Monday, March 26, 2012

OPINI


MEMBELAJARKAN KARAKTER HEBAT PADA ANAK
Oleh: Muhammad Saufi Ginting

Mouly (dalam Trianto, 2010:9) mendefinisikan bahwa belajar pada dasarnya adalah perubahan tingkah laku seseorang berkat adanya pengalaman. Lebih lajut dikatakan bawwa perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu belajar.
Perubahan yag dimaksud dalam belajar di atas perubahan ke arah positif, dalam arti untuk memperbaiki generasi penerus (siswa) memiliki pegetahuan yang bermanfaat dan berdaya guna dikemudian hari kelak, untuk bangsa dan agamanya. Akan tetapi melihat dan membaca media baik televisi dan koran belakangan ini, rasanya bergidik ngeri ketika anak-anak bangsa (pelajar) sudah kehilangan karakter positif untuk mencintai hidupnya dan mendekatkan diri pada Tuhan. Perkelahian yang terus-menerus dilakoni oleh pelajar kita contoh kasus perkelahian siswa SMA Negeri 6 Jakarta dengan wartawan, bisa dilihat beritanya di televisi berulang-ulang. Perilaku geng motor menurut informasi dari media juga dilakukan oleh para pelajar kita di Medan, semakin menjadi-jadi dan belum terkendalikan, menjadi fenomena memiriskan hati bagi siapa saja yang mendengarnya apalagi menjadi korban tindakan anarkis oleh anak-anak kita sendiri.
Jika kita melihat ke belakang, perkembangan dan kebebasan berekspresi menjadi dilema buruk bagi bangsa kita. Pascareformasi 1998, peranan media massa dan elektronik menjadi lebih besar, khususnya televisi. Televisi dapat memberikan informasi dari seluruh dunia kepada orang dimanapun berada. Tetapi sayangnya kebanyakan siaran yang dipertontonkan penyedia layanan dan penyedia hiburan hanya mementingkan kebutuhan pribadi mereka ketimbang memikirkan bagaimana pengaruh buruk televisi terhadap pendidikan masyarakat, khususnya  kejiwaan anak yang merupakan masa depan bangsa. Padahal menurut UU Penyiaran tahun 2002 pasal 36 tentang isi siaran “dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang”.
Tapi tak juga semua bisa kita salahkan kepada televisi. Masyarakat harus turut menjaga dengan terus memberikan pendampingan agar tidak berakibat buruk pada perkembangan psikologis dan masa depan anak kita. Selain itu ada juga lembaga yang berhak menyensor siaran yang berkewajiban terus menjaga kualitas siaran, sebut saja Lembaga Sensor Film, bahkan bisa jadi lebih ke atas adalah Menkominfo.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak hal yang terus berubah dan baru. Mulai dari gaya, budaya, dan bahkan dunia pendidikan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuan sehingga tidak meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita. Selain itu, perlu diingat bahwa kita harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab bisa jadi karakter yang kita berikan selama ini adalah tentang ilmu-ilmu umum, tapi masih belum kita kaitkan untuk mengingat Tuhan. Hal yang dapat diusahakan adalah memberikan tauladan yang baik bagi anak-anak kita, salah satunya dengan iqro’ (banyak membaca).
Membangun Karakter Positif
Terkait dengan membaca, setidaknya ada enam obyek yang bisa kita jadikan bahan bacaan. Keenam obyek tersebut menurut Rahadi dalam tulisannya “Membudayabacakan Masyarakat (2004)” adalah: Buku (tulisan), diri sendiri (individu), orang lain (sosial), lingkungan (alam semesta), koran (informasi) dan Qur’an (agama). Nabi Muhammad SAW sebelumnya adalah orang yang tak pandai membaca, sampai ketika ia diperintahkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril supaya pandai membaca. Sejarah ini terekam dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1-5, merupakan wahyu pertama yang dimulai dengan kata Iqro, “Bacalah!”.
Hal ini mengisyaratkan kepada kita agar mampu menjadi pribadi yang gemar membaca. Membaca dalam konteks yang diajarkan Allah kepada kita tidak hanya kepada kitab, tapi semua yang telah diciptakan oleh Allah SWT baik yang tersurat (tekstual) atau tersirat (kontekstual). Ayat tersebut memberi isyarat yang sangat baik bagi pola pikir manusia, khususnya bagi umat Islam. Dengan penurunan ayat tersebut pada tahap awal, Allah SWT mengingatkan bahwa nilai bacaan berada pada posisi yang utama. Karena itu, sabda Rasulullah SAW  “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” merupakan anjuran yang sangat erat kaitannya dengan wahyu pertama.
Ironisnya, saat ini tidak sedikit orang yang melalaikan makna ayat tersebut. Bahkan tidak jarang orang beranggapan bahwa bacaan, terutama bacaan secara tekstual, tidak berpengaruh besar terhadap posisi kehidupan manusia. Padahal, terlepas dari penggalian terhadap makna wahyu pertama kepada Rasulullah SAW di atas, kegiatan membaca merupakan salah satu ujung tombak bagi perkembangan peradaban umat manusia. Untuk itu membaca adalah tahap awal dalam membangun karakter positif bagi kita dan anak-anak kita.
Selain itu, Muslich  dalam bukunya “Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional” (2011: 56-57) memberikan tips bagaimana menjadi pendidik yang memiliki karakter hebat. Mencintai anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak. Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendorong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cinta adalah dengan senyum, sering tampak bahagia, menyenangkan, dan pandangan hidupnya positif.
Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral, agama, budaya. Cara penyampaiannya pun harus "menyenangkan" dan beradab. Ia pun harus bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk, lebih-lebih angkuh. Anak senantiasa mengamati prilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
Mencintai pekerjaan guru. Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Guru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami kemampuan akademisnya, kepribadiannya, kebiasaannya dan kebiasaan belajarnya.
Luwes dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Guru harus terbuka dengan teknik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
Tidak pernah berhenti belajar. Dalam rangka meningkatkan profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya, dan mengakses informasi aktual tidak boleh ditinggalkan.
Penutup
Kita tidak perlu saling menyalahkan, tapi saatnya untuk memperbaiki segalanya di berbagai bidang, terutama dalam dunia pendidikan. Jangan sampai apa yang terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Medan menjadi virus di kota-kota kecil lainnya yang setiap saat bisa saja berkembang dengan cepat. Cukupkan sampai di situ dan selesaikan. Mulai dari diri kita sendiri, sehingga nilai-nilai positif dan sikap mencintai Tuhan terus tertanam pada generasi penerus.
Dengan demikian rumah (keluarga) dan pendidikan yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan kejiwaan. Begitupun dengan anak-anak kita, ajarkan mereka untuk jujur terhadap diri sendiri dan dengan kemampuan mereka. Ajarkan mereka untuk bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang mereka lakukan.

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Medan prodi Linguistik Terapan Bahasa Inggris tinggal di Kisaran.



No comments: