IQRO’
(Mentradisikan Membaca dalam Kehidupan)
Oleh: Muhammad Saufi Ginting, S. Pd.*
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak hal yang terus berubah dan baru. Mulai dari gaya, budaya, dan bahkan dunia pendidikan. Seorang guru tak akan terus mengajarkan anak didiknya dengan kurikulum yang sudah usang, atau mengajarkan kurikulum baru tapi tidak tahu bagaimana menggunakan kurikulum tersebut dengan baik. Seorang siswa tidak akan dapat mengetahui apa yang baru saja dijelaskan gurunya di depan kelas dengan baik dan mantap, jika dia tidak menambah pengetahuannya di luar lingkungan sekolah. Orang tua tak akan dapat turut membantu anaknya mengerjakan PR, jika ia sendiri tidak mengerti apa yang akan di jawab dari soal-soal yang diberikan gurunya di sekolah.
Di Indonesia, masalah minat baca telah lama dikeluhkan oleh sejumlah kalangan. Masyarakat Indonesia sering digambarkan sebagai masyarakat yang lebih menonjolkan tradisi lisan ketimbang tulisan. Akibatnya, orang lebih senang mengobrol daripada membaca. Dan akibatnya pula, desas desus dan gosip sering lebih heboh ketimbang wacana.(Gerbang-sep-04).
Semua permasalahan di atas bukan terletak pada miskin dan kaya seeorang, hanya saja pada minat dan niat yang tak ingin membaca. Dengan membaca, tentunya seorang guru akan mengajar dengan berbagai metode mengajar yang baik, seorang siswa akan dapat menelaah dengan baik apa yang disampaikan oleh gurunya sehingga ia mampu menerapkannya dalam lingkungan masyarakat atau di sekolahnya sendiri. Dengan membaca orang tua akan dapat memberikan bantuan dan bimbingan bagi anak-anaknya yang kesulitan mengerjakan PR, dan tak ada masalah yang tak dapat terselesaikan dengan membaca.
Imam Al-Ghazali (Imam Abu Hamid Al Ghazali) adalah sosok intelektual muslim yang sudah tidak asing lagi. Setelah banyak bergumul dan mengumpulkan ilmu dari guru-gurunya, Al-Ghazali menuangkan pemikirannya ke dalam tulisan yang dijalin serasi. Dalam pengantar Minhajul ‘Abidin, Dr. H. Muslim Ibrahim, M.A. menerangkan bahwa karya tulis Al-Ghazali jumlahnya mendekati 400 judul buku. Ulama super produktif ini banyak melukiskan pemikirannya dalam berbagai disiplin ilmu secara terarah dan sistematis. Pemikiran Imam Al-Ghazali seperti yang diungkapkan dalam buku-bukunya telah mempengaruhi alam pikiran para intelektual saat ini.
Sementara itu sosiolog besar Jerman Karl Marx terlahir dari keluarga miskin bahkan untuk minum saja harus memakai piala karena tidak punya gelas. Namun ia punya kebiasaan yang “gila” ketika mudanya. Ia hanya menghabiskan waktu di perpustakaan kota dari jam sembilan pagi sampai suntuk membaca buku dan keluar jam sembilan malam. Sampai-sampai penjaga perpustakaan merasa kesal karena terus menunggui anak muda itu membaca. Banyak pemikiran besar dan berpengaruh lahir dari kepalanya karena buku-buku yang dibacanya.
Terlepas dari pro dan kontra, Karl Marx adalah tokoh legendaris dalam sejarah peradaban manusia. Pemikirannya yang sangat kontroversial telah mengguncang dunia. Dari hasil rumusan pemikirannya, Marx tidak membiarkan keyakinannya menjadi milik sendiri melainkan dia “da’wahkan” lewat karya-karya tulisnya kepada semua orang. Salah satu buku yang terkenal adalah Das Kapital. Dalam perjalanan hidupnya Marx yang bekerjasama dengan Friedrich Engels telah melahirkan lebih kurang 161 buah judul buku dan ribuan tulisannya lainnya dalam bentuk artikel dan koresponden.
Kebiasaan atau kesenangan membaca selalu terbelenggu oleh berbagai alasan. Alasan ketiadaan waktu, cepat merasa bosan, lelah membaca tulisan, atau alasan-alasan lain. Oleh karena itu terkait dengan masalah membaca, setidaknya ada enam obyek yang bisa kita jadikan bahan bacaan. Keenam obyek tersebut menurut Rahadi dalam tulisannya “Membudayabacakan Masyarakat” adalah: Buku (tulisan), diri sendiri (individu), orang lain (sosial), lingkungan (alam semesta), koran (informasi) dan Qur’an (agama). Dari keenam obyek baca tersebut, satu yang akan mendukung tingkat keterbatasan obyek yang lain, yaitu buku. Sehingga, hal mendesak yang harus kita usahakan adalah menumbuhkan rasa cinta terhadap buku di kalangan masyarakat. Ini sebagaimana ungkapan Arab, Khoiru jaalisin fii zamaani kitabun, sebaik-baik teman di setiap waktu adalah buku (kitab).
Nabi Muhammad SAW sebelumnya adalah orang yang tak pandai membaca, sampai ketika ia diperintahkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril supaya pandai membaca. Sejarah ini terekam dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1-5, merupakan wahyu pertama yang dimulai dengan kata Iqro, “Bacalah!”. Hal ini mengisyaratkan kepada kita agar mampu menjadi pribadi yang gemar membaca. Membaca dalam konteks yang diajarkan Allah kepada kita tidak hanya kepada kitab, tapi semua yang telah diciptakan oleh Allah SWT baik yang tersurat (tekstual) atau tersirat (kontekstual).
Ayat tersebut memberi isyarat yang sangat baik bagi pola pikir manusia, khususnya bagi umat Islam. Dengan penurunan ayat tersebut pada tahap awal, Allah SWT mengingatkan bahwa nilai bacaan berada pada posisi yang utama. Karena itu, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” merupakan anjuran yang sangat erat kaitannya dengan wahyu pertama.
Ironisnya, saat ini tidak sedikit orang yang melalaikan makna ayat tersebut. Bahkan tidak jarang orang beranggapan bahwa bacaan, terutama bacaan secara tekstual, tidak berpengaruh besar terhadap posisi kehidupan manusia. Padahal, terlepas dari penggalian terhadap makna wahyu pertama kepada Rasulullah SAW di atas, kegiatan membaca merupakan salah satu ujung tombak bagi perkembangan peradaban umat manusia.
Said Tuhuleley dalam artikelnya berjudul “Buku, Kedahagaan Intelektual dan Lilitan Kemiskinan, yang dikutip penulis dari majalah Gerbang edisi 3 Th. IV 2004 menyebutkan paling sedikit ada 3 alasan kenapa insan akademis kita tidak rajin membaca: dan bahkan para guru atau pun dosen tidak banyak yang memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku yang memadai.
Pertama, karena terbatasnya alokasi anggaran untuk membeli buku. Dengan gaji yang pas-pasan bagaimana seorang guru dapat menambah dan memperbaharui koleksi bukunya secara memadai? Bagaimana anak-anak dari keluarga tidak berpunya dapat leluasa membeli buku pelajaran, sementara harga buku membumbung naik tetapi pendapatan orang tua tetap saja seperti biasa. Boro-boro beli buku pelejaran, untuk makan saja orang tua masih harus berpikir dan bekerja sekeras-kerasnya. Bagaimana sekolah dapat membangun perpustakaan yang memadai dan selalu dapat membeli buku baru jika anggaran sangat terbatas? Semua kesulitan ini sepertinya datang bersamaan, sehingga bagi para murid dari keluarga miskin, keadaan semakin mengenaskan. Gantungan harapan mereka tentu saja kepada perpustakaan sekolah, tetapi sekolah pun dalam keadaan tidak berdaya. Tentu saja ada juga sekolah yang memiliki perpustakaan yang lengkap, tetapi yang seperti itu jumlah tidak dominan.
Kedua, kedahagaan intelektual yang membangkitkan minat baca. Tidak dapat disangkal kedahagaan intelektual membuat seorang seperti berada di tengah padang pasir yang kering dan karena itu keinginannya memperoleh seteguk air membuatnya menjadi kuat untuk mencari keberadaan oase. Seseorang yang mengalami kedahagaan intelektual akan sekuat tenaga mencari ilmu pengetahuan, dan karena itu ia akan berusaha keras untuk membaca buku sebanyak-banyaknya.
Yang menjadi pokok permasalahannya ialah, bagaimana menumbukan kedahagaan intelektual itu? Menumbuhkan rasa butuh akan ilmu? Menumbuhkan rasa ingin tahu isi buku? Ya! Tentu saja sekolah dapat ditunjuk sebagai salah satu sumber kedahagaan intelektual yang penting dan sterategis. Ketika murid melihat gurunya mengajar dengan “enak”, pengetahuannya luas, tentu ia akan bertanya-tanya dalam hati, “Kok bisa ya pak guru dan bu guru begitu pandai dan mengetahui banyak hal?” Ketika gurunya menyebut sumber bacaan, lama-lama murid akan faham bahwa pak guru dan bu gurunya itu mempunyai pengetahuan luas karena rajin membaca. Modalnya ialah rasa ingin tahu yang kuat, atau kedahagaan intelektual. Tapi, lagi-lagi soalnya memang berada juga di seputar kemampuan sekolah menyiapkan perpustakaan yang memadai dan selalu menambah koleksi bukunya dengan buku-buku baru yang bermutu, sehingga guru dapat terus menambah pengetahuannya.
Ketiga, Masih berhubungan erat dengan hal kedua di atas, rangsangan membaca yang tumbuh terutama dari metode mengajar seorang guru. Jika metode mengajar yang digunakan guru lebih mengarah pada bentuk indoktrinasi searah (konvensional), tentu saja rangsangan terhadap muridnya untuk haus ilmu akan menjadi sangat lemah. Sebagaimana dikatakan tadi, ekspresi pengetahuan guru ikut mempengaruhi kedahagaan intelektual para murid. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa cukup dengan indoktrinasi saja guru dapat merangsang kegairahan muridnya; murid hanya akan berhenti sebatas mengagumi sang guru, tetapi tidak terangsang untuk giat membaca. Oleh karena itu, suasana diskusif dalam proses pembelajaran tentu sangat diperlukan. Sebab hanya dengan begitu murid akan merasa perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan semakin memperdalam pengetahuannya.
Ada beberapa langkah untuk membudayabacakan masyarakat: pertama, menerapkan model membaca. Model membaca adalah suatu cara untuk menumbuhkan minat baca. Model membaca merupakan pemberian teladan kepada anak atau pembaca agar mereka banyak melakukan kegiatan membaca.
Banyak pihak yang bisa menjadi model baca, salah satunya adalah guru. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan guru sebagai model membaca yang pertama adalah peragaan yaitu pemberian teladan dengan cara membaca secara langsung oleh guru di tempat-tempat baca, seperti di perpustakaan, kantor, ataupun tempat-tempat lain yang bisa dilihat siswa. Harapannya, siswa akan tertarik untuk meniru kegiatan membaca guru atau orang tua mereka itu. Kemudian yang kedua adalah penuturan, yaitu memberikan informasi tentang isi bacaan yang telah dibaca, yang sekiranya menumbuhkan minat siswa untuk tahu. Harapannya siswa akan tertarik untuk mendapatkan informasi lain yang lebih banyak, sehingga tertarik untuk membaca. Yang ketiga adalah visualisasi yaitu model pemberian teladan dengan cara memperhatikan bahan bacaan yang bermacam-macam. Misalnya, guru membaca referensi yang berbeda-beda setiap kali masuk kelas. Hal ini akan menimbulkan kesan pada diri siswa bahwa guru tidak hanya membaca satu buku saja sebagai bahan referensi, sehingga mereka pun akan tertarik untuk mencari bahan bacaan yang jamak. Tindakan menyembunyikan referensi oleh guru karena takut siswa akan lebih dahulu tahu materi yang diajarkan adalah tindakan sangat keliru.
Kedua, Terapi buku bacaan. Terapi buku bacaan ini hendaknya dipterapkan pada anak selama sekolah. Dalam terapi ini anak dibiasakan untuk memiliki, membawa, dan membaca buku-buku berukuran tebal, tidak seperti model LKS yang ada sekarang ini. Harapannya, para siswa tersebut akan biasa dengan buku-buku berukuran besar dan tebal, sehingga tidak lagi takut dengan buku.
Kita perlu menghargai buku dengan sebaik-baiknya. menghargai dengan cara memiliki, memahami, dan bila dipandang perlu serta sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini, kita dapat mengimplementasikan kandungan buku untuk hal-hal yang positif. Prinsip utama dalam membaca adalah kemauan untuk terus-menerus meningkatkan diri. Membaca tidak pernah merugikan kita. Dengan membaca, kita memperoleh banyak manfaat dalam kehidupan. Selamat membaca.
*Penulis adalah peminat buku.
(dimuat di Asahan Pos Baru Nomor 321/tahun VI/25-31 Januari 2010 dan /Nomor 322/tahun VI/1-7 Februari 2010)
No comments:
Post a Comment