Tuesday, March 6, 2012

Cerpen


LAPTOP

Oleh: Muhammad Saufi Ginting

Aku berhenti di sudut rumah besar, yang sudah mulai memudar cat temboknya.  Kata yang tepat sebenarnya bukan berhenti tapi bersembunyi dari ketakutan ku. Pandanganku mencoba awas terhadap situasi dan kondisi yang sedang kuhadapi sekarang, aku merasa telah terkepung.
“dor..dor..”
“Agh…..”
***
"Jim, udah makan?" tiba-tiba sebuah suara serak mengagetkan ku dari kesibukkan menyelesaikan tulisan yang tak kunjung selesai. Padahal besok tulisan ini harus sudah kelar dan kuberikan ke redaksi majalah Mingguan di Kampus yang baru seminggu lalu mengkontrakku untuk membuat cerpen dan dimuat dalam Majalah tersebut. Mereka meminta aku membuat alur cerita tentang detektif, yang dibumbui dengan percintaan. 
Sebenarnya cerita ini sudah biasa dan banyak dituliskan oleh penulis pro, tapi aku tak perduli, yang penting namaku tercantum dalam majalah yang akan diterbitkan sekali sebulan sebagai penulis cerpen. Akan tetapi ini lain ceritanya, entah apa yang menjadi penyebabnya, aku masih juga tak mampu menyelesaikan cerita yang “kejar tayang” tersebut. Otakku benar-benar buntu.
“Jimmmmm….ayo makan!!!” teriak emakku dari dapur yang bersebelah dengan kamar tidurku.
“Iaaa….Maaakk..” sahutku. Aku berlari meninggalkan ketikkan ku yang tak juga kutemukan ujung pangkalnya.
***
“Januar Isya Muharram..!”
“Hadir” jawabku, ketika seorang lelaki tinggi, gemuk, dan berjanggut lebat memanggil namaku selengkap-lengkapnya.
Yah, sebenarnya namaku Januar Isya Muharram. Kata emakku, aku lahir bulan Januari tepatnya waktu itu kalender Islamnya bulan Muharram, dan ketika azan Isya, jadi supaya gampang mengingatnya aku diberi nama sedemikian rupa. Tapi emakku yang tak pernah potong kambing untuk membuat nama itu, diganti sekenanya saja oleh kawan-kawan sewaktu aku masih SMP dulu dengan “JIM”. Biar gaul katanya, kayak “singkong gaul”. Akhirnya emak dan aku juga ikut-ikutan.
Lelaki tersebut adalah dosen mata kuliah psikologi pendidikan-ku. Dari dialah aku bisa punya laptop plus printernya, sebab aku ini bisa termasuk asisten dosen, yang ga perlu digaji dengan sekian persen gajinya, tapi cukup dengan laptop saja, walau ia pernah memberi nilai B pada mata kuliah psikologi umum kemarin.
Kukatakan aku ini “bisa termasuk asisten dosen”, karena aku tidak menggantikan dia mengajar, sehingga masih tidak menutup kemungkinan mendapat Nilai B. Laptop yang kudapat dari dia, karena baru saja menyelesaikan proyek, berupa pengetikan sebuah naskah buku, dan akhirnya buku tersebut laku keras bagi mahasiswa di kampus tetanggaku, tapi sayangnya bukan mata kuliah yang diampu-nya saat ini di kelasku,  jadi aku tidak mengerti isinya, aku hanya disuruh menyelesaikan pengetikan, jangan banyak tanya, cukup kerjakan, eh… dapat laptop walau bekas.
“Januar, ke kantor saya ya sekarang” Katanya sambil ngeloyor pergi sekenanya saja. Belum sempat aku menjawab ia, yang ada malah kawan sekampus ngeledekin
“Cieee, bang asisten, dipanggil ke ruang dosen ni…”.
Dengan wajah cengar cengir aku pergi begitu saja meninggalkan ejekan teman-teman.
Sampai diruang dosen. Tok..tok..tok
“Masuk”.
Assalamu’alaikum… Ada apa ya pak” kata ku. Berharap ada obyekkan lagi untuk ku.
Wa’alaikumsalam… Ni masih ada sisa sedikit dari hasil penjualan buku yang kamu ketik kemarin, lumayanlah untuk nambah uang minyak-mu”.
“Mantab… pucuk dicinta ulam pun tiba”. batinku bersorak
“Wah, makasih ya pak” tanpa malu-malu kuraih uang sejumlah lima ratus ribu rupiah dari atas mejanya. “Ni sih ga bisa ngisi minyak, yang ada bisa jadi DP beli sepeda motor baru ni..”batinku lagi.
Bagaimana mau isi minyak, sepeda motor saja ga punya tuh. He he he malu euy!!
***
“Hufhh akhirnya selesai juga ni tulisan”.
Akupun bergegas mengambil helm yang terletak di meja belajar, kemudian keluar menuju sepeda motor baruku, untuk mengantarkan cerpen pada redaksi majalah di kampusku.
“Ni, cerpen yang di minta kemarin, maaf agak telat sehari” kataku pada redakturnya, yang juga merupakan rekan sekelas di kampusku ini.
“Wah, kirain mentang-mentang sibuk ngerjain proyek dosen, kita-kita udah pada dilupakan” kata Kamdi sang redaktur sambil melirik ke arah Roby dan Dedi yang kebetulan juga ada di ruangan yang sebenarnya hanya cukup untuk meletakkan PC beserta mejanya serta 2 orang saja. Karena memang ruangan ini sepengetahuanku, sangat sulit permohonan pembangunannya, jadilah yang ber-izin di bawah tangga. Tapi lumayanlah, dari ruangan ini bisa menghasilkan rezeki yang lumayan pula.
“Yang pentingkan selesai, mana honorku?”
“Eits, tanpa basa-basi lagi bah, mentang-mentang udah jadi orang sibuk sekarang” kata Kamdi.
“Mantap ga ni ceritanya?” kalo enggak mantap, ntar dipotong seratus persen lho..” tambahnya sambil tersenyum sembari mengambil amplop dari dalam laci meja dan kemudian menyerahkannya padaku.
“Insyaallah”! jawabku, sambil menangkap dengan cepat amplop itu dan tanpa memberikan komentar lainnya.
“Jangan lupa, minggu ke dua bulan depan ya, tema cerpen lusa diinfokan” jerit Kamdi, ketika aku sudah berada di depan pintu ruangan ini untuk langsung pergi, bahkan tanpa pamit. 
Padahal sebenarnya dia tak perlu menjerit, aku masih bisa mendengar dengan jelas, karena telingaku belum tuli, apalagi masih di depan pintu ruangan yang cukup kecil ini.
***
“Laptop yang hebat” gumamku sesampainya aku di rumah dan membuka amplop putih bergaris biru di setiap sudutnya. Uang lima puluh ribu rupiah, honor menulis cerpen yang baru saja kuantar ke Kamdi tadi. Lumayanlah untuk penulis pemula, pikirku. 
Keinginan ku menjadi penulis, terwujud. Walau masih ecek-ecek. Aku bisa menulis, begitu ada ide muncul di otakku ini, tinggal tik tak tek tik tak saja. Tadi dalam perjalanan pulang dari kampus, aku mendapat ide untuk menulis essay tentang dunia pendidikan. Rencananya begitu selesai akan kukirim ke Koran mingguan di daerahku.
Dua hari yang lalu aku membaca opini dosenku di Koran itu, jika bapak itu bisa, aku juga bisa, gumamku. Begitulah yang kuyakinkan dalam hati. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Aku berencana akan mengirimkannya melalui alamat email yang sudah kucatat sebelumnya dari Koran mingguan tersebut. Entah diterima atau tidak, itu perkara belakangan, yang penting menulis.
Walaupun sesungguhnya aku tahu, yang maha hebat itu adalah yang maha mengetahui segala sesuatu di dunia ini yaitu yang di atas sana, tapi aku tak sanggup menahan hatiku untuk tak memuji laptop ku ini.
Sambil terus sumringah di dalam hati, kuketikkan pada layar di Ms. Word dalam laptop yang merupakan hasil tulisan tangan, sebelum punya laptop 2 bulan yang lalu.

LANGKAH BARU
“Sudah waktunya
Membawa langkah dengan besar
Tanpa ragu
Menghentak dan hilangkan gusar
Maju!
Bersama langkah yang baru
Dan sudah memang waktunya
Mengikis resah yang tak pantas
Menghabis ragu yang terbawa
Maka majulah!
Bersama langkah maju

Bersama iman
Bersama amal
Bersama teman
Bersama akal

Majulah!
Dengan langkah-langkah baru

Kisaran, mencoba lagi di 25 Desember 2010.


No comments: