UNTUK SENYUM ANAKKU
Oleh:
Halimah Saufi
“Bagaimana Dek? Sudah turun
panasnya?” Tanya suamiku di sore yang terasa lebih panas dari biasanya ini
sambil menghirup kopi yang kusuguhkan untuk menyambutnya pulang kerja.
“Belum Bang.” Jawabku sambil duduk disampingnya.
“Adek masih punya uang berapa?”
Tanya suamiku lagi.
“Maaf Bang. Tinggal dua puluh ribu
lagi. Tadi pagi Alul minta untuk membeli buku tulis empat buah dan sebuah buku
gambar. Katanya sudah habis. Jadi uang sisa yang ada, adek belikan untuk keperluannya
sekolah.” Jawabku lagi seraya menjelaskan. Aku tidak ingin dikatakan boros dan
menggunakan uang belanja untuk hal-hal yang tidak seharusnya. Kulihat suamiku
hanya mengguk-anggukkan kepala sambil menyeruput kopi yang kusuguhkan
kepadanya. Kami sama-sama terdiam.
Sudah
dua hari anakku yang ke dua, kahfi, yang baru berumur Sembilan bulan terserang
demam. Sebagai ibunya tentu aku sangat khawatir. Untuk membawanya berobat
kedokter spesialis, jujur saja, aku tidak berani. Aku hanya membawanya berobat ke
bidan desa. Bukan aku tidak mau ataupun takut. Tetapi dengan gaji suamiku yang
cuma seorang guru honor di sekolah swasta itu tidak mungkin. Walaupun ia
mengajar dari pagi hingga sore hari dengan jam penuh dari Senin hingga sabtu.
Gaji yang diterimanya setiap bulan sungguh sangat tidak mencukupi untuk semua
kebutuhan kami. Uang yang diberikannya setiap habis gajian langsung aku
pos-poskan kesemua amplop kebutuhan kami. Seperti membayar rekening listrik,
rekening air, sewa rumah, dan belanja kebutuhan sehari-hari. Itupun sudah
sangat ku hemat. Belum lagi cicilan sepeda motor kami. Sehingga bila ada
hal-hal tak terduga seperti ini, aku sangat ngos-ngosan
sekali memikirkannya.
###
Malam telah larut. Kulirik jam beker
yang sudah tidak bisa berbunyi lagi, kado pernikahan kami sembilan tahun yang
lalu sudah pukul setengah tiga pagi. Tapi mataku masih tidak dapat terpejam.
Aku meraba kening Kahfi dan sekujur tubuhnya. Panasnya masih belum turun. Dan
sekali-kali ia terdengar merintih kesakitan. Aku hanya bisa mengompresnya
dengan air hangat sambil bermunajat terus pada Allah untuk kesembuhan anak
kami.
“Masih panas juga Dek?” Tanya
suamiku tiba-tiba sambil memegang kepala Kahfi. Mungkin ia terbangun mendengar
rengekan Kahfi.
“Iya Bang.” Jawabku singkat. Karena
tanpa kujawab pun ia pasti tahu dari memegang kepala Kahfi.
“Besok pagi, sebelum abang berangkat
mengajar, kita bawa Kahfi ke dokter Spesialis ya.” Katanya sambil menatapku.
“Biayanya?” Tanyaku bingung. Lalu
kami sama-sama terdiam.
“Tabungan Abang masih ada.” Kata
suamiku kemudian. Memecahkan kesunyian diantara kami.
“Tabungan yang mana?” Tanyaku penuh
selidik. Karena aku begitu sangat tahu sekali dengan pemasukan suamiku. Dia
tidak mungkin punya uang. Apalagi tabungan. Itu sangat tidak mungkin.
“Sudahlah, jangan difikirkan
sekarang. Besok pagi kita bawa Kahfi ke dokter.” Kata suamiku yang mungkin
mengetahui isi hati dan fikiranku.
“Tidurlah.” Katanya kemudian.
“Adek belum ngantuk Bang”. Kataku
yang tidak mungkin bisa tidur melihat keadaan Kahfi seperti ini.
“Kahfi biar Abang yang jaga. Sudah
tiga malam Adek kurang tidur. Nanti malah ikut tumbang. Siapa yang akan menjaga
kami?” Katanya lagi sambil membelai kepalaku dengan hangat.
“Tapi jangan lupa Shalat Lail dulu
ya.” Katanya dan kusambut dengan anggukan. Karena walaupun kehidupan ekonomi
kami pas-pasan, kami tidak ingin rohani kami juga hidup pas-pasan. Allah lah
tempat kembalinya sesuatu itu. Tempat kami bisa berbicara dan mengadu dengan
beban dan gejolak hati.
###
Pagi ini setelah shalat subuh, aku
cepat-cepat bergegas membersihkan rumah dan membuat sarapan untuk suamiku dan
Alul yang akan berangkat sekolah. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Karena
kulihat Kahfi tidur dengan pulas. Panasnya sudah turun. Ia juga tidak
merengek-rengek lagi. Aku benar-benar bahagia.
“Bang, terimakasih ya.” Kataku pada
suamiku yang telah siap-siap berangkat mengajar.
“Untuk apa?” Tanyanya sambil
mengernyitkan dahi tidak mengerti.
“Sudah memberikan anak kita tabungan
Abang untuk berobat.” Jawabku menjelaskan. Kemudian aku melanjutkan “Kalau Adek
boleh tahu, uang untuk berobat Kahfi semalam dari tabungan abang yang mana?”
tanyaku ingin tahu sambil memegang jari-jarinya dengan lembut. Bukan aku tidak
percaya, tapi uang berobat Kahfi ke dokter spesialis kemarin sangat besar, tiga
ratus lima puluh ribu. Rasanya aku tidak pernah mengetahui suamiku menyimpan
uang. Semua gajinya telah diserahkannya padaku. Jadi aku sebagai istri rasanya
ingin tahu uang itu darimana. Aku tidak ingin suamiku terlibat dengan rentenir.
Mengerti dengan kegalauan hatiku.
Suamiku gentian meremas jari-jari tanganku dengan lembut. “Adek jangan
khawatir. Uang yang kita gunakan untuk berobat Kahfi adalah uang halal.”
“Tapi dari mana bang?” tanyaku lagi
masih dengan nada penuh ingin tahu.
“Kan sudah Abang bilang dari
tabungan Abang, sayang.” Jawabnya dengan nada tenang.
“Tabungan yang mana Bang?” Tanyaku
lagi karena tidak puas dengan jawabannya.
Sambil menarik nafas dalam dan
semakin erat menggenggam jari-jari tanganku iapun akhirnya menjelaskan tentang
uang tabungannya itu yang sebenarnya adalah uang dari menggadaikan surat-surat
sepeda motor kami kepada teman dekatnya. Ternyata sudah dua bulan yang lalu
sepeda motor itu cicilannya lunas. Ia tidak tega melihat aku setiap hari
meneteskan air mata untuk menangisi keadaan Kahfi. Jadi sehabis shalat magrib
kemarin, ia langsung ke rumah teman dekatnya yang memiliki toko buku untuk
menggadaikan surat-surat itu tanpa bertanya dulu kepadaku. Karena bila
ditanyakan aku pasti tidak akan mengijinkan.
Penjelasannya
yang panjang lebar membuatku menitikkan air mata. Bukan karena sedih, tapi
bahagia sekali karena telah diberikan seorang suami yang begitu menyayangi
kami. Apa yang dilakukannya sangat berharga. Semua itu demi senyum anakku.
Senyum anak kami. Pemberian Allah yang sangat berharga sekali. Terimakasih ya
Allah untuk karuniamu ini.
Kisaran,
4 Januari 2012
Halimah
Saufi, mantan jurnalis harian Serambi Indonesia, Aceh, dan alumni PW. IPM
Sumut. Saat ini aktif sebagai anggota Leutika
Reading Society (LRS) Chapter
Asahan.
No comments:
Post a Comment