Wednesday, March 31, 2021

DIPERTEMUKAN DENGAN APA YANG DICARI

Perjalan Kisaran-Langsa, hal yang selalu menjadi perhatian adalah SPBU dan Masjid. Kedua tempat ini sangat penting bagi kami. SPBU sebagai tempat menghentikan ritme perjalanan agar tak terlalu lelah, membuang segala (maaf) kotoran dan boleh juga melaksanakan ibadah. Pun begitu juga dengan Masjid, meski musafir, punya hak untuk menyingkat (jama’) ibadah salat, tetap memilih melaksanakan salat di Masjid sekalian berleha-leha istirahat. Tak pernah berhenti di bawah pohon rambung, atau pohon sawit.

Asyiknya, karena di kepala yang tertanam bila mau istirahat, salat, atau buang air opsinya cuma 2; SPBU dan Masjid. Maka kami hafal letaknya, sepanjang perjalanan dari Kisaran sampai tujuan ke kota Langsa.

“Sebentar lagi ada SPBU itu, di sebelah kanan, egh tapi airnya ga bagus, ke Masjid saja ya, bentar lagi mau Magribkan? Ga jauh itu sebelah kanan dari SPBU itu ada masjid” begitulah. Kami hafal posisinya.

Meski sudah ‘terujung’ untuk buang air, tak pernah berhenti sembarangan di sawitan, atau sekedar menyelesaikannya di dinding rumah orang. Anak-anak diajarkan untuk tak asal, prihal ‘terujung’ ini. Tahan sebentar. Meski ber “aduuuh udah tak tahan Yah”, kata si Za, gadis kecil kami. Sabar. Tak jauh lagi ada SPBU.

Itulah yang selalu kami tanamkan dalam kepala. SPBU dan Masjid. Selalu saja ‘terujung’ itu hadirnya tak jauh SPBU. Pokoknya cari SPBU dan Masjid. Kamipun selalu dipertemukan.

Perkara menemukan apa yang dicari ini, bolehlah dianalogikan dengan menulis. Makanya, sebagai pembuka, pagi tadi saya bertanya, menulis itu untuk apa? Carilah apa yang ingin kita cari. Pasti akan ditemukan untuk apa menulis. Agar tak sesat. Agar bermanfaat. Agar menjadi sejarah kebaikan.

Hal ini mengingatkan saya kisah Hamka, sastrawan yang ulama itu. Ia berkisah dalam sebuah ceramah, ada orang yang menyampaikan padanya dengan semangat.

“Buya, ternyata di Mekkah itu ada wanita nakal ya, kok bisa? Tanya lelaki itu.

Apa kata Hamka. “Oh ya? Saya barusan dari Los Angeles dan New York, Masya Allah, ternyata disana tidak ada pelacur”.

“Ah mana mungkin Buya, di Makkah saja ada kok. Apalagi di Amerika, pasti banyak lagi,” Lelaki itu penasaran.

“Kita ini memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari. Meskipun kita ke Mekkah, tetapi jika yang diburu oleh hati adalah hal-hal yang buruk, maka setan dari golongan jin dan manusia akan berusaha membantu kita untuk mendapatkannya. Tetapi sebaliknya, sejauh perjalanan ke New York, Los Angeles, bila yang dicari adalah kebajikan dan kebaikan, maka segala kejelekan akan enggan dan bersembunyi” tutup Hamka.

Begitulah. Carilah kebajikan dan kebaikan itu dalam menulis.

Tabik.

Kisaran, 08-03-2021

Saufi. Azka Gemilang

 

Petunjuk Orang Pintar

Oleh: Saufi G

Keinginan Bambang untuk mendapatkan Riri si pujaan hatinya dengan cara instan, selalu tak disetujui oleh Rei. Sebab, hal yang harus dilakukan Bambang menurut petunjuk orang pintar, harus bertapa di atas kuburan tua yang terletak di pengkolan jalan menuju Pajak Bhakti itu.

“Itu kuburan Bambaaaang, bukan cafe” Rei dengan wajah memerah memberi penjelasan.

“Aneh-aneh saja pun permintaanmu Bambang. Kalau kau memang jatuh cinta pada gadis pujaanmu, ya pertamvaanlah dirimu. Seperti pak Azka itu”.

“Rei, kumohon Rei! Bantu aku! Terlalu lelah aku menunggu jawaban dari Riri itu Rei” Bambang memutarkan badan mengarahkan pandangan ke burungnya pak Ton. Seperti adegan antara Roma dan Ani pada film lama.

“Cukup Bambaaang. Aku tak sudi. Cuihh. Apalagi itu kuburan Belanda. Kenapa tidak pada semut merah yang berbaris di dinding menatapmu curiga yang kemudian kau siram dengan air panas itu saja yang kau buat jadi kuburan?” Rei semakin geram.

Rei menghampiri Bambang, memutarkan tubuhnya dan mengoncang-goncangkan bahu Bambang.

“Kau kejaaaam Bambang. Kejaaaaam! Semut saja kau siram dengan air panas. Bagaimana kelak kau bisa menjaga Riri, Bambaaaaaang?”

Bambang tertunduk. Diam.

Meski Rei tak setuju, Bambang tetap teguh pendirian. Ia telah bertekad untuk mengikuti apa yang dipesankan oleh orang pintar itu. Malam Jumat tepat pukul 24 Bambang telah berada di kuburan tua itu. Tak penting apa pun resikonya, baginya tujuan dari ritual ini adalah mendapatkan Riri.

Bambang duduk di atas kuburan tua. Sesaat hendak memejamkan mata, tiba-tiba kuburan bergetar hebat.

“Grrrrrrr braaaaaak”

Kuburan terbelah dua. Untung saja Bambang sigap melompat hendak menyelamatkan diri. Malang bagi Bambang kedua kakinya terperosok ke dalam kuburan. Malam ini benar-benar malam yang mengerikan bagi Bambang. Bahkan suara pun tercekat, tak satu kata dapat melompat dari mulutnya.

Dengan sekuat tenaga ia menarik kakinya.

“Duhaaai..mengapa bisa begini, duhaaaaaaaiiiiii” jeritnya dalam hati.

Setelah berpeluh Bambang pun bisa melepaskan kaki dari dalam kuburan, walau ia harus merelakan sandalnya tertinggal dalam kuburan. Ia segera berlari tunggang langgang.

Perkara ini rupanya tak diceritakan Bambang pada Rei. Tentu saja malu. Namun pagi ini, Bambang benar-benar penasaran apa yang terjadi terhadapnya tadi malam di kuburan.

“Kenapa tak kutengok saja pagi ini ke kuburan itu” batin Bambang. Ia bergegas.

Tepat pukul delapan ia persis berada di kuburan yang penuh tragedi tadi malam. Betapa terkejutnya ia melihat sepasang sandalnya berada di atas kuburan.

“Bah, itu kan sendalku? Kok bisa berada di atas kuburan? Kuburannya kenapa bisa tak ada bekas terbelah” Bambang penasaran.

Ia maju beberapa langkah, hendak mengambil sendalnya di atas kuburan. Betapa terkejut ia, sebab di bawah sandalnya itu ada tulisan yang menjengkelkan.

“Maaf, kami orang Belanda, tidak terima sandal Jepang”.


Kisaran, 30-3-2021