Tulisan ini merupakan sari dari pengajian
Ranting Muhammadiyah Kisaran-Kabupaten Asahan yang saya ikuti pada Jum’at malam
tanggal 20 Mei 2011 di rumah bapak Seno, di Gedangan. Materi malam itu adalah
tentang PHI WM dalam Amal Usaha Muhammadiyah. Alhamdulillah diterima di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 12/Th-ke 96. 16-30 Mei 2011. Tulisan diedit oleh redaksi seperti gambar. Yang saya kirim seperti di bawah ini. Selamat membaca.
SINERGI PERAN DIKDASMEN, LOYALITAS GURU DAN MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH MUHAMMADIYAH
Oleh: Muhammad Saufi Ginting
“Kalau dikaji dari segi potensi
ekonomi, Muhammadiyah mirip dengan raksasa tidur. Memiliki potensi amat besar,
tetapi potensi itu belum diaktualisasi menjadi sesuatu yang memiliki manfaat
optimal. Betapa tidak, aset Muhammadiyah se-Indonesia kalau dihitung akan
merupakan asset terbanyak yang dimilki oleh ormas Islam di Indonesia” (lihat SM
No. 09/TH.Ke-96, 1-15 Mei 2011 halaman 6).
AUM khususnya dalam jasa pelayanan
pendidikan memang terbukti sangat banyak, akan tetapi kesemuanya itu perlu
dikelola secara profesional. Sebab amal usaha menjadi bagian yang penting dalam
dakwah Muhammadiyah. Jadi kalau mati Amal usaha kita, maka dakwah kita akan
mati. Berbicara tentang dakwah itu ada pada amal shalihnya, dalam amal shalih
terlihat dakwah yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Orang non islam pun
merasa simpatik bukan dari ceramah kita, tapi dari kemampuan kita berdakwah,
sebab islam dapat menunjukkan aksi sosialnya dikala masyarakat membutuhkan
pertolongan.
AUM khususnya dalam jasa pelayanan
pendidikan pada tingkat pendidikan dasar menengah dikelola oleh Majlis
Pendidikan Dasar dan Menengah (DIKDASMEN). Amal usaha Muhammadiyah dalam
lingkup Kabupaten/Kota berada dalam wilayah kerja Majlis Dikdasmen Daerah.
Kenyataan di lapangan masih kita temukan, bagaimana Majlis Dikdasmen daerah masih
menjalankan fungsinya hanya sebatas mengelola secara “sederhana” tanpa ada
program yang jelas dalam aplikasinya. Salah satu misalnya adalah penggajian
guru yang kurang sejahtera dan kadang melewati batas tanggal gajian. Padahal,
bagi kita orang muslim, “membayar keringat sebelum kering” adalah sesuatu yang
mutlak harus dilakukan, dan sedikit banyaknya hal ini bisa menjadi salah
motivasi bagi guru untuk bekerja lebih baik lagi jika dilakukan.
Berdasarkan kenyataan ini, Drs. M.
Akhyar memberikan masukan agar dalam mengelola amal usaha Muhammadiyah
khususnya yang dikelola oleh Majlis Dikdasamen dapat berperan sepenuh hati
dalam menyampaikan dakwahnya. Adapun poin-poin yang menjadi harapan beliau
adalah: (1) Uang sekolah yang dikutip dari siswa mutlak digunakan untuk
kepentingan guru dan siswa, pembangunan sekolah cari yang lain, (2) Pegawai-pegawai
di perguruan Muhammadiyah yang mengaji di Ranting-ranting punya gaji berbeda
dengan mereka yang tidak, masa kerja dibedakan, pengabdian yang dibedakan,
karena mereka bekerja di Muhammadiyah juga berinfaq di Muhammadiyah dalam
pengajian, dan (3) Penggajian yang adil dan transparan, hal ini dapat dilakukan
dengan bekerjasama melalui Bank Muamalat.
Jadi para guru bisa gajian setiap tanggal 1 setiap bulannya, tidak lagi menjadi
tanggal 46. Hal ini dapat dilakukan sebab pengutipan uang tetap tepat waktu,
sehingga menjadi profesional. Kalau perlu setiap guru Muhammadiyah mengambil
gajinya hanya melalui ATM saja.
Memang dalam aplikasi program
kerja, Majlis Dikdasmen daerah yang berada di Jawa berbeda dengan yang di
Sumatera, apalagi Majlis Dikdasmen Daerah Asahan misalnya sangat jauh berbeda
dengan Majlis Dikdasamen kota Medan. Akan tetapi masukan ini ideal rasanya,
khususnya di Asahan. Hendaknya unsur pengurus Majlis Dikdasmen yang notabene-nya adalah tombak utama dalam
menghasilkan kader Muhammadiyah seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang
berbasis di sekolah, adalah orang-orang yang dengan sangat serius mementingkan
kepentingan para guru dan siswa.
Loyalitas Guru
“Jangan tanya apa yang sudah
diberikan Negara kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang sudah engkau berikan
kepada Negara” adalah kutipan yang sudah tak asing lagi bagi kita. Akan tetapi,
tuntulah guru Muhammadiyah juga harus bertanya bagaimana prinsip dalam
Muhammadiyah menjadikan mereka hidup lebih layak. Sebab, kebanyakan guru yang
mengajar di Muhammadiyah adalah guru swasta murni. Dari sekian banyak guru
swasta murni, hanya beberapa orang saja yang mempunyai penghasilan mengajar di
luar di Muhammadiyah. Sisanya, mereka mengajar mulai dari MI, SMP, MTs, SMA,
SMK, MA-nya Muhammadiyah. Mulai dari mengajar mata pelajaran sesuai dengan
disiplin ilmunya, sampai pada mata pelajaran yang bahkan dia sendiri kurang
begitu menguasainya.
Walaupun demikian masih saja belum
terasa mencukupi kebutuhan keluarga. Salah satu penyebab ketidakcukupan ini
adalah “potongan”. Para guru diwajibkan membayar Uang Infaq Guru (UIG) yang
langsung dipotong sekian persen dari gaji, belum lagi potongan-potongan
kemalangan, melahirkan, dan lain sebagainya. Hingga kalau ditotal-total, di
lima tempat mereka mengajar di Muhammadiyah, potongan bisa mencapai ratusan
ribu rupiah. Hal ini belum termasuk, misalnya jika Muhammadiyah atau
Ortom-ortom melaksanakan Musycab, Musyda, dan kegiatan lain sebagainya, maka
guru-guru Muhammadiyah harus menjadi korban, dengan dalih “mengajar di Muhammadiyah
adalah ladang amal”. Padahal Muktamar yang lalu sudah melatih kita tentang
kemandirian, tanpa meminta bantuan pihak di luar Muhammadiyah dalam hal
kebutuhan dana untuk mensukseskan muktamar.
Setelah
kelelahan mengajar di sekian banyak jenjang sekolah di Muhammadiyah, akhirnya
gaji yang diterima tak lebih cukup hanya mampu membayar cicilan kredit sepeda
motor. Malah dalam bahasa di Kisaran adalah istilah “ya lepas makanlah, tapi tidak
cukup untuk minum, jadinya keselek
(tersedak)”. Ada pula contoh kasus lain yang nyata juga terjadi. Seorang guru
berprestasi tapi tak diberdayakan, malah dibuang, padahal sudah jauh-jauh
sampai ke Jepang, dikirim atas nama sekolah Muhammadiyah, tapi tak direkrut
untuk menjadi anggota Muhammadiyah dan dipertahankan untuk mengajar, malah jamnya
di kurangi, dan menghilang.
Hal ini seharusnya menjadi
pemikiran serta sesegera mungkin menjadi tindakan bagi Majlis Dikdasmen hari
ini dan ke depan, bagaimana para guru yang mengajar di Muhammadiyah dapat
memliki loyalitas mengajar yang tinggi. Kalau perlu, dari mulai bangun tidur
sampai akan tidur lagi, mengajarnya di perguruan Muhammadiyah, tetap
bersemangat dan dengan perasaan penuh cinta dalam memberikan ilmunya secara
sepenuh hati kepada siswa-siswanya.
Mutu
Pendidikan Muhammadiyah
Proses belajar mengajar merupakan
proses yang sistemik, artinya proses yang dilakukan oleh guru dan siswa di
tempat belajar dengan melibatkan sub-sub, bagian-bagian, komponen-komponen atau
unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai satu tujuan (Yamin, 2009: 59).
Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa, dalam proses belajar dan mengajar
banyak yang harus terlibat untuk mencapai tujuan, yaitu meningkatkan mutu
pendidikan Muhammadiyah yang profesional. Sehingga tidak ada lagi pandangan
bahwa sekolah Muhammadiyah merupakan sekolah alternatif, sebab tidak lulus di
sekolah Negeri, dari pada tidak sekolah, ya pilih Muhammadiyah. Lebih ironis
lagi bila pandangan ini berasal dalam pemikiran para orang tua yang merupakan
anggota dan pengurus Muhammadiyah. Buktinya, hanya sedikit para pengurus
Muhammadiyah yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah. Dengan
dalih “kurang berkualitas”. Secara pribadi, jika kita berbicara mutu pendidikan
di Muhammadiyah, saya setuju pasti jauh berbeda antara sekolah Muhammadiyah di
Jawa dengan yang di Sumatera. Sebab di Jogjakarta misalnya, para guru hidup
dengan sejahtera, dan sekolah Muhammadiyah bukan lagi sekolah alternatif.
Untuk itu, Majlis Dikdasmen baik
dari tingkat pusat sampai cabang harus mensinergikan perannya dalam mengelola
amal usaha Muhammadiyah agar menjadi
lebih baik dan profesional. Bila perlu, sebagai reward kepada guru-guru yang berprestasi tinggi, apalagi guru dari
kalangan Muhammadiyah di-haji-kan minimal 1 orang dalam satu tahun. Sehingga
sampai matipun, mereka akan syahid
ketika berdiri mengajar di Muhammadiyah. Jangan hanya menjelang milad-milad
Muhammadiyah saja baru diberikan reward
itupun masih belum seberapa untuk ukuran mereka yang sudah mengabdi puluhan
tahun di Muhammadiyah.
Otomatis jawaban dari pertanyaan
murid KH. Ahmad Dahlan (lihat film Sang Pencerah) ketika ditanya apakah mereka
dapat gaji saat akan mendirikan sekolah Muhammadiyah “hidup-hidupilah
Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” dalam konteks kekinian menjadi
terwujud, sebab para guru sudah hidup dengan sejahtera. Dan mutu pendidikan di
Muhammadiyah pun semakin menjadi idola.
*Penulis adalah alumni SMK Muhammadiyah 5 Kisaran.
No comments:
Post a Comment