Wednesday, March 28, 2012

GALAU


Hidup hanya sekali kawan, jangan kau sia-siakan. Cinta yang kau puja-puji berbeda dengan cinta yang akan kau rasakan tatkala kau telah memiliki belahan jiwa dan anak keturunanmu. Semua lebih. Lebih dari sekedar kata sayang, lebih dari sekedar say hello,  lebih dari apapun yang kau dambakan saat kau masih sendirian. Berhentilah. Berhentilah dari kegelisahannmu. Jangan bersedih, usia bertambah, maka ilmu dan iman harus berlebih. jangan statis. mari mengikis kacau.

Monday, March 26, 2012

OPINI


MEMBELAJARKAN KARAKTER HEBAT PADA ANAK
Oleh: Muhammad Saufi Ginting

Mouly (dalam Trianto, 2010:9) mendefinisikan bahwa belajar pada dasarnya adalah perubahan tingkah laku seseorang berkat adanya pengalaman. Lebih lajut dikatakan bawwa perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu belajar.
Perubahan yag dimaksud dalam belajar di atas perubahan ke arah positif, dalam arti untuk memperbaiki generasi penerus (siswa) memiliki pegetahuan yang bermanfaat dan berdaya guna dikemudian hari kelak, untuk bangsa dan agamanya. Akan tetapi melihat dan membaca media baik televisi dan koran belakangan ini, rasanya bergidik ngeri ketika anak-anak bangsa (pelajar) sudah kehilangan karakter positif untuk mencintai hidupnya dan mendekatkan diri pada Tuhan. Perkelahian yang terus-menerus dilakoni oleh pelajar kita contoh kasus perkelahian siswa SMA Negeri 6 Jakarta dengan wartawan, bisa dilihat beritanya di televisi berulang-ulang. Perilaku geng motor menurut informasi dari media juga dilakukan oleh para pelajar kita di Medan, semakin menjadi-jadi dan belum terkendalikan, menjadi fenomena memiriskan hati bagi siapa saja yang mendengarnya apalagi menjadi korban tindakan anarkis oleh anak-anak kita sendiri.
Jika kita melihat ke belakang, perkembangan dan kebebasan berekspresi menjadi dilema buruk bagi bangsa kita. Pascareformasi 1998, peranan media massa dan elektronik menjadi lebih besar, khususnya televisi. Televisi dapat memberikan informasi dari seluruh dunia kepada orang dimanapun berada. Tetapi sayangnya kebanyakan siaran yang dipertontonkan penyedia layanan dan penyedia hiburan hanya mementingkan kebutuhan pribadi mereka ketimbang memikirkan bagaimana pengaruh buruk televisi terhadap pendidikan masyarakat, khususnya  kejiwaan anak yang merupakan masa depan bangsa. Padahal menurut UU Penyiaran tahun 2002 pasal 36 tentang isi siaran “dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang”.
Tapi tak juga semua bisa kita salahkan kepada televisi. Masyarakat harus turut menjaga dengan terus memberikan pendampingan agar tidak berakibat buruk pada perkembangan psikologis dan masa depan anak kita. Selain itu ada juga lembaga yang berhak menyensor siaran yang berkewajiban terus menjaga kualitas siaran, sebut saja Lembaga Sensor Film, bahkan bisa jadi lebih ke atas adalah Menkominfo.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak hal yang terus berubah dan baru. Mulai dari gaya, budaya, dan bahkan dunia pendidikan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuan sehingga tidak meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita. Selain itu, perlu diingat bahwa kita harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab bisa jadi karakter yang kita berikan selama ini adalah tentang ilmu-ilmu umum, tapi masih belum kita kaitkan untuk mengingat Tuhan. Hal yang dapat diusahakan adalah memberikan tauladan yang baik bagi anak-anak kita, salah satunya dengan iqro’ (banyak membaca).
Membangun Karakter Positif
Terkait dengan membaca, setidaknya ada enam obyek yang bisa kita jadikan bahan bacaan. Keenam obyek tersebut menurut Rahadi dalam tulisannya “Membudayabacakan Masyarakat (2004)” adalah: Buku (tulisan), diri sendiri (individu), orang lain (sosial), lingkungan (alam semesta), koran (informasi) dan Qur’an (agama). Nabi Muhammad SAW sebelumnya adalah orang yang tak pandai membaca, sampai ketika ia diperintahkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril supaya pandai membaca. Sejarah ini terekam dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1-5, merupakan wahyu pertama yang dimulai dengan kata Iqro, “Bacalah!”.
Hal ini mengisyaratkan kepada kita agar mampu menjadi pribadi yang gemar membaca. Membaca dalam konteks yang diajarkan Allah kepada kita tidak hanya kepada kitab, tapi semua yang telah diciptakan oleh Allah SWT baik yang tersurat (tekstual) atau tersirat (kontekstual). Ayat tersebut memberi isyarat yang sangat baik bagi pola pikir manusia, khususnya bagi umat Islam. Dengan penurunan ayat tersebut pada tahap awal, Allah SWT mengingatkan bahwa nilai bacaan berada pada posisi yang utama. Karena itu, sabda Rasulullah SAW  “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” merupakan anjuran yang sangat erat kaitannya dengan wahyu pertama.
Ironisnya, saat ini tidak sedikit orang yang melalaikan makna ayat tersebut. Bahkan tidak jarang orang beranggapan bahwa bacaan, terutama bacaan secara tekstual, tidak berpengaruh besar terhadap posisi kehidupan manusia. Padahal, terlepas dari penggalian terhadap makna wahyu pertama kepada Rasulullah SAW di atas, kegiatan membaca merupakan salah satu ujung tombak bagi perkembangan peradaban umat manusia. Untuk itu membaca adalah tahap awal dalam membangun karakter positif bagi kita dan anak-anak kita.
Selain itu, Muslich  dalam bukunya “Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional” (2011: 56-57) memberikan tips bagaimana menjadi pendidik yang memiliki karakter hebat. Mencintai anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak. Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendorong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cinta adalah dengan senyum, sering tampak bahagia, menyenangkan, dan pandangan hidupnya positif.
Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral, agama, budaya. Cara penyampaiannya pun harus "menyenangkan" dan beradab. Ia pun harus bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk, lebih-lebih angkuh. Anak senantiasa mengamati prilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
Mencintai pekerjaan guru. Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Guru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami kemampuan akademisnya, kepribadiannya, kebiasaannya dan kebiasaan belajarnya.
Luwes dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Guru harus terbuka dengan teknik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
Tidak pernah berhenti belajar. Dalam rangka meningkatkan profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya, dan mengakses informasi aktual tidak boleh ditinggalkan.
Penutup
Kita tidak perlu saling menyalahkan, tapi saatnya untuk memperbaiki segalanya di berbagai bidang, terutama dalam dunia pendidikan. Jangan sampai apa yang terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Medan menjadi virus di kota-kota kecil lainnya yang setiap saat bisa saja berkembang dengan cepat. Cukupkan sampai di situ dan selesaikan. Mulai dari diri kita sendiri, sehingga nilai-nilai positif dan sikap mencintai Tuhan terus tertanam pada generasi penerus.
Dengan demikian rumah (keluarga) dan pendidikan yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan kejiwaan. Begitupun dengan anak-anak kita, ajarkan mereka untuk jujur terhadap diri sendiri dan dengan kemampuan mereka. Ajarkan mereka untuk bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang mereka lakukan.

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Medan prodi Linguistik Terapan Bahasa Inggris tinggal di Kisaran.



Sunday, March 25, 2012

CERPEN


SUDAH MERDEKA
Oleh: Muhammad Saufi Ginting (di Kisaran-Asahan, Sumatera Utara)

Apa jadinya jika seorang sarjana, tapi tak mampu mendapatkan penghasilan yang cukup? untuk makan saja masih tak cukup, apalagi untuk berbakti kepada orang tua sekedar membelikan sekilo gula untuk membuat teh manis di rumah? Itulah aku kini, sarjana pendidikan yang baru saja di wisuda 2 bulan yang lalu di salah satu universitas milik pemerintah Kabupaten tempat aku tinggal.
            Masih kuingat dengan jelas, tanggal 21 Nopember itu, kedua orang tua ku datang dengan mengendarai sepeda bututnya untuk menghadiri acara wisuda anaknya dengan senyum tak terhitung jumlahnya sepanjang jalan dari rumah menuju kampusku.  Anakku wisuda, Anakku wisuda, teriak mereka sepanjang jalan, kata Umri, teman sekelasku di Universitas yang kebetulan berpapasan dengan kedua orang tuaku sebelum dia sampai ke Universitas ini untuk di wisuda juga.
            Aku hanya tersenyum malu. “Maaf mak” ucapku dalam hati. Aku tak bisa membawa orang tua ku kemari secara bersama-sama, seperti Umri yang menggunakan mobilnya, datang ke acara wisuda bersama seluruh keluarga besarnya.
***
Hanya pada sebuah asa kau mengamuk
Jangan begitu saudara
Ini sudah merdeka!
Sekali lagi, ini sudah merdeka!
Mari redakan gelisah di dada

Sambil iseng, aku berdiri membaca tulisan kecil yang ditempelkan di mading sekolah itu, tulisan yang bagus, menurutku, yah negeri ini memang sudah merdeka, tak perlu gelisah dalam menjalani kehidupan, pikirku.
Bukan waktunya aku kau rembuk
Waktunya mendefinisikan merdeka
Merdeka kita dari penjajah dulu
Pasti.
Merdeka kita sekarang dari malu
mau
Merdeka kita dari mau
cepat
Merdeka kita dari sabar
ngeri
Merdeka kita dari menggeletar
kejam
Merdeka kita semua dari tuhan?
…..
Maka kembali lahir sebuah kemerdekaan…
Diantara belantara kerancuan


Memang benar, dulu identik kata merdeka adalah dari penjajahan, batinku sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui apa yang baru saja kubaca. Tapi sekarang, semua orang sangat gampang menyatakan bahwa  menampilkan kemaluan itu juga bagian dari seni, bagian dari bangsa yang sudah merdeka, dan cepat-cepat ingin mengikuti prilaku yang buruk dari bangsa barat sana. Sementara ketika kita bersabar, untuk menahan diri tidak mengikuti kemerdekaan yang memalukan, semua orang menunjuk bahwa kita ketinggalan zaman, tapi ketika kita sudah tak sabar, maka tindakan anarkis yang malah terjadi untuk menghentikan kemerdekaan yang memalukan itu. Rasa-rasanya memang bangsa kita ini sudah begitu kejam memaknai arti merdeka. Bagaimana pula jika sudah merdeka dari Tuhan? Aku benar-benar sangat mengapresiasi tulisan kecil yang kubaca satu persatu ini. Apakah semua orang ingin merdeka ya? membingungkan. Gumamku.
Mataku terus tertuju pada tulisan di bawahnya.

Apakah ini merdeka saudara???
Bukankah seharusnya merdeka hari ini
Adalah dari papa?
Derita ?
Bencana?
Dan ketidakadilan?

Sebelum aku selesai melanjutkan membaca tulisan kecil itu lebih jauh, tiba-tiba bahuku di pegang seseorang dari belakang. Aku menoleh.
“Apa kabar saudara?” katanya
“Baik.” Jawabku dengan wajah kebingungan.
“Masih kenal dengan saya?” katanya
“emmmmh…” kataku sambil mengerenyitkan dahi.
“Kamu Yusuf kan? Dulu sekolah di SD 11 Kisaran kan?” lanjutnya
“emhh, ia betul, kok kenal saya, kamu siapa? Apa dulu kita satu SD? Kataku mencoba mencari jawaban kebingunganku, begitu dia menyebutkan SD ku yang dulu.
“Ia, ini Aku Panji, Muhammad Panji, dulu kita pernah satu kelas” katanya
“Dulu aku pernah memanah kamu memakai lidi yang diikatkan di karet gelang, dan kena mata kamu, untungnya kata bu Nurita, tidak kena biji mata kamu, padahal waktu itu aku sudah ketakutan tak karuan” dia terus menyerocos panjang lebar, sambil menerbangkan ingatku pada waktu 10 tahun yang lalu.
“ohhhhh…..iaaaaaa” pekikku setengah menjerit. “Kaunya Panji” kataku sambil menjabat dan menggoyangkan tangannya serta tangan kiriku menepuk-nepuk bahunya.
“Seingatku dulu kamu hitam, sekarang kok bisa jadi putih gini, makanya aku pangling, ga ingat, ga tau, kok kamu bisa kenal aku, rupanya kamu, Ji” gantian aku pula yang menyerocos begitu tau kalau itu adalah Panji, kawan ku waktu masih di SD dulu. Kami dulu termasuk kawan akrab, sakingkan akrabnya permainan pun yang aneh-aneh, yang terakhir kali, memang waktu itu di kelas 6, saat tragedi tak mengenakkan yang baru saja diceritakan Panji itu terjadi padaku. Panji hanya tersenyum mendengar kebingunganku, lalu mengajakku ke kantin sekolah, yang tak jauh dari lokasi kami berdiri.
“Kamu ngajar Ji” tanyaku menyelidik
“Ya ialah, masa’ aku di sini jualan”! jawabnya sambil tersenyum, dengan pertanyaanku. Ya, mungkin tadi pertanyaan aneh yang baru saja kutanyakan, padahal aku sedang berada di komplek sekolah bertemu Panji yang berpakaian safari rapi ini.
“Ngajar apa Ji”
“Agama Islam” jawabnya sambil meminum teh manis dingin.
“Wah, pantas saja pesannya teh manis dingin, bukan teh botol” Ledekku sekenanya.
“Dulu tamat dari mana, Ji, Kuliahnya?”
“Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara” katanya
“Ada perlu apa kemari? Kok kayak orang linglung tadi kulihat dari jauh” lanjutnya, memutuskan rasa keingintahuanku terhadapnya yang begitu hebat.
“Emangnya kamu liat dari mana?”
“Tadi, pas kamu masuk lewat gerbang, aku lagi duduk di meja piket, sebelah sana” katanya sambil menunjuk sekenanya saja. “Sepertinya aku kenal sama kamu, jadi begitu kamu mau keluar lagi, ya langsung ku kejar, eh rupanya kamu masih melototi mading.” Aku memang lagi iseng membaca mading yang kebetulan terletak dekat dengan gerbang sekolah tempat aku baru saja memasukkan lamaran pekerjaan, ya aku melamar untuk menjadi guru di sekolah ini.
“Ia, aku tadi masukin lamaran pekerjaan, mau jadi guru. Tapi katanya lagi ga ada lowongan guru yang sesuai dengan jurusan ku. Maklumlah namanya juga masih baru tamat kuliah, Ji, masih cari-cari”. Kataku.
“Emangnya kamu jurusan apa Suf?” tanya Panji.
“Matematika. Eh..kamu kok ga ngajar ni? 
“Ini lagi jam istirahat, liat aja banyak anak-anak yang keliaran di lapangan tu!”
“Tapi ga apa-apa, Insyaallah pasti ada cara lain yang Allah kasih buat kamu dalam mencari rezeki” kata Panji menyejukkan jiwaku.
“Amiin…”ucapku mengamini doa Panji barusan.
****
Hubungan ku dengan Panji, berlanjut melalui HP. Memang HP ini walau masih merek jadul (jaman dulu) nokia 3315 tapi masih dengan setia menemaniku, apalagi memiliki nilai histori yang tinggi, karena merupakan pemberian temanku waktu kuliah dulu. Dan kini, sungguh banyak manfaatnya, walau entah kapan-kapan aku baru bisa mengisi pulsanya.
“Suf, ada lowongan ni jadi Wartawan di Koran Serambi” bunyi SMS yang baru saja kuterima dari Panji. Tak lama, sebelum aku membalas ingin menanyakan lebih lanjut tentang lowongan itu, ia sudah mengirim SMS lagi tentang persyaratannya dan alamat lengkap yang akan di tuju.
“Cobalah, aku yakin kamu bisa” kata Panji dalam SMS selanjutnya.
Tanpa membalas kembali SMSnya aku pun bergegas menghitung sisa-sisa uang ku yang baru saja ku dapatkan dari hasil mengajar les privat anak SD tetanggaku. Akupun pergi ke rental komputer untuk mengetikkan surat lamaran pekerjaan, dan akan segera kukirim melalui kantor pos. Apa salahnya untuk mencoba, walau mesti jauh, pikirku.
***
Begitulah, ketika kau kuatkan hati untuk menang
Maka keyakinan pasti akan datang
Jangan ragu
Allah itu dekat…
Satu layar memang, tak banyak. Tapi sudah cukup meneteskan air mataku begitu aku selesai membaca SMS dari sahabatku yang baru saja masuk ke HP-ku. Ya, aku kini diterima menjadi salah satu wartawan di Serambi Indonesia, Aceh. Walau masih berstatus magang, aku sangat bangga, karena dari seribuan orang yang melamar, aku menjadi salah satu dari sepuluh orang yang diterima menjadi wartawan di Koran itu. Terima Kasih Allah, akhirnya aku bisa membantu orang tuaku. Terimakasih Panji. Aku jadi teringat catatan kecil yang kulanjutkan untuk mencatatkannya di notesku dari mading, sewaktu aku pulang bertemu Panji dan memasukkan lamaran pekerjaanku di sekolah itu. Zaman sudah merdeka, bukan waktunya untuk berkeluh kesah, walau aku berlatar pendidikan, aku mesti memerdekakan diriku sendiri, bahwa hidup mesti berjuang, dimana saja.

Kisaran, 23 Januari 2011.
Terinspirasi dari Halimah; mantan jurnalis Koran Serambi Indonesia, Banda Aceh.

Tuesday, March 13, 2012

PUISI


Sebab tertarik pada status seorang rekan di jejaring sosial, inilah jadinya…semoga bermanfaat…dan selamat membaca…


DIALOG MEMBUNUH SENJA
Oleh: Setia Wati dan Muhammad Saufi Ginting

Apa menurutmu, kubunuh saja senja sebelum habis waktunya?

Biarkan!
Biarkan ia mengusap peluh
Pada Allah, dengan sujud-sujud mendesah

Apa kau yakin ia takkan mengulang kisah yang sama?

Biarkan!
Biarkan ia mengusik detik dengan detak
Membaur pada sayap-sayap asa
Pada ribuan tahun yang terarak
Pada dunia yang tak lagi bersahaja
Yakinlah, dunia tak seujung senja
Yang ingin kau bunuh dengan usikmu saja
Biarkan ia mengalir pada sampai waktunya
Berdoalah..
Maka, pantaskah kau bunuh senja dengan gelisahmu?

Ku tak ingin ia pergi
Pun, tak ingin ia di sini
Bila lara... mengendapkan tanya pada cawan-cawan gelisah
Aku lelah... kendati ku dapat bersandar pada teduhnya daun-daun doa...

Apakah waktu sudah berubah?
tidak
Masih mengulir diantara detik, menit, dan jam
Apakah cinta sudah berubah?
tidak
Masih dasar penguat bingkai kata sakinah, mawaddah, dan rahmah
Apakah Tuhan sudah berubah?
Tidak
Masih pada waktu Dia berjanji
Dan mahacinta sifat dasarNya

Apakah aku sang buta? hingga harus kau cecar aku dengan sabda-sabda layaknya Isa menggenggam mukjizatnya?
Apakah aku sang hina? hingga harus kumengemis pada makhluk-makhluk penghuni rawa dosa?
Katakan padaku, dimana aku harus menggungat janjiNya?

Apapun itu, 
Hidup harus tetap berjalan
Selama nyawa masih di badan
Jangan melengah pada kenangan
Pada ketakpastian yang harusnya dibuang
Jangan merenggang dalam bimbang
Majulah!
Allah bersama dalam detik tak terbilang…

Dan titik bening itu luruh... mengalir bersama keangkuhan yang perlahan runtuh. Apa aku harus menanti?
Atau meminta senja pergi? jiwaku tlah jadi bangkai. mati... tak lagi merasai elegi pagi...

Ini cinta!
Genggam, Sembunyikan.
Ini waktu!
Pasti kan kau temukan jawaban


Medan-Kisaran, 13 Maret 2012
Satu tempat tak terbilang..

Language Shift and Language Maintenance


Mini Research on Language Shift and Language Maintenance

           
1.     Background of the Study

The existence of language cannot be separated from human life. According to Holmes (1992), every language represents the temple in which the speaker’s soul is his/her devotee. It seems that everything related to human life in the society involves language because it is through the language that interaction among tribes, ethnic groups, and religions can happen. However, language is not always able to maintain by the ethnic group especially in the multilingual societies. Sumarsono (1993) in Amrullah states that language shift and language maintenance is like two sides of a coin. One side of the coin is a language that cannot be shifted by another language because its users constantly use it to carry out their daily affairs. On the other side of the coin is a language that can be shifted by another language because the speakers are not likely to use it anymore. Hoffman (1991) in Amrullah states that a community that does not maintain its language by adopting another language gradually is referred to as language shift. He also observed that under certain cultural, social and political conditions, a community might opt to change one set of linguistic tools for another.
Language shift, sometimes referred to as language transfer or language replacement or assimilation, is the progressive process whereby a speech community of a language shifts to speaking another language. The rate of assimilation is the percentage of individuals with a given mother tongue who speak another language more often in the home. When a linguistic community ceases to use their original language, language death or language extinction is said to occur.
Based on the data of UNESCO in the year of 2001, there are 6,900 languages in the world. 2,500 of them are extincting. UNESCO says that Indonesia, India, America, Brazil, and Mexico are countries which have multi varieties of languages, but they are also facing a very big danger of language shift.
Based on the data of UNESCO, almost 200 languages do not exist anylonger after three generations, because they lost their speakers; for example Urbykh language in Turkey which extincted in 1992, Aaasax language in Tanzania in 1976, Eyak in Alaska, and so on. 900 languages in the world are in danger of extinction nowadays. 199 languages in the world are mastered by less than a dozen of speakers; for example Lengilu language in East Borneo, Indonesia used by only 4 people, Karaim language in Ukraina used by only 6 people, Wichitha language in Oklahoma, USA used by 10 people only.
There are other 178 languages in the world which are extincting, because they are used by 10 to 150 people only. Based on the record of UNESCO, India is at the first rank in facing language shift. There are 196 shifting languages in India now. America takes the second position with 192 shifting languages. And Indonesia takes the third position with 147 shifting languages. 169 ethnic languages of 742 in Indonesia are facing danger of extinction because their speakers are less than 500 people.
One of the issues which is quite important in the study of language shift is the powerless minority group which tries to maintain its original language when communicating with the majority group whose language is dominant, and supraethnics which is economically and politically dominant in all sectors (Sumarsono, 1993 in Amrullah). As the consequence, the minority language will experience a shift to majority language or even it will dissapear. That process, according to Sumarsono (1993) in Amrullah, involves three generations, each of which has its own characteristics. The first generation will preserve that ethnical language as well as possible. In this case, the speakers always use this language in their daily life. Later, the second generation becomes bilingual and master the second language better than their mother tongue. Finally, the third generation refers to the ones who are unable to master their ethnical language anymore.
The researchers saw that there is a phenomenon of gradual language shift occured in their society, especially in families. And there are some families taking efforts in maintaining their ethnic languages. This phenomenon makes the researchers feel that it is necessary to describe this phenomenon and to find out the factors influencing the language shift and language maintenance in society especially in the families. Thus, the researchers feel that it is important to share the knowledge of language shift that happens in society so that the society can be aware of the steps to be taken in maintaining a language.
               






2.     Research Methodology

            This study was conducted by using qualitative descriptive research design. The researchers used interview and note-talking as the methods to collect the data and then analyzed the data based on the answers given by the respondents. The researchers used this design because the researchers want to describe the analyses and explain the process of language shift and language maintenance.
            The technique used for deciding the sample is random sampling. It is the technique in which samples are taken randomly (Ary:1979). The researchers took five families as the samples and interviewed them by using adapted research from Nurhalis (2003) and Agustin (2004) who had researched about language shift of Makassarese and Sumbawanese in Mataram.

3.     Data and Data Analysis
Data   
The data of this study can be seen from the table below :
Cases
(Families)
Language Shift
Language Maintenance
1
­­__
2
__
3
__
4
5
6

Data Analysis     
            From the table above, the researchers know that different family experienced language shift and language maintenance. Language shift occured to five from the six families observed. The two families’ language shift was influenced by economic and social factors. Meanwhile, the other two cases were affected by demographical factor . And the rest was influenced by demographical and social factors.
            Language maintenance can be seen from the four families. The language maintenance in the four families were influenced by social and economy factors (for family 3 and 4). Demogrpahical factor on family 6 and attitude and values for family 5.

4.     Findings
There are no absolute answers about the factors contributing to language maintenance since elsewhere some factors may have little effect on language maintenance or even associated to language shift. According to Holmes (1992), the following are some factors which could contribute to language shift and language maintenance.
1)      Economic, Political and Social Factors
Obtaining work is the most obvious economic reason for learning another language. In English dominated countries, for instance, people learn English in order to get good jobs. This results in bilingualism. Bilingualism is always a necessary precursor of language shift, although, it does not always result in shift.
The social and some economic goals of individuals in a community are very important in accounting for the speed of shift. Rapid shift occurs when people are anxious to “get on” in a society where knowledge of the second language is a requirement for success. Young upwardly mobile people are likely to shift fastest.
The more domains in which the minority language can be used, the more chance there is of its being maintained. The possibilities will largely determined by socio-economic factors, such as where the jobs are.
These factors can be seen from the cases for family 1, 2, 3, 4 and 6.
                                       
2)      Demographic Factors
Demographic factors are also relevant in accounting for the speed of language shift. Resistance to language shift tends to last longer in rural than in urban areas. This is partly a reflection of the fact that rural groups tend to be isolated from the centers of political power for longer, and they can meet most of their social needs in the ethnic or minority language.
This factor can be seen from the cases for family 2, 4 and 6.
3)      Attitudes and Values
Language shift tends to be slower among communities where a language is highly valued, especially if the language is seen as an important symbol of identity. Positives attitudes supports efforts to use minority language in a variety of domains, and this helps people resist the pressure from the majority group to switch to their language. Where it has a status in a community, it will help to maintain the language since the language will be regarded more with pride.
These factors can be seen from the cases for family 4 and 5.


5.     Conclusion
There are many different reasons for choosing a particular language or variety in a multilingual community. The various constraints on language choice faced by different families are described in this mini research. The factors which contribute to language shift also can be the factors contributing to language maintenance. The most dominant factors for language shift and maintenance is economy and social factors, meanwhile the least factor is attitude and value.
Based on Holmes (1992:70), there are efforts that can be done in order to maintain a language.
v the use of minority language in education, e.g. bilingual education programmes, using or teaching the minority language in school, in pre-school, and in after-school programmes,
v  support by the law and administration, e.g. the right to use the language in court, the House of Assembly, in dealing with government officials, etc.,
v  the use of the language in places of worship, e.g. for services, sermons, hymns, chants,
v  use of and support for the language in the media, e.g. TV programmes, radio programmes, newspapers, magazines.





The Note-Talking between the Researchers and the Respondents :
Case 1
Sample              : Mrs. Ida Simamora, single parent, 44 years old, a mother of two children age 11 and 9 years old, Bataknese.
Time                  : Sunday, February 27, 2011
Majority spoken languages in the community  : Hokkien (80%) and Bahasa Batak and Indonesia (20%)
1)      Bahasa apa yang Ibu gunakan sehari-hari di rumah?
Answer: Bahasa Indonesia
                    
2)      Bahasa apa yang bapak dan ibu gunakan di luar rumah, seperti di lingkungan pekerjaan dan di masyarakat?
Answer: Di kantor, bahasa Indonesia, di lingkungan bahasa Indonesia, ya kecuali ketemu sama orang kita (Bataknese), pakai Bahasa batak la..apalagi di usia kek kakak sekarang ini sudah harus lebih sering la berbahasa Batak sama yang tua-tua itu.

3)      Berapa lama Ibu bertempat tinggal di daerah Ibu saat ini?
Answer: Sudah lebih 30tahun lah kira-kira

4)      Bahasa apa yang digunakan oleh orang tua Ibu?
Answer: Oh..Bapak sama mamak kakak pastilah bahasa Batak, orang kampungnya aja di Silalahi sana.

5)      Bahasa apa yang digunakan anak-anak Anda di dalam dan di luar rumah?
Answer: Orang itu Bahasa Indonesia lah..di sekolah juga Bahasa Indonesia sama kawan-kawannya.



6)      Menurut Anda, apakah yang menjadi penyebab jika bahasa yang digunakan oleh Bapak dan Ibu berbeda dengan bahasa orang tua Bapak dan Ibu?
Answer: Ohh..itu..kakak kan dari SD dah sekolah di kota, di sekolah belajar pakai bahasa Indonesia, guru-gurunya meskipun orang Batak kan tetap juga pakai bahasa Indonesia. SMP kakak dah merantau, yah makin seringlah pakai bahasa Indonesia.

7)      Menurut Anda, apakah yang menjadi penyebab jika bahasa yang digunakan oleh anak-anak Bapak dan Ibu berbeda dengan bahasa Bapak dan Ibu?
Answer: Kami di rumah pakai bahasa Indonesia yah karena itu bahasa yang mereka ngerti. Orang ini kan pernah tinggal di Tarutung sama opungnya di 3 tahun gitu, jadi bisa lah Bahasa Batak tapi sejak dah di Medan gak pernah lagi di pakai jadinya hilang, gak ngerti kali orang itu kalau kakak bahasa Batak di rumah.

8)      Adakah usaha pengajaran bahasa daerah yang orang tua Bapak dan Ibu kuasai kepada Bapak dan Ibu?
Answer: Di ajari khusus gak pernah ya, tapi Bapak sama Mamak selalu Bahasa Batak sama kami di rumah, misalnya kan nyuruh ngambil apa lah gitu. Kalau kami, yah balas bahasa Batak sekali-sekali atau Bahasa Indonesia. Gak pernah lah di ajar-ajari atau di paksa gitu supaya bisa Bahasa batak mekipun mereka itu jago Bahasa Bataknya.

9)      Adakah usaha pengajaran bahasa daerah yang Bapak dan Ibu kuasai kepada anak-anak Bapak dan Ibu?
Answer: Gak ada. Kakak sendiri karena usia dah 40an, dah ada tekanan lebih untuk bisa berbahasa Batak, malu juga kan nanti di punguan gak bisa bahasa Batak. Usaha lebih sering lah sekarang pakai bahasa Batak lah daripada bahasa Indonesia untuk bisa bicara sesama kita.

10)  Apakah Anda nyaman dan bangga menggunakan bahasa yang Anda gunakan sehari-hari?
Answer: Jelaslah, dek. Di kerjaan kakak pakai bahasa Indonesia, di lingkungan sekalipun mayoritas orang Cina, kakak juga pakai Bahasa Indonesia sama mereka. Kalau gak pakai Bahasa Indonesia gak tau lagi kakak pakai bahasa apa untuk komunikasi. Bahasa Batak, gak semua tahu, Hokkien, kakak aja cuma bisa sedikit-sedikit. Bisalah gak nyambung nanti ngomong malah tersinggung pulak nanti.
From the interview above, the result can be seen from this scheme :
B
(Batak)



 



                                    Language Shift I
A
(Batak&Bahasa Indonesia)
 
 

            Language Loss

 

                                    Language Shift II
C
(Bahasa Indonesia)
 
                                               



Note :
A : Parents
B : Grandparents
C : Children




References

Amrullah. 2005. Language Shift Of Nggeto-Nggete Minority Urban Migrant Dialect In Mataram Lombok, West Nusa Tenggara. Unpublished.

Ary, Donald. 1979. Introduction to Research in Eductaion, Second Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Aslimalang’Blog, 2012. http://as5lang.wordpress.com/news/2500-bahasa-di-dunia-terancam-punah/

Bahasa Lengilu, 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Lengilu

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics, Second Edition. London: Pearson.