MEMBELAJARKAN KARAKTER HEBAT PADA
ANAK
Oleh: Muhammad Saufi Ginting
Mouly
(dalam Trianto, 2010:9) mendefinisikan bahwa belajar pada dasarnya adalah
perubahan tingkah laku seseorang berkat adanya pengalaman. Lebih lajut
dikatakan bawwa perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan
dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah
laku, kecakapan, keterampilan dan kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang
lain yang ada pada individu belajar.
Perubahan
yag dimaksud dalam belajar di atas perubahan ke arah positif, dalam arti untuk
memperbaiki generasi penerus (siswa) memiliki pegetahuan yang bermanfaat dan
berdaya guna dikemudian hari kelak, untuk bangsa dan agamanya. Akan tetapi melihat
dan membaca media baik televisi dan koran belakangan ini, rasanya bergidik ngeri ketika anak-anak bangsa (pelajar)
sudah kehilangan karakter positif untuk mencintai hidupnya dan mendekatkan diri
pada Tuhan. Perkelahian yang terus-menerus dilakoni oleh pelajar kita contoh
kasus perkelahian siswa SMA Negeri 6 Jakarta dengan wartawan, bisa dilihat beritanya
di televisi berulang-ulang. Perilaku geng motor menurut informasi dari media
juga dilakukan oleh para pelajar kita di Medan, semakin menjadi-jadi dan belum
terkendalikan, menjadi fenomena memiriskan hati bagi siapa saja yang
mendengarnya apalagi menjadi korban tindakan anarkis oleh anak-anak kita
sendiri.
Jika
kita melihat ke belakang, perkembangan dan kebebasan berekspresi menjadi dilema
buruk bagi bangsa kita. Pascareformasi 1998, peranan media massa dan elektronik
menjadi lebih besar, khususnya televisi. Televisi dapat memberikan informasi
dari seluruh dunia kepada orang dimanapun berada. Tetapi sayangnya kebanyakan
siaran yang dipertontonkan penyedia layanan dan penyedia hiburan hanya
mementingkan kebutuhan pribadi mereka ketimbang memikirkan bagaimana pengaruh
buruk televisi terhadap pendidikan masyarakat, khususnya kejiwaan anak yang merupakan masa depan
bangsa. Padahal menurut UU Penyiaran tahun 2002 pasal 36 tentang isi siaran
“dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang”.
Tapi
tak juga semua bisa kita salahkan kepada televisi. Masyarakat harus turut
menjaga dengan terus memberikan pendampingan agar tidak berakibat buruk pada
perkembangan psikologis dan masa depan anak kita. Selain itu ada juga lembaga
yang berhak menyensor siaran yang berkewajiban terus menjaga kualitas siaran,
sebut saja Lembaga Sensor Film, bahkan bisa jadi lebih ke atas adalah Menkominfo.
Seiring
dengan perkembangan zaman, banyak hal yang terus berubah dan baru. Mulai dari
gaya, budaya, dan bahkan dunia pendidikan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban
untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuan sehingga tidak meninggalkan generasi
yang lemah di belakang kita. Selain itu, perlu diingat bahwa kita harus lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab bisa jadi karakter yang kita berikan
selama ini adalah tentang ilmu-ilmu umum, tapi masih belum kita kaitkan untuk
mengingat Tuhan. Hal yang dapat diusahakan adalah memberikan tauladan yang baik
bagi anak-anak kita, salah satunya dengan iqro’
(banyak membaca).
Membangun Karakter Positif
Terkait
dengan membaca, setidaknya ada enam obyek yang bisa kita jadikan bahan bacaan.
Keenam obyek tersebut menurut Rahadi dalam tulisannya “Membudayabacakan
Masyarakat (2004)” adalah: Buku (tulisan), diri sendiri (individu), orang lain
(sosial), lingkungan (alam semesta), koran (informasi) dan Qur’an (agama). Nabi
Muhammad SAW sebelumnya adalah orang yang tak pandai membaca, sampai
ketika ia diperintahkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril supaya pandai
membaca. Sejarah ini terekam dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1-5, merupakan
wahyu pertama yang dimulai dengan kata Iqro, “Bacalah!”.
Hal
ini mengisyaratkan kepada kita agar mampu menjadi pribadi yang gemar membaca.
Membaca dalam konteks yang diajarkan Allah kepada kita tidak hanya kepada
kitab, tapi semua yang telah diciptakan oleh Allah SWT baik yang tersurat
(tekstual) atau tersirat (kontekstual). Ayat tersebut memberi isyarat yang
sangat baik bagi pola pikir manusia, khususnya bagi umat Islam. Dengan
penurunan ayat tersebut pada tahap awal, Allah SWT mengingatkan bahwa nilai
bacaan berada pada posisi yang utama. Karena itu, sabda Rasulullah SAW “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
muslim” merupakan anjuran yang sangat erat kaitannya dengan wahyu pertama.
Ironisnya,
saat ini tidak sedikit orang yang melalaikan makna ayat tersebut. Bahkan tidak
jarang orang beranggapan bahwa bacaan, terutama bacaan secara tekstual, tidak
berpengaruh besar terhadap posisi kehidupan manusia. Padahal, terlepas dari
penggalian terhadap makna wahyu pertama kepada Rasulullah SAW di atas, kegiatan
membaca merupakan salah satu ujung tombak bagi perkembangan peradaban umat
manusia. Untuk itu membaca adalah tahap awal dalam membangun karakter positif
bagi kita dan anak-anak kita.
Selain
itu, Muslich dalam bukunya “Pendidikan
Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional” (2011: 56-57) memberikan
tips bagaimana menjadi pendidik yang memiliki karakter hebat. Mencintai
anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak.
Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendorong
anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cinta
adalah dengan senyum, sering tampak bahagia, menyenangkan, dan pandangan
hidupnya positif.
Bersahabat
dengan anak dan menjadi teladan bagi anak.
Guru
harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang
diucapkan di hadapan anak harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral,
agama, budaya. Cara penyampaiannya pun harus "menyenangkan" dan
beradab. Ia pun harus bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk,
lebih-lebih angkuh. Anak senantiasa mengamati prilaku gurunya dalam setiap
kesempatan.
Mencintai
pekerjaan guru.
Guru
yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran
baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang
hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Guru yang hebat akan mencintai
anak didiknya satu persatu, memahami kemampuan akademisnya, kepribadiannya,
kebiasaannya dan kebiasaan belajarnya.
Luwes
dan mudah beradaptasi dengan perubahan.
Guru
harus terbuka dengan teknik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu
mencari ilmu. Ketika masuk kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak
ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
Tidak
pernah berhenti belajar. Dalam rangka
meningkatkan profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan belajar.
Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya, dan mengakses informasi
aktual tidak boleh ditinggalkan.
Penutup
Kita tidak perlu saling
menyalahkan, tapi saatnya untuk memperbaiki segalanya di berbagai bidang,
terutama dalam dunia pendidikan. Jangan sampai apa yang terjadi di kota-kota
besar, seperti Jakarta dan Medan menjadi virus di kota-kota kecil lainnya yang
setiap saat bisa saja berkembang dengan cepat. Cukupkan sampai di situ dan
selesaikan. Mulai dari diri kita sendiri, sehingga nilai-nilai positif dan
sikap mencintai Tuhan terus tertanam pada generasi penerus.
Dengan demikian rumah
(keluarga) dan pendidikan yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang
penting dalam pertumbuhan kejiwaan. Begitupun dengan anak-anak kita, ajarkan
mereka untuk jujur terhadap diri sendiri dan dengan kemampuan mereka. Ajarkan
mereka untuk bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang mereka lakukan.
Penulis adalah mahasiswa
Pascasarjana Universitas Negeri Medan prodi Linguistik Terapan Bahasa Inggris
tinggal di Kisaran.
No comments:
Post a Comment