Tuesday, June 30, 2015

KEHANGATAN KELUARGA; MENEGUHKAN KEYAKINAN, MEMBANGUN MASA DEPAN

KEHANGATAN KELUARGA; MENEGUHKAN KEYAKINAN, MEMBANGUN MASA DEPAN  
Oleh: Muhammad Saufi Ginting

Apa sih arti sebuah keluarga itu? Apakah dia merupakan jawaban atas sebuah keinginan untuk selalu merasa tenteram, merasa dicintai dan merasa mampu mencintai? Ya, sebuah keluarga memang jawaban atas semua pertanyaan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Keluarga merupakan pusat pendidikan pertama dan utama yang dikenal oleh anak. Keluarga mempunyai peran mensosialisasikan adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Melalui proses internalisasi nilai, anak menjadikan hal tersebut sebagai nilai-nilai moral yang diartikan sebagai seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain.


Aturan atau nilai-nilai atau cara kehidupan yang disosialisaikan oleh setiap keluarga kepada anaknya inilah yang disebut “The Golden rules” oleh Kohlberg. Pada awalnya perkembangan the golden rules diberikan secara imperatif dan normatif, yang artinya pada periode ini balita hingga anak-anak. Anak dikenalkan kepada hal-hal yang berhubungan dengan baik-buruk (normatif) dengan cara yang dipaksakan (imperatif) oleh orang tua atau gurunya dan biasanya dengan manipulasi reward-punishment.

Pada dasarnya Allah telah mengingatkan kepada kita melalui Al-quran surah Annisa (4) ayat 9: ”Dan Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Ayat ini menerangkan kepada kita hendaknya kita mempersiapkan anak kita sedemikian rupa agar anak-anak kita menjadi anak-anak yang kuat baik secara aqidah ahlak maupun secara keilmuan, kesehatan dan materi. 

Faktor kehangatan dalam keluarga menjadi sesuatu yang sangat penting untuk tumbuh kembangnya generasi yang sehat jasmani dan rohani. Keharmonisan hubungan ayah ibu, komunikasi yang sehat orang tua dan anak, perhatian yang tulus dan doa doa indah yang senantiasa kita lantunkan, menjadi PR untuk seluruh keluarga, untuk menghadirkan generasi mendatang yang berkualitas.

Prof. Dr. H. Muhammad Djawad Dahlan, guru besar Pasca Sarjana IKIP Bandung (sekarang UPI) dalam sebuah diskusi yang transkripnya disertakan dalam buku “Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern” (1994) mencoba menganalisis hilangnya kehangatan keluarga dengan mencoba mengingat masa lalunya. “Saya ingat masa kecil saya, dan setelah saya tampilkan kembali tampaknya banyak yang hilang dari kehidupan keluarga kita. Kalau dulu kita selalu melihat ayah tidak pernah beranjak dari sajadah sebelum Isa, ayah dan ibu terlihat masih memegang tasbih sampai azan Isa lalu sholat berjamaah, ini salah satu yang hilang saat ini. Bisa dan tidak bisa itu soal lain, tetapi saya melihat banyak hal yang telah hilang. Sekarang kalau kita berkeliling di kota, sulit rasanya mendengar suara mengaji anak-anak ba’da Magrib menjelang Isa.”

“Sekarang yang terdengar suara TV,” tandasnya.“Atau radio di kamar masing-masing. Sekarang ini kita sulit mencari anak-anak perempuan yang senang di dapur bersama ibunya, membantunya memasakkan untuk ayah, untuk anggota keluarga seluruhnya, jarang! Apalagi pada bulan Ramadhan, ibunya sibuk sendiri. Anak perempuannya kalau sudah selesai baru dibangunkan. Dulu, sejak ibu bangun, anak perempuannya sudah diajak ke dapur. Kondisi seperti ini sudah hilang dari kehidupan kita, padahal dulu ayah selalu menjadi komandan. Mari bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan oleh Allah kepada keluarga kita, lalu Bismillah,’ makan bersama. Sekarang semuanya lari, segalanya ingin serba cepat. Kalau dulu si anak diberi nasehat oleh ayahnya si anak menundukkan kepala, sekarang membelalak. Bahkan sekarang terbalik, yang selalu memberi nasehat itu si anak kepada ayahnya.”

Kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserap seorang anak dalam pertumbuhannya. Apabila nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadiannya, tingkah lakunya akan diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama itu. Disinilah keharusan orangtua menghidupkan kehangatan keluarga, agar anak-anaknya kerasan di rumah dan selalu rindu untuk pulang. 

Contoh kecil membangun kehangatan dalam keluarga adalah kebiasaan makan bersama. Saat ini sudah jarang ditemukan sebuah keluarga bisa makan bersama. Alasan sederhana mungkin salah satu penyebabnya yaitu terbatasnya waktu berkumpul. Adapun yang lain, memang tak pernah terbiasa makan berjamaah dengan keluarga baik di meja makan ataupun beralaskan tikar di lantai. Bahkan, kadang kita temui, ketika ada anggota keluarga yang ingin makan, ada yang sambil di depan televisi atau di kamarnya sendiri. Tradisi makan seminimalnya makan malam bersama keluarga rasanya sudah tidak ada lagi. Bahkan, sangat sulit untuk mencari waktu guna menghabiskan waktu dengan seluruh anggota keluarga secara bersama-sama.

Padahal, makan bersama sebagai sebuah keluarga adalah hal terbaik bagi pertumbuhan anak-anak. Bukan hanya sekadar memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan makanan, tapi lebih dari itu. Sebuah penelitian yang dimuat dalam Pediatric and Adolescent Medicine mengungkapkan jika keluarga yang rutin makan bersama lebih dekat satu sama lain dibanding yang makan sendiri-sendiri. Peneliti dari University of Minnesota juga membuktikan jika anak-anak yang berperilaku positif dan aktif kebanyakan terbiasa makan bersama keluarga di rumah.

Asto Hadiyoso, dalam presfektifnya sebagai anak mengungkapkan manfaat makan bersama keluarga dalam tulisannya di blog dengan judul ruang kuliah itu kusebut meja makan.Ia menjelaskan bahwa makan bersama keluarga adalah seperti kuliah di meja makan. Setiap kali kuliah dimulai di meja makan, selalu saja ada inspirasi yang datang. Ada pengalaman hidup yang diajarkan, ada kebijaksanaan dan kearifan yang ditularkan. 

Sekali lagi, kita ingat pesan Allah dalam surah Annisa (4) ayat sembilan di atas, marilah sama-sama memperkuat keluarga agar tidak menjadi generasi yang lemah saat kita tinggalkan. Salah satunya memulai dari hal terkecil yaitu makan bersama. Tinggalkan kebiasaan makan malam di depan laptop, playstation, televisi, atau di depan buku. Mari membangun kehangatan keluarga demi menciptakan masa depan dengan keyakinan bahwa yang terjadi lima sampai sepuluh tahun ke depan adalah proses pendidikan yang terjadi hari ini.

No comments: