LAYANG- LAYANGKU TERBANG TINGGI
Cerita Pendek oleh: Halimah
(CERPEN ISTRIKU DI MAJALAH MAWADDAH (media dakwah pemuda Muhammadiyah Asahan) EDISI I APRIL 2012)
s
|
ayup-sayup
suara bacaan Al-Qur’an terdengar. Ku gerakkan tubuh ini yang sedikit terasa
kaku karena posisi tidur yang mungkin salah, meringkuk seperti ulat bulu untuk
menahan udara dingin yang masuk melewati
celah-celah jendela kamarku yang terbuat dari kayu dan modelnya seperti daun
jendela tempo dulu, bersisir dan berjarak dengan ukuran satu kali dua. Hampir
sebesar daun pintu. Tapi itulah yang begitu ku inginkan selama ini. Agar udara
bebas keluar masuk di kamar ini. Bukankah udara segar membuat hati juga segar?
Ku gerakkan tangan kananku meraba bantal di sebelahku.
Tidak ada, suamiku tidak ada. Mungkin ia sudah bangun terlebih dahulu untuk
melaksanakan shalat sepertiga malam, dan duduk bertafakur atau membaca
al-Qur’an menuggu waktu subuh.
Aku bergegas bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi dan
berwudhu. Kemudian berjalan menuruni tangga menuju ruang shalat dan kamar
anak-anak untuk mengajak mereka berjamaah, karena kamar kami berada di lantai
dua. Untuk menghemat lahan. Resiko memiliki tempat tinggal berada di pusat
kota. Gantinya, lahan tersebut kami gunakan sebagai taman bermain anak-anak.
Eh, ternyata suamiku tidak berada di ruang shalat, tetapi
di perpustakaan keluarga yang sekaligus merangkap sebagai ruang kerja dan
belajar untuk anak-anak. Ya, kami sangat tergila-gila dengan buku, sehingga
ruang perpustakaan ini lebih besar dari ruangan yang lain, lima kali enam,
dengan lemari-lemari besar yang penuh buku. Mulai dari kami kuliah dulu hingga
sekarang. Tidak terasa sudah lima belas tahun ruang perpustakaan ini berdiri.
Aku melongokan kepala ke dalam karena pintunya yang terbuat
dari kaca tidak tertutup. Lampu neon yang dinyalakan juga sangat terang.
Lokasinya yang berada di bawah tangga kamar kami, membuat ruangan ini lebih
terasa dingin dan hening.
Apa yang dilakukan suamiku di ruangan ini sampai ia
tertidur di atas meja seperti itu? Aku bertanya-tanya dalam hati sambil
berjalan perlahan mendekati mejanya. Aku tidak ingin langkah kakiku
membangunkan tidurnya dengan tiba-tiba, aku ingin membangunkannya dengan satu
kecupan di keningnya, karena hal itu sangat disukainya.
Layar komputer suamiku belum mati rupanya. Saat aku ingin
menutupnya, tiba-tiba layar komputer itu terbuka dan menampilkan halaman
terakhir yang dibuka oleh suamiku. Hei, apa itu? Jantungku tiba-tiba berdetak
tidak karuan. Subhanallah, halaman terakhir yang dibuka oleh suamiku adalah
akun facebook miliknya. Dan di layar itu terlihat ada sebuah surat dan foto
seorang perempuan berjilbab besar dengan senyum manis.
Aku segera menghapus rasa resahku dan segera membesarkan
layar monitor untuk membaca isi surat tersebut. Tertera disitu bahwa
pengirimnya menuliskan dan mengirimkan surat itu jam sebelas malam. Saat aku
bergerak tidur tadi malam setelah membaca kisah-kisah Nabi pilihan. Ya..aku
ingat, suamiku memintaku tidur dahulu karena masih ada hal yang ingin
dikerjakan katanya. Ia tidak ingin kutemani karena ia takut aku akan lelah
sekali pagi ini untuk menyiapkan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke
sekolah.
Dengan
berlahan-lahan aku membaca surat yang sudah terlihat jelas dilayar monitor.
Assalamu’alaikum…
Ustadz yang dirahmati allah, saya
ingin menyampaikan sesuatu. Mungkin bagi ustadz ini terdengar sangat aneh dan
lucu. Karena wanita seperti saya yang memakai jilbab besar, ikut pengajian dan
berasal dari keluarga baik-baik bersikap seperti ini. Tapi sungguh saya tidak
tahu lagi harus berkata dan bercerita kepada siapa lagi tentang isi hati saya
ini. Saya harap ustadz mau memberikan jawaban yang bisa memuaskan hati saya,
dan membuat saya tetap taat pada Allah. Karena jujur saja, masalah ini membuat
saya berfikiran kalau Allah itu tidak adil pada saya.
Dadaku semakin berdegup kencang membaca bait pertama surat
perempuan yang sepertinya sangat ku kenal ini. Dengan rasa penasaran yang luar
biasa, aku melanjutkan membaca surat di layar komputer suamiku ini. Namun tetap
berlahan-lahan karena takut membangunkan suamiku yang masih terlihat sangat
lelap.
Kenapa ya,,,selama masa kehamilan
ini saya belum pernah merasa menikmatinya. Setelah terbebas dari ngidampun
begitu. Banyak orang bertanya-tanya, di usia kehamilan 4 bulan, kaki dan tangan
sudah pada bengkak, badan pegal linu. Nyeri dan berat rasanya. Saya masih
berusaha melakukan aktivitas seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah dan
bekerja di luar. Karena saya berusaha melayani semua kebutuhan suami saya. Tapi
apa yang saya dapatkan? Jangankan perhatian hanya untuk menenangkan, sapaan
atau bicara pun tidak ada.
Haaaa..mil?
Siapa? Aku jadi semakin penasaran dan melanjutkan kebait berikutnya.
Disaat saya curhat tentang apa yang
saya rasakan. Tidak ada respon, basa basi, apalagi sentuhan (jauh sekali kalau
saya berharap ini). Padahal saya hanya ingin terbuka saja tentang rasa sakit
saya, kaki saya yang bengkak terasa berat saat berjalan. Saya hanya
mengharapkan pengertiannya. Karena yang saya tahu saat hamil diperlakukan
sedikit berbeda dengan yang biasanya., dan saya berharap sedikit pengertian
saja. Ingin sedikit dimanja, tapi malah suami saya yang selalu minta dimanja.
Kalau ada timbal baliknya ya ga papa. Tapi ini tidak.
Jawabannya Cuma bilang “Biasa itu,
memang seperti itulah kalo hamil”. Tanpa ada pembicaraan lebih atau sentuhan.
Malah semakin minta ini dan itu. Sepertinya curhat saya barusan tidak ada arti
apa-apa. Oleh karena itu, tidak pantaskkah saya merasa sedih, kecewa, dan terluka
atas semua ini? Tidak ada empati sama sekali darinya. Padahal saya sangat
dengan senang hati melakukan semua tugas saya jika suami saya perhatian.
Walaupun Cuma basa basi.
Tapi jangankan diskusi tentang apa
yang saya rasakan. Mengoleskan minyak di kaki saya saja tidak mau. Pada
akhirnya saya berontak.saya ingin keluar dari semua ini. Bahkan sampai saat ini
masih terbersit di hati saya menyesal telah menikah dengannya dan menjadi
isterinya. (karena saya tidak bahagia). Salahkah saya?
Saya malah dibilang istri durhaka,
manja, dan terlalu berlebihan. Hati saya hancur. Apa benar saya terlalu
berlebihan? Padahal hanya sedikit yang saya ungkapkan, masih ada rasa sakit
yang saya sembunyikan. Karena saya berusaha ingin bersabar.
Bayi kami memang sehat-sehat saja.
Tapi bagaimana dengan saya? Apa tidak perlu diperhatikan? Kehamilan ini
menguras tubuh saya, itu yang saya rasakan, saya heran, padahal teman dekat
dengan ustadz. Bahkan belakangan ikut pengajian dengan ustadz, tapi kenapa
seperti itu?
Eeegh..sejak kapan suamiku buka biro jasa pencurhatan ya?
Aku bengong kembali membaca surat yang ditulis perempuan tersebut. Tapi mungkin
tulisan itu dikirimkannya pada suamiku karena ia dan suaminya kenal baik dengan
suamiku. Dengan cepat aku membuka kembali halaman akun facebook suamiku untuk
meneliti wajah perempuan malang ini. Pasti aku kenal. Benar saja. Ketika foto
profilnya kubuka lebar, aku mengenal perempuan berjilbab besar yang tersenyum
manis ini. Ia adalah istri teman dekat suamiku.
“Oalah, ada-ada aja.” Aku berguman tanpa sadar. Sehingga
kepalaku yang sejajar dengan telinga suamiku yang sedang tertidur pulas
tiba-tiba terbangun dengan terkejut.
“Ada apa dek?” katanya dengan mata merah yang masih
tersipit-sipit dan dada yang turun naik menahan rasa terkejutnya melihat
keberadaanku di sampingnya dan mendengar suaraku yang tak sengaja besar.
“Ngak papa. Tadi
baca surat di layar Buya. Kasian kali sama perempuan itu. Ternyata Nda kenal
sama yang ngirim. Jadi ya keceplosan
aja. Maaf ya uda buat terkejut banguninnya?” kataku sambil mengecup kening
suamiku tercinta yang masih terduduk di depan layar komputernya.
“Oooo..iya. Ini surat
dari Yoli, istri Sukendar teman Buya waktu SMA dulu. Yaa Nda pasti
kenallah.” Jelas suamiku. Yang kusambut dengan senyum dan anggukan kepala tanda
mengiyakan kata-katanya.
“Dia sekarang sedang hamil muda, tapi Sukendar cuek-cuek
aja. Padahal dia ingin diperhatikan.”
“Trus Buya bilang
apa sama dia?” tanyaku langsung ingin tahu.
“Itulah yang Buya fikirkan dari tadi malam. Apa yang harus
Buya katakan. Tapi sekarang baru dapat jawabannya.” Katanya sambil tersenyum
padaku.
“Apa?” tanyaku penasaran dengan senyum suamiku itu.
“Tugas Nda lah yang menjelaskan kepada Yoli. Sebagai
perempuan kalian pasti lebih enak ceritanya nanti ya.” Katanya sambil berdiri
dan mengecup keningku.
“Loh...diakan curhatnya sama Buya?” tanyaku bingung karena
tidak tahu harus mengatakan apa dengan istri teman suamiku itu.
“ Ya, jawab aja apa yang Nda rasakan saat hamil. Atau
apapunlah. Istri Buya kan cerdas.” Jawab suamiku sambil mengedipkan mata dan
berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam perpustakaan pribadi kami ini.
Selanjutnya aku yang tertegun dan bingung menyusun
kata-kata apa yang pas dan cocok untuk membalas surat Yoli. Karena seingatku,
dari kehamilan pertama sampai anak ke empat kami, suamiku sangat perhatian. Dia
tidak pernah memintaku melakukan pekerjaan yang berat. Selalu mengelus-elus
perutku. Mengajak janin kami bercerita. Membelikan segala keinginanku saat
hamil, terutama makanan-makanan sehat, ia tidak ingin anaknya kurang gizi
katanya. Dan malahan sangat memanjakan aku. Jadi apa yang harus aku jawab untuk
permasalahan istri temannya ini?
Bukankah setiap rumah tangga pasti punya masalah. Hanya
saja ada yang dengan cepat dan sigap mampu menghadapinya. Namun tak jarang pula
ada yang kebingungan sehingga seantero dunia mengetahui permasalahan keluarga
mereka. Mungkin itu semua memang harus kembali kepada iman dan amal seseorang.
Sekuat apapun badai menerjang, bila pondasi hati kuat bertahan, pasti akan berlalu
tanpa terasa.
Agh…inilah perjalanan hidup. Semua penuh lika-liku. Hidup
berumah tangga seperti menerbangkan layang-layang. Harus bersahabat dengan
angin. Menguasai teknik dengan baik. Jika ingin layang-layang terbang tinggi
dan tidak tersangkut di dahan-dahan pohon, lakukan dengan sepenuh hati.
Konsentrasi tinggi.
Mungkin permasalahan utama Yoli dan Sukendar terletak pada
prinsip dan cara hidup mereka masing-masing di dalam keluarga sebelum menikah.
Mereka bertahan dengan kekuatan sendiri. Padahal seharusnya tidak. Suami istri
bagai satu tubuh, harus berjuang bersama dan saling melengkapi. Memang tidak
mudah, tetapi rasanya tidak salah bila diusahakan dengan sekuat tenaga.
Yap! Mungkin hal itu yang akan aku diskusikan dengan Yoli
bila nanti kami beretemu. Karena kalimat terakhir di dalam suratnya itu
membuatku sangat miris. Ia membawa-bawa suamiku dan pengajiannya pastilah
karena beban hati yang dirasakannya
begitu berat. Paling tidak, aku tidak ingin ia berfikiran buruk tentang
suamiku dan rumah tangga kami.
“Jangan dipikirkan sekarang. Yuk kita shalat. Sudah hampir
habis subuhnya. Anak-anak juga sudah siap tuh.” Kata suamiku yang muncul dari
kamar mandi berjalan menuju ruang shalat untuk berjamaah bersama. Dan ternyata
anak-anak sudah bangun. Mereka sudah siap di shaf masing-masing. Sungguh indah
setiap pagi yang kujalani bersama suami dan empat orang buah hati yang begitu
santun dan taat beribadah. Ya Allah, terimakasih untuk surga dunia-MU ini.
Layang-layangku telah mampu terbang tinggi. >>>
Halimah, S. Th.
I., Saat ini aktif sebagai anggota Leutika
Reading Society (LRS) Chapter
Asahan.
No comments:
Post a Comment