Sunday, March 25, 2012

CERPEN


SUDAH MERDEKA
Oleh: Muhammad Saufi Ginting (di Kisaran-Asahan, Sumatera Utara)

Apa jadinya jika seorang sarjana, tapi tak mampu mendapatkan penghasilan yang cukup? untuk makan saja masih tak cukup, apalagi untuk berbakti kepada orang tua sekedar membelikan sekilo gula untuk membuat teh manis di rumah? Itulah aku kini, sarjana pendidikan yang baru saja di wisuda 2 bulan yang lalu di salah satu universitas milik pemerintah Kabupaten tempat aku tinggal.
            Masih kuingat dengan jelas, tanggal 21 Nopember itu, kedua orang tua ku datang dengan mengendarai sepeda bututnya untuk menghadiri acara wisuda anaknya dengan senyum tak terhitung jumlahnya sepanjang jalan dari rumah menuju kampusku.  Anakku wisuda, Anakku wisuda, teriak mereka sepanjang jalan, kata Umri, teman sekelasku di Universitas yang kebetulan berpapasan dengan kedua orang tuaku sebelum dia sampai ke Universitas ini untuk di wisuda juga.
            Aku hanya tersenyum malu. “Maaf mak” ucapku dalam hati. Aku tak bisa membawa orang tua ku kemari secara bersama-sama, seperti Umri yang menggunakan mobilnya, datang ke acara wisuda bersama seluruh keluarga besarnya.
***
Hanya pada sebuah asa kau mengamuk
Jangan begitu saudara
Ini sudah merdeka!
Sekali lagi, ini sudah merdeka!
Mari redakan gelisah di dada

Sambil iseng, aku berdiri membaca tulisan kecil yang ditempelkan di mading sekolah itu, tulisan yang bagus, menurutku, yah negeri ini memang sudah merdeka, tak perlu gelisah dalam menjalani kehidupan, pikirku.
Bukan waktunya aku kau rembuk
Waktunya mendefinisikan merdeka
Merdeka kita dari penjajah dulu
Pasti.
Merdeka kita sekarang dari malu
mau
Merdeka kita dari mau
cepat
Merdeka kita dari sabar
ngeri
Merdeka kita dari menggeletar
kejam
Merdeka kita semua dari tuhan?
…..
Maka kembali lahir sebuah kemerdekaan…
Diantara belantara kerancuan


Memang benar, dulu identik kata merdeka adalah dari penjajahan, batinku sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui apa yang baru saja kubaca. Tapi sekarang, semua orang sangat gampang menyatakan bahwa  menampilkan kemaluan itu juga bagian dari seni, bagian dari bangsa yang sudah merdeka, dan cepat-cepat ingin mengikuti prilaku yang buruk dari bangsa barat sana. Sementara ketika kita bersabar, untuk menahan diri tidak mengikuti kemerdekaan yang memalukan, semua orang menunjuk bahwa kita ketinggalan zaman, tapi ketika kita sudah tak sabar, maka tindakan anarkis yang malah terjadi untuk menghentikan kemerdekaan yang memalukan itu. Rasa-rasanya memang bangsa kita ini sudah begitu kejam memaknai arti merdeka. Bagaimana pula jika sudah merdeka dari Tuhan? Aku benar-benar sangat mengapresiasi tulisan kecil yang kubaca satu persatu ini. Apakah semua orang ingin merdeka ya? membingungkan. Gumamku.
Mataku terus tertuju pada tulisan di bawahnya.

Apakah ini merdeka saudara???
Bukankah seharusnya merdeka hari ini
Adalah dari papa?
Derita ?
Bencana?
Dan ketidakadilan?

Sebelum aku selesai melanjutkan membaca tulisan kecil itu lebih jauh, tiba-tiba bahuku di pegang seseorang dari belakang. Aku menoleh.
“Apa kabar saudara?” katanya
“Baik.” Jawabku dengan wajah kebingungan.
“Masih kenal dengan saya?” katanya
“emmmmh…” kataku sambil mengerenyitkan dahi.
“Kamu Yusuf kan? Dulu sekolah di SD 11 Kisaran kan?” lanjutnya
“emhh, ia betul, kok kenal saya, kamu siapa? Apa dulu kita satu SD? Kataku mencoba mencari jawaban kebingunganku, begitu dia menyebutkan SD ku yang dulu.
“Ia, ini Aku Panji, Muhammad Panji, dulu kita pernah satu kelas” katanya
“Dulu aku pernah memanah kamu memakai lidi yang diikatkan di karet gelang, dan kena mata kamu, untungnya kata bu Nurita, tidak kena biji mata kamu, padahal waktu itu aku sudah ketakutan tak karuan” dia terus menyerocos panjang lebar, sambil menerbangkan ingatku pada waktu 10 tahun yang lalu.
“ohhhhh…..iaaaaaa” pekikku setengah menjerit. “Kaunya Panji” kataku sambil menjabat dan menggoyangkan tangannya serta tangan kiriku menepuk-nepuk bahunya.
“Seingatku dulu kamu hitam, sekarang kok bisa jadi putih gini, makanya aku pangling, ga ingat, ga tau, kok kamu bisa kenal aku, rupanya kamu, Ji” gantian aku pula yang menyerocos begitu tau kalau itu adalah Panji, kawan ku waktu masih di SD dulu. Kami dulu termasuk kawan akrab, sakingkan akrabnya permainan pun yang aneh-aneh, yang terakhir kali, memang waktu itu di kelas 6, saat tragedi tak mengenakkan yang baru saja diceritakan Panji itu terjadi padaku. Panji hanya tersenyum mendengar kebingunganku, lalu mengajakku ke kantin sekolah, yang tak jauh dari lokasi kami berdiri.
“Kamu ngajar Ji” tanyaku menyelidik
“Ya ialah, masa’ aku di sini jualan”! jawabnya sambil tersenyum, dengan pertanyaanku. Ya, mungkin tadi pertanyaan aneh yang baru saja kutanyakan, padahal aku sedang berada di komplek sekolah bertemu Panji yang berpakaian safari rapi ini.
“Ngajar apa Ji”
“Agama Islam” jawabnya sambil meminum teh manis dingin.
“Wah, pantas saja pesannya teh manis dingin, bukan teh botol” Ledekku sekenanya.
“Dulu tamat dari mana, Ji, Kuliahnya?”
“Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara” katanya
“Ada perlu apa kemari? Kok kayak orang linglung tadi kulihat dari jauh” lanjutnya, memutuskan rasa keingintahuanku terhadapnya yang begitu hebat.
“Emangnya kamu liat dari mana?”
“Tadi, pas kamu masuk lewat gerbang, aku lagi duduk di meja piket, sebelah sana” katanya sambil menunjuk sekenanya saja. “Sepertinya aku kenal sama kamu, jadi begitu kamu mau keluar lagi, ya langsung ku kejar, eh rupanya kamu masih melototi mading.” Aku memang lagi iseng membaca mading yang kebetulan terletak dekat dengan gerbang sekolah tempat aku baru saja memasukkan lamaran pekerjaan, ya aku melamar untuk menjadi guru di sekolah ini.
“Ia, aku tadi masukin lamaran pekerjaan, mau jadi guru. Tapi katanya lagi ga ada lowongan guru yang sesuai dengan jurusan ku. Maklumlah namanya juga masih baru tamat kuliah, Ji, masih cari-cari”. Kataku.
“Emangnya kamu jurusan apa Suf?” tanya Panji.
“Matematika. Eh..kamu kok ga ngajar ni? 
“Ini lagi jam istirahat, liat aja banyak anak-anak yang keliaran di lapangan tu!”
“Tapi ga apa-apa, Insyaallah pasti ada cara lain yang Allah kasih buat kamu dalam mencari rezeki” kata Panji menyejukkan jiwaku.
“Amiin…”ucapku mengamini doa Panji barusan.
****
Hubungan ku dengan Panji, berlanjut melalui HP. Memang HP ini walau masih merek jadul (jaman dulu) nokia 3315 tapi masih dengan setia menemaniku, apalagi memiliki nilai histori yang tinggi, karena merupakan pemberian temanku waktu kuliah dulu. Dan kini, sungguh banyak manfaatnya, walau entah kapan-kapan aku baru bisa mengisi pulsanya.
“Suf, ada lowongan ni jadi Wartawan di Koran Serambi” bunyi SMS yang baru saja kuterima dari Panji. Tak lama, sebelum aku membalas ingin menanyakan lebih lanjut tentang lowongan itu, ia sudah mengirim SMS lagi tentang persyaratannya dan alamat lengkap yang akan di tuju.
“Cobalah, aku yakin kamu bisa” kata Panji dalam SMS selanjutnya.
Tanpa membalas kembali SMSnya aku pun bergegas menghitung sisa-sisa uang ku yang baru saja ku dapatkan dari hasil mengajar les privat anak SD tetanggaku. Akupun pergi ke rental komputer untuk mengetikkan surat lamaran pekerjaan, dan akan segera kukirim melalui kantor pos. Apa salahnya untuk mencoba, walau mesti jauh, pikirku.
***
Begitulah, ketika kau kuatkan hati untuk menang
Maka keyakinan pasti akan datang
Jangan ragu
Allah itu dekat…
Satu layar memang, tak banyak. Tapi sudah cukup meneteskan air mataku begitu aku selesai membaca SMS dari sahabatku yang baru saja masuk ke HP-ku. Ya, aku kini diterima menjadi salah satu wartawan di Serambi Indonesia, Aceh. Walau masih berstatus magang, aku sangat bangga, karena dari seribuan orang yang melamar, aku menjadi salah satu dari sepuluh orang yang diterima menjadi wartawan di Koran itu. Terima Kasih Allah, akhirnya aku bisa membantu orang tuaku. Terimakasih Panji. Aku jadi teringat catatan kecil yang kulanjutkan untuk mencatatkannya di notesku dari mading, sewaktu aku pulang bertemu Panji dan memasukkan lamaran pekerjaanku di sekolah itu. Zaman sudah merdeka, bukan waktunya untuk berkeluh kesah, walau aku berlatar pendidikan, aku mesti memerdekakan diriku sendiri, bahwa hidup mesti berjuang, dimana saja.

Kisaran, 23 Januari 2011.
Terinspirasi dari Halimah; mantan jurnalis Koran Serambi Indonesia, Banda Aceh.

5 comments:

Dr. Zuhdy said...

fighting spirit until end...
hamasah!

Saufi G (LITERASI ASAHAN) said...

heheh, tq bro. udah ngasih komen dan udah berkunjung...

Saufi G (LITERASI ASAHAN) said...

oia, makasih juga udah di pasang link saya ya bang... hehehe

Dr. Zuhdy said...

sama-sama. sekali lagi saya bukan abangmu.

Saufi G (LITERASI ASAHAN) said...

wkwkw,wew... berarti ini adeknya Adhly ya? hahaha...pake sarung wajah pulak profilnya...