Wednesday, July 8, 2020

Rubrik: SERI MOTIVASI MENULIS 1



DEAR DIARY
Oleh Saufi G
Pendiri Komunitas Penulis Muda Asahan

Banyak sebenarnya cerita yang dapat diangkat untuk menjadi catatan sejarah. Semua bisa dimulai dari sebuah kata apa saja. Jangan berlama-lama untuk mengolahnya menjadi sebuah kalimat, hingga menjadi sebuah paragraf. Cerita tersebut selanjutnya dapat diurai menjadi beberapa paragraf yang utuh hingga menarik untuk dibaca.
Sudah berapa banyak cerita yang telah kurangkai menjadi ribuan paragraf utuh yang ajeg satu sama lain? Atau meski ia tak ajeg, adakah cerita itu sudah aku tuliskan?
Masih segar dalam ingatan pada masa aku masih sekolah dulu, cerita sepenggal kehidupan dapat dituliskan dalam sebuah buku diari. Kau tahu buku diari? Pernah melihatnya? Dulu setiap akan menulis sebuah kisah, selalu dimulai dengan dear diary…hari ini aku bla…bla.. itulah selalu kalimat pembuka dalam sebuah buku diari.
Buku diari ini tidak hanya milik seorang wanita saja, dan tak identik bahwa pemilik buku diari adalah seorang wanita. Seorang lelaki yang juga senang menulis ceritanya dalam sebuah buku diari juga akan melakukan hal yang sama. Bedanya hanya pada warna yang menyampuli buku diari itu. Bila buku diari itu punya wanita, maka warna lebih kepada warna merah muda, hijau muda, dan warna-warna sendu lainnya. Tapi bila pemiliknya seorang laki-laki, hampir dipastikan, warnahnya selalu biru atau hitam. Dan tak ada tertulis diary pada sampulnya.
Adapula buku diari yang dapat ditulis dari kepunyaan teman. Biasanya berisi biodata, alamat, tempat lahir, hingga motto hidup. Terakhir ketika menulis itu, dilampiri sebuah foto ukuran 3 x 4 cm. Warna.
Kadang-kadang ada cara unik mengisi buku diari seperti ini. Buku diari yang punya teman tersebut kebanyakan tidak boleh diisi ketika jam sekolah berlangsung, harus dibawa pulang, karena ada kewajiban mengisinya dengan pasfoto. Sudah barang tentu, setiap orang yang mengisi buku diari ini akan bergiliran membawa pulang buku diarinya. Sayangnya, karena kebanyakan milik perempuan, maka yang paling banyak mengisi adalah anak laki-laki pada masanya. Kamu masih punya data teman di buku diarimu kah? Atau, masih adakah buku diarimu?
Sebenarnya aku hanya ingin menceritakan sisi positif dari menulis buku diari pada zaman itu. Bayangkan apabila kebiasaan itu menjadi nilai plus dalam diri pemiliki buku diari. Si pemilik akan dengan tekun menulis apa saja yang dirasakan, hingga pada masanya ia akan melihat kembali buku diari itu.
Pada masanya adalah masa dimana menjadi masa kilas balik dalam perjuangan, kebaikan, kelam, atau apapun yang terekam dalam sebuah buku diari. Pemilik buku diari setidak sudah punya sebuah dasar kuat untuk menulis ulang kisah-kisah buku diarinya menjadi sebuah cerita utuh; novel misalnya. Kerenkan?
Itulah sekelumit cerita tentang sebuah buku diari. Apapun yang kita lakukan dalam kehidupan hendaknya bernilai dan bermanfaat positif. Hingga nilai positif itu akan dapat digunakan pada saat kemudian hari. Dengan melatih terus, ia tidak akan menjadi serba dadakan, tapi karena sudah sering dilakukan dalam menulis buku diari, maka ia akan menjadi kebiasaan.
Begitu juga pada zaman sekarang. Sesungguhnya sudah banyak sekali cara dan teori yang diungkapkan oleh orang-orang cerdik pandai, dari zaman dahulu hingga melewati masa penggunaan buku diari, sampai pada masa penggunaan teknologi. Intinya, apabila ingin mencatatkan sejarah dalam sebuah tulisan, syaratnya ya harus menulis.
Nah, aku juga sedang mengusahakan itu. Catatan yang kurangkai masih dalam uraian kata-kata yang masih biasa. Hampir saban hari aku tetap menuliskan apa yang ada di kepalaku menjadi sebuah cerita. Meskipun terkadang, ada satu atau dua hari yang terlewat tak terkendalikan, hingga tak dapat pula menulis cerita.
Tulis saja apa yang ingin aku tulis, tulis saja. Jangan khawatirkan apabila ia amburadul, jangan pedulikan. Yang paling penting, apapun yang ada dalam otak, keluarkan ia menjadi sebuah tulisan. Biarkan ia tak menarik. Lepaskan saja isi otak itu, pindahkan ia ke jemari, untuk kemudian aku ubah ia menjadi sebuah tulisan.
Tak usah aku baca ulang. Ketikkan saja. Jangan khawatir bahwa tulisan ini tak layak. Usah pula aku berkhayal tulisan yang baru aku tulis itu agar bisa masuk dalam sebuah media. Jangan. Karena sebuah hasil membutuhkan proses. Kalau aku tak mulai proses itu dari waktu-waktu sebelumnya, dan tak pula dilakukan secara terus menerus, maka hasil yang diharapkan memuaskan itu tak akan didapat. Tak ada yang instan.
Justru akan kecewa. Kok aku ga bisa ya? Apa yang salah denganku? aku akan terus memikirkan kekalahanku, padahal kalahnya diriku juga sebenarnya memang tak layak untuk bertanding, sebab tak ada persiapan sama sekali yang aku lakukan.
Aku teringat ketika meraih anugerah pegiat literasi Sumatera Utara pada tahun 2018 dari Balai Bahasa Sumatera Utara yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Apa yang kubuat hingga aku menjadi peraih anugerah pegiat literasi 2018 itu adalah hasil dari yang kulakukan sejak tahun 2012. Artinya tak ada yang instan.
Tentunya semua kehendak Allah. Allah yang menentukan. Masih banyak lagi pegiat-pegiat literasi yang berhak untuk mendapatkan itu, tapi Allah yang menentukan. Allah pasti tak akan memberikan kesempatan itu, apabila ternyata yang kulakukan baru saja.
Sejak tahun 2008 aku sudah menulis di sejumlah media. Terinspirasi dari menulis, lantas mendirikan taman bacaan masyarakat, setelah itu membentuk komunitas penulis muda Asahan.
Meskipun sepanjang tahun 2012 sampai 2016 hanya perkara-perkara biasa. Tapi sejak tahun 2017, sejumlah kegiatan mulai diikuti karena mulai dikenal, hingga 2018 meraih anugerah pegiat literasi.
Sebenarnya, sejak awal mendirikan dan mengkomandoi literasi, tak niat harus menang ini, menang itu. Tak pernah terpikirkan itu sama sekali. Yang penting didirikan, bisa mengakomodir teman-teman dalam kegiatan sastra, dan seterusnya, dan seterusnya.
Itulah yang kumaksudkan tadi dengan proses. Aku yang mengalaminya mencoba menarik sebuah benang merah agar tampak jelas bahwa menulis juga begitu. Tak ada orang yang tiba-tiba bisa jadi penulis. Untuk menjadi penulis ia harus banyak menulis. Banyak menulis adalah proses, walau belum tentu dari sekian banyak yang ditulis, tulisan itu menjadi sebuah cerita utuh yang baik. Tak apa, namanya juga proses.

Tulisan ini diambil dari buku
MOMEN GANTENG  (MOtivasi MENulis; GAli, Nikmati, TEkuni, BareNg-barenG .
Penulis             : SAUFI G
Penerbit           : Azka Gemilang, 2020          
ISBN                : 9278 623 9206833