g. for services, sermons, hymns,
chants,
v use
of and support for the language in the media, e.g. TV programmes, radio
programmes, newspapers, magazines.
The
Note-Talking between the Researchers and the Respondents :
Case 1
Sample : Mrs. Ida Simamora, single
parent, 44 years old, a mother of two children age 11 and 9 years old,
Bataknese.
Time :
Sunday, February 27, 2011
Majority
spoken languages in the community : Hokkien (80%) and Bahasa Batak and Indonesia
(20%)
1) Bahasa
apa yang Ibu gunakan sehari-hari di rumah?
Answer: Bahasa Indonesia
2) Bahasa
apa yang bapak dan ibu gunakan di luar rumah, seperti di lingkungan pekerjaan
dan di masyarakat?
Answer: Di kantor, bahasa
Indonesia, di lingkungan bahasa Indonesia, ya kecuali ketemu sama orang kita
(Bataknese), pakai Bahasa batak la..apalagi di usia kek kakak sekarang ini
sudah harus lebih sering la berbahasa Batak sama yang tua-tua itu.
3) Berapa
lama Ibu bertempat tinggal di daerah Ibu saat ini?
Answer: Sudah lebih 30tahun
lah kira-kira
4) Bahasa
apa yang digunakan oleh orang tua Ibu?
Answer:
Oh..Bapak sama mamak kakak pastilah bahasa Batak, orang kampungnya aja di
Silalahi sana.
5) Bahasa
apa yang digunakan anak-anak Anda di dalam dan di luar rumah?
Answer: Orang itu Bahasa
Indonesia lah..di sekolah juga Bahasa Indonesia sama kawan-kawannya.
6) Menurut
Anda, apakah yang menjadi penyebab jika bahasa yang digunakan oleh Bapak dan
Ibu berbeda dengan bahasa orang tua Bapak dan Ibu?
Answer: Ohh..itu..kakak kan
dari SD dah sekolah di kota, di sekolah belajar pakai bahasa Indonesia,
guru-gurunya meskipun orang Batak kan tetap juga pakai bahasa Indonesia. SMP
kakak dah merantau, yah makin seringlah pakai bahasa Indonesia.
7) Menurut
Anda, apakah yang menjadi penyebab jika bahasa yang digunakan oleh anak-anak
Bapak dan Ibu berbeda dengan bahasa Bapak dan Ibu?
Answer: Kami di rumah pakai
bahasa Indonesia yah karena itu bahasa yang mereka ngerti. Orang ini kan pernah
tinggal di Tarutung sama opungnya di 3 tahun gitu, jadi bisa lah Bahasa Batak
tapi sejak dah di Medan gak pernah lagi di pakai jadinya hilang, gak ngerti kali
orang itu kalau kakak bahasa Batak di rumah.
8) Adakah
usaha pengajaran bahasa daerah yang orang tua Bapak dan Ibu kuasai kepada Bapak
dan Ibu?
Answer: Di ajari khusus gak
pernah ya, tapi Bapak sama Mamak selalu Bahasa Batak sama kami di rumah,
misalnya kan nyuruh ngambil apa lah gitu. Kalau kami, yah balas bahasa Batak
sekali-sekali atau Bahasa Indonesia. Gak pernah lah di ajar-ajari atau di paksa
gitu supaya bisa Bahasa batak mekipun mereka itu jago Bahasa Bataknya.
9) Adakah
usaha pengajaran bahasa daerah yang Bapak dan Ibu kuasai kepada anak-anak Bapak
dan Ibu?
Answer: Gak ada. Kakak
sendiri karena usia dah 40an, dah ada tekanan lebih untuk bisa berbahasa Batak,
malu juga kan nanti di punguan gak bisa bahasa Batak. Usaha lebih sering lah
sekarang pakai bahasa Batak lah daripada bahasa Indonesia untuk bisa bicara
sesama kita.
10) Apakah
Anda nyaman dan bangga menggunakan bahasa yang Anda gunakan sehari-hari?
Answer: Jelaslah, dek. Di
kerjaan kakak pakai bahasa Indonesia, di lingkungan sekalipun mayoritas orang
Cina, kakak juga pakai Bahasa Indonesia sama mereka. Kalau gak pakai Bahasa
Indonesia gak tau lagi kakak pakai bahasa apa untuk komunikasi. Bahasa Batak,
gak semua tahu, Hokkien, kakak aja cuma bisa sedikit-sedikit. Bisalah gak
nyambung nanti ngomong malah tersinggung pulak nanti.
From
the interview above, the result can be seen from this scheme :
|
||||
Language Shift I
|
Language Loss
Language Shift II
|
Note :
A
: Parents
B
: Grandparents
C
: Children
References
Amrullah. 2005. Language Shift Of
Nggeto-Nggete Minority Urban Migrant Dialect In Mataram Lombok, West Nusa
Tenggara. Unpublished.
Ary, Donald. 1979. Introduction to Research in Eductaion,
Second Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Aslimalang’Blog, 2012. http://as5lang.wordpress.com/news/2500-bahasa-di-dunia-terancam-punah/
Bahasa Lengilu, 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Lengilu
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics, Second
Edition. London: Pearson.
Subscribe to:
Posts (Atom)