LAPTOP
Oleh: Muhammad Saufi Ginting
Aku berhenti di sudut rumah besar, yang sudah mulai memudar cat
temboknya. Kata yang tepat sebenarnya
bukan berhenti tapi bersembunyi dari ketakutan ku. Pandanganku mencoba awas
terhadap situasi dan kondisi yang sedang kuhadapi sekarang, aku merasa telah
terkepung.
“dor..dor..”
“Agh…..”
***
"Jim, udah makan?" tiba-tiba sebuah suara serak mengagetkan ku
dari kesibukkan menyelesaikan tulisan yang tak kunjung selesai. Padahal besok
tulisan ini harus sudah kelar dan
kuberikan ke redaksi majalah Mingguan di Kampus yang baru seminggu lalu
mengkontrakku untuk membuat cerpen dan dimuat dalam Majalah tersebut. Mereka
meminta aku membuat alur cerita tentang detektif, yang dibumbui dengan
percintaan.
Sebenarnya cerita ini sudah biasa dan banyak dituliskan oleh penulis pro, tapi aku tak perduli, yang penting
namaku tercantum dalam majalah yang akan diterbitkan sekali sebulan sebagai
penulis cerpen. Akan tetapi ini lain ceritanya, entah apa yang menjadi
penyebabnya, aku masih juga tak mampu menyelesaikan cerita yang “kejar tayang”
tersebut. Otakku benar-benar buntu.
“Jimmmmm….ayo makan!!!” teriak emakku dari dapur yang bersebelah dengan
kamar tidurku.
“Iaaa….Maaakk..” sahutku. Aku berlari meninggalkan ketikkan ku yang tak
juga kutemukan ujung pangkalnya.
***
“Januar Isya Muharram..!”
“Hadir” jawabku, ketika seorang lelaki tinggi, gemuk, dan berjanggut
lebat memanggil namaku selengkap-lengkapnya.
Yah, sebenarnya namaku Januar Isya Muharram. Kata emakku, aku lahir bulan
Januari tepatnya waktu itu kalender Islamnya bulan Muharram, dan ketika azan
Isya, jadi supaya gampang mengingatnya aku diberi nama sedemikian rupa. Tapi
emakku yang tak pernah potong kambing untuk membuat nama itu, diganti sekenanya
saja oleh kawan-kawan sewaktu aku masih SMP dulu dengan “JIM”. Biar gaul
katanya, kayak “singkong gaul”. Akhirnya emak dan aku juga ikut-ikutan.
Lelaki tersebut adalah dosen mata kuliah psikologi pendidikan-ku. Dari
dialah aku bisa punya laptop plus printernya, sebab aku ini bisa termasuk
asisten dosen, yang ga perlu digaji
dengan sekian persen gajinya, tapi cukup dengan laptop saja, walau ia pernah
memberi nilai B pada mata kuliah psikologi umum kemarin.
Kukatakan aku ini “bisa termasuk asisten dosen”, karena aku tidak
menggantikan dia mengajar, sehingga masih tidak menutup kemungkinan mendapat
Nilai B. Laptop yang kudapat dari dia, karena baru saja menyelesaikan proyek,
berupa pengetikan sebuah naskah buku, dan akhirnya buku tersebut laku keras
bagi mahasiswa di kampus tetanggaku, tapi sayangnya bukan mata kuliah yang
diampu-nya saat ini di kelasku, jadi aku
tidak mengerti isinya, aku hanya disuruh menyelesaikan pengetikan, jangan
banyak tanya, cukup kerjakan, eh… dapat laptop walau bekas.
“Januar, ke kantor saya ya sekarang” Katanya sambil ngeloyor pergi
sekenanya saja. Belum sempat aku menjawab ia, yang ada malah kawan sekampus ngeledekin
“Cieee, bang asisten, dipanggil ke ruang dosen ni…”.
Dengan wajah cengar cengir aku pergi begitu saja meninggalkan ejekan
teman-teman.
Sampai diruang dosen. Tok..tok..tok
“Masuk”.
“Assalamu’alaikum… Ada apa ya
pak” kata ku. Berharap ada obyekkan lagi untuk ku.
“Wa’alaikumsalam… Ni masih ada
sisa sedikit dari hasil penjualan buku yang kamu ketik kemarin, lumayanlah
untuk nambah uang minyak-mu”.
“Mantab… pucuk dicinta ulam pun tiba”. batinku bersorak
“Wah, makasih ya pak” tanpa malu-malu kuraih uang sejumlah lima ratus
ribu rupiah dari atas mejanya. “Ni sih ga
bisa ngisi minyak, yang ada bisa jadi DP beli sepeda motor baru ni..”batinku
lagi.
Bagaimana mau isi minyak, sepeda motor saja ga punya tuh. He he he malu
euy!!
***
“Hufhh akhirnya selesai juga ni tulisan”.
Akupun bergegas mengambil helm yang terletak di meja belajar, kemudian
keluar menuju sepeda motor baruku, untuk mengantarkan cerpen pada redaksi
majalah di kampusku.
“Ni, cerpen yang di minta kemarin, maaf agak telat sehari” kataku pada
redakturnya, yang juga merupakan rekan sekelas di kampusku ini.
“Wah, kirain mentang-mentang sibuk ngerjain proyek dosen, kita-kita udah pada dilupakan” kata Kamdi sang
redaktur sambil melirik ke arah Roby dan Dedi yang kebetulan juga ada di
ruangan yang sebenarnya hanya cukup untuk meletakkan PC beserta mejanya serta 2
orang saja. Karena memang ruangan ini sepengetahuanku, sangat sulit permohonan
pembangunannya, jadilah yang ber-izin di bawah tangga. Tapi lumayanlah, dari
ruangan ini bisa menghasilkan rezeki yang lumayan pula.
“Yang pentingkan selesai, mana honorku?”
“Eits, tanpa basa-basi lagi bah,
mentang-mentang udah jadi orang sibuk sekarang” kata Kamdi.
“Mantap ga ni ceritanya?” kalo enggak mantap, ntar dipotong seratus persen lho..” tambahnya sambil tersenyum
sembari mengambil amplop dari dalam laci meja dan kemudian menyerahkannya
padaku.
“Insyaallah”! jawabku, sambil menangkap dengan cepat amplop itu dan tanpa
memberikan komentar lainnya.
“Jangan lupa, minggu ke dua bulan depan ya, tema cerpen lusa diinfokan”
jerit Kamdi, ketika aku sudah berada di depan pintu ruangan ini untuk langsung
pergi, bahkan tanpa pamit.
Padahal sebenarnya dia tak perlu menjerit, aku masih bisa mendengar
dengan jelas, karena telingaku belum tuli, apalagi masih di depan pintu ruangan
yang cukup kecil ini.
***
“Laptop yang hebat” gumamku sesampainya aku di rumah dan membuka amplop
putih bergaris biru di setiap sudutnya. Uang lima puluh ribu rupiah, honor
menulis cerpen yang baru saja kuantar ke Kamdi tadi. Lumayanlah untuk penulis
pemula, pikirku.
Keinginan ku menjadi penulis, terwujud. Walau masih ecek-ecek. Aku bisa menulis, begitu ada ide muncul di otakku ini,
tinggal tik tak tek tik tak saja. Tadi dalam perjalanan pulang dari kampus, aku
mendapat ide untuk menulis essay
tentang dunia pendidikan. Rencananya begitu selesai akan kukirim ke Koran
mingguan di daerahku.
Dua hari yang lalu aku membaca opini dosenku di Koran itu, jika bapak itu
bisa, aku juga bisa, gumamku. Begitulah yang kuyakinkan dalam hati. Tak ada
yang tak mungkin di dunia ini. Aku berencana akan mengirimkannya melalui alamat
email yang sudah kucatat sebelumnya dari Koran mingguan tersebut. Entah
diterima atau tidak, itu perkara belakangan, yang penting menulis.
Walaupun sesungguhnya aku tahu, yang maha hebat itu adalah yang maha
mengetahui segala sesuatu di dunia ini yaitu yang di atas sana, tapi aku tak
sanggup menahan hatiku untuk tak memuji laptop ku ini.
Sambil terus sumringah di dalam hati, kuketikkan pada layar di Ms. Word
dalam laptop yang merupakan hasil tulisan tangan, sebelum punya laptop 2 bulan
yang lalu.
LANGKAH BARU
“Sudah waktunya
Membawa langkah dengan
besar
Tanpa ragu
Menghentak dan
hilangkan gusar
Maju!
Bersama langkah yang
baru
Dan sudah memang
waktunya
Mengikis resah yang
tak pantas
Menghabis ragu yang
terbawa
Maka majulah!
Bersama langkah maju
Bersama iman
Bersama amal
Bersama teman
Bersama akal
Majulah!
Dengan langkah-langkah
baru“
Kisaran, mencoba
lagi di 25 Desember 2010.
No comments:
Post a Comment