TAUFIK ISMAIL: Jadi Penyair Karena Buku
Novel yang masih saya ingat sampai sekarang adalah Pak Bohong (berbahasa Jerman), Kawan Bergelut dan Bertengkar Berbisik (Muhammad Kasim), Sebatang Kara (Victor Hugo), dan Tiga Panglima Perang (Three Musketeers, red.) karangan Alexander Dumas. Waktu SD, saya juga sudah mulai baca novel dewasa seperti Tak Putus Dirundung Malang (Sutan Takdir Alisjahbana). Saya memang suka membaca. Jadi apa saja yang ceritanya menarik, saya baca. Pak Bohong itu cerita fantasi, di luar logika, dan sesuai dengan anak-anak. Kalau buku Tak Putus Dirundung Malang ceritanya sedih. Enam buku itulah yang paling saya ingat karena ceritanya menarik.
Saya baru tertarik pada puisi saat duduk di bangku SMA. Kumpulan puisi yang menginspirasi saya adalah Deru Campur Debu (Chairil Anwar) dan Nyanyi Sunyi (Amir Hamzah). Penyair-penyair dari luar negeri yang mempengaruhi saya adalah Wolf Withman, Robert Frost, dan Edgar Allan Poe. Setelah dewasa, yang paling berpengaruh bagi saya adalah Al Qur’an dan sejarah Nabi (Terjemahan Ali Audah). Buku-buku ini luar biasa.
Saya dibesarkan dalam keluarga yang suka membaca. Ayah aktif di pergerakan politik, pernah menjadi wartawan, dan Ibu saya seorang guru. Keluarga mempunyai perpustakaan pribadi dan setiap bulan orangtua mengajak ke toko buku. Saya pun ingin bisa menulis seperti Ayah saya. Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ya, hasilnya jadilah saya seperti sekarang. Keinginan menjadi penyair banyak dipengaruhi oleh keluarga dan buku-buku yang saya baca. [Isti]
BOX
Chairil Anwar
Chairil adalah seorang penyair besar Indonesia yang karya-karyanya abadi dan lintas zaman. Lahir di Medan, 26 Juni 1922, Chairil menjadi ujung tombak Angkatan 45 yang memunculkan tren baru pemakaian kata dalam berpuisi. Tidak seperti penyair angkatan terdahulu (pujangga baru, re.) yang cenderung mendayu-dayu dan romantis, kata-kata dalam puisi-puisi Chairil terlihat sangat lugas, solid, dan kuat. Salah satu puisinya yang paling sering dideklamasikan berjudul Aku dengan liriknya yang terkenal “Aku mau hidup seribu tahun lagi!”. Chairil wafat pada usia 27 tahun.
Robert Lee Frost
Seperti Pak Taufik, Robert Frost ternyata juga lahir dari pasangan wartawan dan guru. Frost lahir pada 26 Maret 1874 di San Fransisco. Ayahnya, William Prescott Frost Jr. (1850-1885) adalah guru sekaligus editor San Francisco Evening Bulletin. Ibunya, Isabelle Moodie (1844-1900) berprofesi sebagai guru. Robert pun sudah gemar membaca sejak kecil. Publikasi karyanya dimulai pada waktu Robert berusia 16 tahun, tepatnya saat sekolah di Lawrence High School. Puisinya, La Noche Triste (1890), dimuat di majalah sekolah tersebut. Prestasinya di bidang sastra semakin dikenal publik luas saat Independent, sebuah majalah di New York, menerbitkan puisinya yang berjudul My Butterfly: An Elegy (1894). Robert, yang juga seorang guru dan dosen, telah empat kali memenangkan Pulitzer Prize. Karya-karya yang terkenal antara lain After Apple-Picking, The Road Not Taken, Home Burial, dan Mending Wall.
Tentang Taufik Ismail
Penyair Angkatan ’66 ini lahir di Bukittinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Sejak SMA sudah bercita-cita menjadi sastrawan, tapi memilih kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (sekarang IPB) karena ingin menjadi dokter hewan dan ahli peternakan yang memiliki bisnis peternakan untuk memberi dukungan finansial cita-cita sastrawannya.
Semasa kuliah, Pak Taufik mendapat amanah sebagai Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960-1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI (1961-1962). Pak Taufik gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor karena menandatangani Manifesto Kebudayaan. Kemudian aktif menulis di berbagai media dan menjadi wartawan. Pak Taufik termasuk penyair yang menentang sastra-sastra beraliran porno-praxis (mendewakan tubuh dan seks).
No comments:
Post a Comment