Saturday, May 22, 2021

 Sejarah Nama Jalan Sanusi Pane di Kisaran, Kabupaten Asahan

 

Oleh: Saufi Ginting

Pegiat Literasi dari TBM Azka Gemilang, Kisaran, Asahan


 

 

Penulis bersama Tim Balai Bahasa Sumatera Utara di jl. Sanusi Pane

Sejak awal tahun 2020, Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara melakukan giat dalam rangka mengusung dan mengusulkan Sanusi Pane menjadi salah satu Pahlawan Nasional. Sanusi Pane dianggap berjasa karena ikut memperjuangkan lahirnya satu bahasa pemersatu. Meski Indonesia baru merdeka pada 1945, namun gagasan itu sudah diperjuangkan sejak 1926, di Kongres Bahasa yang mendorong lahirnya Sumpah Pemuda 1928, kata Maryanto, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara dalam sebuah seminar nasional dengan tema "Bahasa dan Sepeda Bangsa" di Le Polonia Hotel Medan, pada 20 Februari 2020.

Lebih lanjut, sebagaimana dirujuk pada berita yang diturunkan Republika, Maryanto menjelaskan bahwa Sanusi Pane tidak hanya melahirkan bahasa persatuan Indonesia, Sanusi Pane juga melahirkan lembaga kebahasaan yaitu Institut Bahasa Indonesia sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap perkembangan kebahasaan.

Merujuk pada tinjauan literatur terhadap ketokohan Sanusi Pane, akan ditemukan banyak karya yang telah tercatat sehingga mencuatkan nama Sanusi Pane sebagai tokoh Sastrawan, Wartawan, dan Guru. Karya kesusastraan yang tercatat antara lain Pancaran Cinta (1926),  Prosa Berirama (1926), Puspa Mega (1927), Kumpulan Sajak (1927), Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928), Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929), Madah Kelana (1931), Kertajaya (drama, 1932), Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933), Manusia Baru (drama, 1940) dan Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940).

Perjuangan untuk mengusulkan Sanusi Pane menjadi pahlawan nasional dari Sumatea Utara tentu saja harus melewati jalan panjang dan data serta bukti fisik yang banyak tentang keberadaan Sanusi Pane. Misalnya penggunaan nama Sanusi Pane pada sebuah tempat atau nama jalan.

Berdasarkan data yang diperoleh oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, satu-satunya tempat yang mencatatkan Sanusi Pane menjadi nama jalan di Sumatera Utara hanya ada di Kota Kisaran Timur, Kelurahan Mutiara, Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar kehadiran Tim penghimpun data Sanusi Pane hadir ke Kabupaten Asahan selama 2 hari pada tanggal 1 dan 2 Desember 2020. 

Kemudian diperkuat lagi oleh Lurah Mutiara, Kabupaten Asahan dalam surat resmi dengan nomor 400/021 tanggal 11 Pebruari tahun 2021. Disebutkan ternyata nama jalan Sanusi Pane telah disematkan sejak tahun 1980 di kelurahan Mutiara. Hingga saat ini nama jalan Sanusi Pane tetap digunakan permanen. Dapat juga diakses melalui google map.

 

Sejarah Nama Jalan Sanusi Pane

Kelurahan Mutiara salah satu kelurahan di Kecamatan Kisaran Timur, Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara, terdiri dari 8 Lingkungan. Jalan Sanusi Pane terletak di lingkungan V membentang lurus dengan panjang ± 1409 m. Ujung sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Maria Ulfa Santosa dan ujung Timur berbatasan dengan Jalan Rimbang, Kelurahan Siumbut Baru. Di tengah-tengah membelah jalan ST Alisyahbana, dan Jalan Sultan Iskandar.Berdasarkan penjelasan Kepala Lingkungan V bernama Ardiansyah, ditemukan bahwa Jalan Sanusi Pane mulai ditetapkan pada tahun 1980 sebagai pengganti nama blok 3 A lorong 3. Saat itu Kampung Gotong Royong berubah menjadi Kelurahan Mutiara yang dipimpin oleh Ahmad Pane, sebagai Lurah.

“Di tahun 1970 kelurahan Mutiara masih disebut Kampung Gotong Royong. Dan kampung gotong terdiri dari blok dan lorong, belum ada nama jalan. Seiring berjalan di tahun 1979-sampai 1980, kampung Gotong Royong dirubah menjadi Kelurahan Mutiara, yang masa itu dipimpin oleh seorang lurah yang beranama Ahmad Pane.  Dimasa jabatan pak Ahmad Pane, blok dan lorong-lorong tersebut di rubah menjadi jalan. Salah satunya jalan Sanusi Pane yang terletak di blok 3 A lorong 3. Di lorong 3 tersebut ada sebuah masjid namanya Sumber Tengah. Satu-satunya masjid di Mutiara. Di masjid itulah bertemu dengan BKM Masjid sumber tengah yang bernama bapak Rahman Pane, maka bapak lurah tersebut sama bapak BKM dan masyarakat di sekitar sepakat memberi nama lorong 3 itu menjadi jalan sanusi pane.

Senada dengan penjelasan di atas, menurut H. Syamsuddin, M.Si, Kabid Budaya Dinas Pendidikan Kabupaten Asahan, juga menunjukkan penjelasan yang mendukung hasil dari Kepala Lingkungan V.

“Ada satu orang tua yang bernama H. Subhi. H. Subhi ini adalah dulu bekerja, dan masih hidup, sebagai orang di PU. Nah penyebutan jalan ini betul dikatakan (kepling) sejak ada Kotif dengan walikota pertamanya beranama Mahyudin Almarhum. (masa) Pak Mahyudin Lubis ini, terbentuk kelurahan-kelurahan di Kotif, di Kota administratif Kisaran, perintah kepada PU yang menangani ini pak Subhi untuk pemberian-pemberian nama. Pak Mahyudin inilah menyebutkan nama di Mutiara itu harus bernama pahlawan pendidikan. Mungkin masukan dari cerita dari yang tadi, dari kepala desanya, muncullah nama sastrawan-sastrawan yang dianggap juga orang pendidikan. Haji Subhi masih hidup. Rumahnya di ujung Parasmya, dikenal dengan Haji Subur. (Penulisan nama jalan) di Mutiara dengan nama pahlawan, di umbut-umbut dengan nama sayuran, kemudian di Sungai Renggas dengan nama-nama hewan, jadi itulah sebabnya mengapa muncul nama-nama pahlawan pendidikan di situ. Sanusi Pane, kemudian STA, Amir Hamzah, Maria Ulfa, Williem Iskandar, Setia Budi, Budi utomo”

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat terbentuknya Kota Adminsitratif di Kisaran, ada instruksi dari Pemerintah Kota untuk mengubah nama-nama jalan yang semula hanya blok dan lorong menjadi nama jalan dengan menggunakan sebutan-sebutan tertentu. Salah satunya berada di Blok 3 A lorong 3 dirubah menjadi Jalan Sanusi Pane.

            Kekentalan budaya Melayu yang mengakar di Asahan bila merujuk pada sejarah berdirinya Kabupaten Asahan dalam laman https://asahankab.go.id/ telah lama muncul sejak perjalanan Sultan Aceh Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Malaka pada tahun 1612. Sosok Sultan Iskandar Muda ini merupakan tokoh yang berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu.   Boleh jadi hal ini tanpa disadari menjadi benang merah yang terurai, sebab Sanusi Pane sebagai penggagas Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, menguat pula dalam jiwa masyarakat Asahan, hingga menginspirasi pemerintah untuk menjadikan Sanusi Pane salah satu tokoh yang dicatatkan sebagai nama jalan di Kelurahan Mutiara.

 

Disarikan dari makalah terseleksi penulis (Saufi G) pada  seminar nasional “Mengusung Sanusi Pane Sebagai Pahlawan Nasional” pada 23 Februari 2021 di Medan.

 

 


Wednesday, March 31, 2021

DIPERTEMUKAN DENGAN APA YANG DICARI

Perjalan Kisaran-Langsa, hal yang selalu menjadi perhatian adalah SPBU dan Masjid. Kedua tempat ini sangat penting bagi kami. SPBU sebagai tempat menghentikan ritme perjalanan agar tak terlalu lelah, membuang segala (maaf) kotoran dan boleh juga melaksanakan ibadah. Pun begitu juga dengan Masjid, meski musafir, punya hak untuk menyingkat (jama’) ibadah salat, tetap memilih melaksanakan salat di Masjid sekalian berleha-leha istirahat. Tak pernah berhenti di bawah pohon rambung, atau pohon sawit.

Asyiknya, karena di kepala yang tertanam bila mau istirahat, salat, atau buang air opsinya cuma 2; SPBU dan Masjid. Maka kami hafal letaknya, sepanjang perjalanan dari Kisaran sampai tujuan ke kota Langsa.

“Sebentar lagi ada SPBU itu, di sebelah kanan, egh tapi airnya ga bagus, ke Masjid saja ya, bentar lagi mau Magribkan? Ga jauh itu sebelah kanan dari SPBU itu ada masjid” begitulah. Kami hafal posisinya.

Meski sudah ‘terujung’ untuk buang air, tak pernah berhenti sembarangan di sawitan, atau sekedar menyelesaikannya di dinding rumah orang. Anak-anak diajarkan untuk tak asal, prihal ‘terujung’ ini. Tahan sebentar. Meski ber “aduuuh udah tak tahan Yah”, kata si Za, gadis kecil kami. Sabar. Tak jauh lagi ada SPBU.

Itulah yang selalu kami tanamkan dalam kepala. SPBU dan Masjid. Selalu saja ‘terujung’ itu hadirnya tak jauh SPBU. Pokoknya cari SPBU dan Masjid. Kamipun selalu dipertemukan.

Perkara menemukan apa yang dicari ini, bolehlah dianalogikan dengan menulis. Makanya, sebagai pembuka, pagi tadi saya bertanya, menulis itu untuk apa? Carilah apa yang ingin kita cari. Pasti akan ditemukan untuk apa menulis. Agar tak sesat. Agar bermanfaat. Agar menjadi sejarah kebaikan.

Hal ini mengingatkan saya kisah Hamka, sastrawan yang ulama itu. Ia berkisah dalam sebuah ceramah, ada orang yang menyampaikan padanya dengan semangat.

“Buya, ternyata di Mekkah itu ada wanita nakal ya, kok bisa? Tanya lelaki itu.

Apa kata Hamka. “Oh ya? Saya barusan dari Los Angeles dan New York, Masya Allah, ternyata disana tidak ada pelacur”.

“Ah mana mungkin Buya, di Makkah saja ada kok. Apalagi di Amerika, pasti banyak lagi,” Lelaki itu penasaran.

“Kita ini memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari. Meskipun kita ke Mekkah, tetapi jika yang diburu oleh hati adalah hal-hal yang buruk, maka setan dari golongan jin dan manusia akan berusaha membantu kita untuk mendapatkannya. Tetapi sebaliknya, sejauh perjalanan ke New York, Los Angeles, bila yang dicari adalah kebajikan dan kebaikan, maka segala kejelekan akan enggan dan bersembunyi” tutup Hamka.

Begitulah. Carilah kebajikan dan kebaikan itu dalam menulis.

Tabik.

Kisaran, 08-03-2021

Saufi. Azka Gemilang