Monday, June 22, 2020


JEJAK JUJUR
Oleh: Saufi G bin Yusuf

Pagi ini hari ke dua puluh di bulan ke dua. Telah lewati tiga purnama engkau tak muncul di hadapanku. Bulan demi bulan telah menjadi ingatan mendalam. Bayangkan betapa ketakutan hati ini terus menjadi-jadi tak karuan.
Tak ada kabar yang pasti setelah engkau pergi. Kapan kau akan kembali hanya itu yang tercatat pada selembar daun yang jatuh pada sore sebelum matahari terbenam di sebelah rumahmu. Daun itu telah menguning, tak terpikir olehku waktu itu untuk mengawetkannya. Setidaknya ia menjadi saksi sejarah, kau pernah pergi, berjanji kembali.
Semalam, ketika aku mulai melupakan kisah yang pernah kita lakukan dalam perjalanan panjang penantian, aku tak bisa berhenti. Langkahku tak pernah tertahan. Tetap saja kau muncul entah dari mana.
Aku benci sesungguhnya mengenangmu. Menunggumu juga menjadi benci yang kedua, apalagi berharap lebih dari apa yang pernah kau janjikan dahulu, semakin mendalam rasa benci ini.
Benarkah kau akan kembali? Hingga hari ini kabarpun tak kau beri.
Rasanya sudah terlalu lama kau pergi. Meski menurut perhitungan kalender yang tergantung di dinding rumah dekat lemari buku berlalu sudah tiga bulan. Beginilah bila rindu itu telah menjadi-jadi. Tak ada waktu berbenah diri, hanya merenungi. Bukan merenungi untuk berbenah diri. Tapi merenung dan terus merenung kepergianmu. Duhai.
“Aku pergi. pasti akan kembali. Lihatlah daun yang gugur itu, ia menjadi saksi kita. Kelak aku kembali pada bulan ketiga tepat ditanggal yang sama sejak kepergianku” tanpa berurai air mata, dengan nada yang biasa, seolah tanpa cinta, kau berbicara lancar adanya.
Sementara aku tersedu, tertunduk, tak sanggup menatap wajahmu. Meskipun tanganmu terus menggenggam dan meremas tanganku. Kaku, tak sanggup mengatakan apapun.
Aku melepas kepergianmu, bersama doa beribu. Doa yang tertancap dalam hati, kuhamburkan saban hari hingga berganti hari lagi. Doa yang terus kulafalkan saban malam hingga matahari kembali ke peraduan. Tapi hingga bulan ini, secercah harapan akan kabar keberadaanmu tak kudapati.
Duhai, betapa tak sanggup hatiku ini.
Kau tahu ayah tak pernah setuju menjadikan kau sebagai separuh hatiku. Tapi ibu selalu meyakinkan.
“Bila cintamu tulus dari hati terdalam, yakinlah kelak siapapun itu, ia yang akan membawakan sekuntum bahagia, ia rawat bersama kesahajaan. Tak hanya dititipkan saja padamu bahagia itu, ia akan merawatnya bersamamu” Ibu tersenyum meluruhkan hati ini.
Ketika kepergianmu, lihatlah betapa marahnya ayah. Ia diam saja, tak banyak kata, bahkan menegurpun tidak, apalagi menegurmu. Aku tahu sifat ayah, bila marah, selalu begitu. Diam. Aku faham sekali.
Diam ayah semakin panjang, bulan ini telah kali kesekian aku menunggumu, sembari menatap daun-daun pada pohon kersen yang telah menguning, berguguran. Itulah penyebabnya, tak ada kabarmu.
Pantaskah aku menjadi pendampingmu, duhai? Aku terus berkeluh, tak pasti aku apakah kau sudah makan? Apakah kumismu masih selalu kau buat rapih dan tipis sebagaimana ketika kita bersama? Bagaimana dengan janggutmu? Atau kau tak sempat mengurus semua itu?
Dimanakah kau, duhai? Aku rindu. Sepotong doa saja rasanya tersendat kulantunkan, berdentum jantung ini bila melihat seolah bayangmu yang memeluk tadi malam. Tapi itu hanya mimpi.
Ayah tak pernah setuju. Tak setuju saat kunyatakan kau akan datang meminang, tapi ibu dengan kelembutan hatinya ia berhasil meyakinkan ayah. Kau datang, pernikahan kita ditentukan segera.
Tugas Negara memanggilmu, wahai duhai. Konflik di ujung pulau salah satu Negara kita menjadi tujuan penugasanmu. Tiga bulan kau berperang di sana. Aku khawatir, tak pernah dapat kabar darimu. Itulah mengapa ayah tak setuju. Tugas Negara tak akan pernah bisa dihindari. Bisa saja kau gugur kapan saja.
Tapi ibu selalu meyakinkan ayah.
Kematian bisa datang kapan saja, tak mengenal waktu dan tempat. Meskipun ia  sampai ke ujung dunia, kelak takdirnya kembali kepangkuan pertiwi, kembali juga ia. Meskipun di rumah atau bersembunyi kemanapun, tak akan sanggup ia melawan takdir Allah. Bila nyawa sudah ditakdirkan ditarik, tak siapapun dapat berlari” ibu meyakinkan ayah, tak ada kematian yang tak diatur waktunya oleh sang pemilik. Ayah luluh. Mengiyakan pernikahan kita.
Tepat seminggu pernikahan kita, kau pamit, bersama doaku, doa ibu, dan ayah yang berkomat-kamit dalam hati. Aku yakin, ia pasti mendoakan kau, anak menantunya. Tak kan ia berharap aku menjadi janda sebelum ia menutup mata. Setidaknya doalah yang bisa dibantu, katanya pada ibu.
Hari ini, tepat tiga bulan kepergianmu. Aku menunggu, bersama dzikir pagi menunggu dadamu untuk kurebahkan kepala yang terus berdenyut-denyut dari malam tadi. Sejak mendapat kabar dari pak Agus kau dan tim akan segera kembali. Aku berharap kau salah satunya.
Sayangnya pak Agus juga tak bisa memastikan siapa saja yang dapat pulang dengan selamat. Sebagian besar telah gugur di medan perang. Melawan para pengacau keamanan Negara.
Suamiku mati. Ia tak kembali.
Ia, suamiku mati. Ia tak kembali. Seluruh daun kersen telah berguguran dari batangnya. Seluruh ketakutanku menyatu bersama kekhawatiran ayahku. Tak ada pula mereka membawa mayatmu. Tak ditemukan mereka mayatmu.
Aku menjerit, sejadi-jadinya.
*
Hari ini tepat 19 tahun yang lalu, aku hanya bisa menjiarahi makammu lewat hamburan doa. Bersama Jujur, anak kita, setelah tahajjud sendu. Ia namanya Jujur, Jujur Purnomo. Aku tak menyangka kepergianmu justru membawa kehidupan baru. Dia anakmu. Jujur. Wajahnya persis sepertimu. Prilakunya sepertimu.
Ia baru tamat dari SMA, beberapa kali mewakili sekolahnya menjadi atlit karate berprestasi. Pernah menjadi salah seorang yang ikut mengibarkan bendera pada hari kemerdekaan di istana Negara. Cita-citanya satu. Ingin sepertimu. Membela Negara ini. Aku senyum, getir. Tapi tak melumpuhkan aku dalam membesarkannya.
Lihatlah, sejak kelas empat sekolah dasar, aku sudah melihat bakat kemandiriannya. Ia bisa membawa kembali uang jajannya tetap utuh, bahkan bertambah. Aku khawatir ia mencuri, atau melakukan kecurangan. Tidak. Ia berjualan. Membantu nenek-nenek kantin tukang lontong yang ada di sekolah. Nenek itu berjualan sendiri. Tapi selalu ramai teman-teman dari kelas satu sampai enam belanja di tempatnya. Meskipun ada kantin-kantin lain di sebelahnya.
Nenek itu kewalahan katanya. Ia menawarkan diri. Boleh dibantu nek, itu ceritanya padaku. Kau tahu, aku baru saja baru mengetahuinya saat akan mencuci baju sekolahnya. Kutemukan di kantongnya sejumlah uang yang berjumlah sepuluh kali lipat dari jumlah uang jajannya. Ia baru saja menerima uang arisan kelas. Ia selalu menabung di kelas. Dari nenek kantin ia mendapat uang jajan tambahan beserta sepiring lontong saban harinya. Ia mandiri. Sepertimu, ketika tak ada yang setuju kau akan jadi tentara, kau tetap ngotot. Kau hanya minta doa saja dari ayah ibumu. Dan kau membuktikan itu.
Begitu pun anakmu, Jujur. Sejak kelas 4 sudah mandiri, uang jajan yang kadang kuberi, dan lebih banyak tidak. Tak pernah ia berkomentar. Tak pernah dia menuntut apapun. Tak pernah ia meminta dibelikan sepatu baru. Meskipun tapak kaki sepatu telah terbelah. Meskipun kaus kaki selalu diikat karet agar tak melar saat dipakai. Tak pernah. Ia anakmu. Sepertimu. Itu yang dulu membuat aku jatuh cinta padamu.
Hari ini ia akan melamar menjadi tentara sepertimu. Ada pembukaan pendaftaran. Fisiknya yang cukup, kecerdasanya yang sungguh baik, mungkin bisa menjadi modalnya. Aku yakin, ia pasti bisa. Seperti dirimu. Meskipun hati ini risau. Risau ia mengikuti jejakmu, risau mendengar kata tetangga. Bila aku tak punya uang yang banyak, tak punya tanah yang bisa dijual, Jujur tak akan lulus menjadi tentara.
Tidak, aku menampar risau itu. Meskipun telah 19 tahun berlalu, jiwaku ada padanya, semangatmu juga ada padanya. Aku selalu ingat pesanmu, hidup yang baik itu harus selalu jujur, meskipun kita tak mampu. Jangan memaksakan diri. Ketika kau bercerita tentang masa-masa sedang ikut proses seleksi menjadi tentara, kau bilang tak pernah ada kekuatan yang dapat membantu selain kekuatan Allah. Yakinlah, hanya bersama Allah kita pasti bisa, katamu.
Kau membuktikannya. Dengan kemampuanmu tak sepeserpun dana yang kau keluarkan agar kau lulus menjadi tamtama. Semua kau lakukan dengan kemampuanmu, dengan kelebihan yang diberikan Allah padamu. Hari ini aku terus meyakinkan Jujur.
“Jangan dengar apapun kata orang, bila tekadmu sudah kuat, kudoakan engkau mendapatkan yang terbaik” Jujur hanya tersenyum. Manis. Seperti senyummu. Selalu meluluhkan dan merampas air mataku bila melihat senyum anakmu. Persi sepertimu.
Kau tahu, Jujur sudah sangat mandiri sekarang. Ia hanya meminta restu dariku. Aku tak perlu khawatir katanya.
“Bila Jujur lulus itu takdir dari Allah, bila tidak itu juga takdir, mungkin Allah mau memberikan jalan lain yang terbaik untuk kita, Mamak doakan saja Jujur” Itu katanya sembari menyium pipiku. Aku terenyuh.
Betapa setiap tetesan keringat ini selalu kujadikan doa, untuk perjalanan panjang kehidupan aku dan anakmu. Tak mau pasrah dengan keadaan. Tak boleh mundur dari dunia hanya masalah tak makan. Atau tak ada tempat berteduh. Aku selalu menghamburkan doa untuk menjadi Ibu dan istri yang dapat mengumpulkan kita di syurga kelak.
Aku rindu engkau, biarlah doaku khusus untukmu agar kita berkumpul di sana kelak. Akan kuceritakan banyak hal tentang anak kita. Akan kubawa ia, dan memperkenalkannya pada ayahnya yang tak pernah ia temukan sejak kelahiran di dunia.
Aku terhenyak.
Anakmu tak lulus pada seleksi tahap kedua. Ia kembali ke rumah yang sudah reot ini. Kusambut hangat dan kupeluk. Ia tetap tersenyum, menganggap semuanya tanpa beban. Aku hanya bisa mengelus punggungnya.
Kepulangannya dari mengikuti seleksi tentara menjadi bahan gunjingan para wanita tua tetangga kita. Mereka tak menggunjing anak kita, tapi menggunjing anak orang yang telah lulus menjadi tentara.
“Sudah kubilang, jangan kau paksakan diri mendaftarkan dia menjadi tentara. Tak ada uang, tak akan lulus anakmu itu” wanita tua berwajah mulus berpipi tembem mencolek aku saat akan bersiap menjual pisang coklat yang akan kubawa ke pasar.
“Jangan memaksakan diri, syukuri saja apa yang ada, hanya orang-orang yang berada saja yang bisa menjadi tentara itu, anak bu Har saja menjadi tentara telah banyak menguras hartanya. Anaknya lulus, tapi ladangnya yang di kampung harus dijual habis” Wanita tua kedua yang tak bersuami berdiri di depan gubukku saat aku sedang menjemur pakaian. Aku hanya tersenyum. Tak berguna memperdebatkan apapun pada mereka. Hanya membuat rasa jiwaku merana. Aku tak perlu peduli dengan apa yang mereka cakapkan, dan tak perlu tahu benar atau tidaknya.
Anakmu malah lebih kuat dariku. Meski setiap pagi ia selalu mendengar gunjingan itu, sepanjang satu bulan setelah proses seleksi mengikuti untuk menjadi tentara, ia tetap tersenyum. Ia tetap permisi, lagi ada kerjaan kecil yang bisa menghasilkan uang katanya.
Aku tak bertanya, aku khawatir ia tersinggung bila kutanya apa yang dia kerjakan, dimana, bersama siapa. Karena aku yakin dia sudah sangat mandiri dan dewasa. Meskipun baru Sembilan belas tahun usianya, baru tamat SMA.
Aku hanya tahu ia pulang dengan selamat, membawakan aku buah tangan berupa bahan-bahan yang dapat kuolah di dapur kita. Tak banyak, tapi itu sangat lebih dari cukup bila dibandingkan penghasilan dari perjuangan keseharianku menjual pisang coklat yang kuambil dari ibu Ila, pengusaha pisang coklat itu.
Aku yakin, kejujuran yang dulu kau ajarkan padaku, saban hari kutunjukkan padanya. Aku yakin, ia tak akan berbohong, sekalipun.

Rumah Azka, Siumbut-Umbut. Maret-April 2020

 Saufi Ginting bin Muhammad Yusuf Ginting. Lahir dan besar di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumut. Pegiat literasi. Pendiri Taman Baca Masyarakat Azka Gemilang, Komunitas Penulis Muda Asahan, dan penerbit buku Ber-ISBN. Peraih Anugerah Pegiat Literasi 2018 dari Balai Bahasa Sumut Upt Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Terbit di Asahan Pos, 8 Juni 2020






No comments: