Friday, December 24, 2010

Asrul Maafkan Aku


ASRUL,
MAAFKAN AKU
           Oleh : H a  l i m a h


M
atahari bersinar sangat cerah pagi ini. Sinarnya yang kuning keemasan menyembul dari balik rimbunnya daun pohon sawit dan rambung yang aku lewati. Membawa embun-embun pagi yang menyelimuti kelopak dedaunan tadi malam, kembali menguap menuju langit menjadi awan yang putih bersih. Burung-burung hutan dengan warnanya yang begitu memikat hati juga turut ambil bagian dengan kicauannya yang merdu sambil bertenger di atas dahan-dahan pepohonan. Sehingga udara yang dingin terasa hangat di hatiku. Ditambah lagi oleh celotehan para pekerja yang juga melewati jalan yang sama denganku menuju perkebunan sawit milik Socfindo, sebuah perusahaan ternama di daerah Aek Loba-ku tercinta. Akh…benar-benar pagi yang sempurna.
            Hari ini adalah hari yang sangat istimewa bagi diriku. Karena hari ini bapak dan ibu mengijinkan aku untuk pergi berkeliling kemanapun yang aku mau dengan menggunakan kereta. Padahal selama ini aku selalu diantar jemput oleh abang dan kakak-kakakku, jika bapak dan ibu tidak bisa mengantar jemputku. Termasuk pulang pergi ke sekolah yang hanya berjarak satu kilo meter dari rumahku. Karena mulai hari ini kami libur semester ganjil.
            Rencananya aku ingin mengunjungi Asrul, sahabat dekatku ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Rumahnya terletak di pusat kota Aek Loba. Kami sudah lama tidak bertemu. Ya, sejak kami lulus SD. Aku bersekolah di SMP Negeri 2 Aek Kuasan yang baru dibangun, karena berada di Desa Alang Bonbon, tempat aku tinggal. Sedangkan Asrul bersekolah di SMP Negeri 1 Aek Kuasan, yang berada di pusat kota Aek Loba. Dan sekarang kami telah duduk di kelas 2 SMP. Itu berarti, hampir dua tahun kami tidak bertemu. “Dia juga pasti ingin bertemu denganku.” Kataku dalam hati sambil terus mengingat-ingat masa-masa kami duduk di Sekolah Dasar.
            Tidak terasa Honda Astrea RX King dengan nomor polisi BK6674HF yang aku kendarai, sekarang telah memasuki pusat kota Aek Loba. Tinggal menyeberangi jalan lintas ini, maka kira-kira seratus meter lagi dari Simpang Kebon tempatku berada sekarang, di deretan ruko-ruko berwarna putih itu, aku akan menemukan rumah Asrul.
            “Ini dia.” Gumanku dalam hati sambil mematikan mesin keretaku. Aku berjalan menuju pintu ruko yang masih tetap berwarna putih. Hanya saja pajangan di dalamnya yang agak berubah sediki. Kalau dahulu keluarga Asrul hanya menjual pakaian-pakain jadi. Sekarang sudah bertambah satu etalase lagi di depan rukonya yang kulihat memajang kartu telepon genggam beserta telepon genggam berbagai merek. “ mereka sudah membuka  konter HP juga sekarang.” Gumanku lagi dan tetap terus berjalan menghampiri seorang wanita paruh baya yang kukenal, belaiau adalah ibu Asrul.
            “ Assalamulaikum bu.” Sapaku santun.
            “ Waalaikum salam warahmtullah.” Balasnya sambil berbalik dan menatapku heran. Kemudian langsung tersenyum lebar karena mungkin telah menenaliku.
            “ Ucok ya?” tanya beliau meyakinkan. Karena aku yang dulu dengan aku yang sekarang pasti berbeda. Terutama dari segi fisik. Aku dulu kurus dan kecil, tapi sekarang kata ibuku, aku tinggi besar.
            “ Iya bu. Ini Ucok.” Jawabku sambil mencium tangannya takzim sebagai tanda hormat.
            “ Asrulnya ada di atas. Lagi nonton TV. Biasa kalau lagi liburan. Naik aja langsung ke atas. Dia pasti senang bertemu kamu.” Kata ibu Asrul sambil tersenyum, seolah-olah memang sangat mengetahui persis tujuanku datang ke rumahnya.
            Dan tanpa dikatakan dua kali, aku langsung berjalan menuju tangga rumahnya yang menuju ke lantai dua. Karena aku sudah hapal betul letak rumahnya. Dahulu, rumah Asrul adalah rumah ke dua bagiku. Begitu pula sebaliknya. Rumahku adalah rumah ke dua bagi Asrul. Kami sudah bagaikaan saudara. Kemanapun pergi selalu berdua.
            “ Assalamualaikum….m.” salamku panjang pada Asrul yang sedang asik melihat tayangan di Televisi.
            “ Waalaikumsalam warahmatullah..!” jawabnya dengan nada sangat terkejut sambil memalingkan wajah menatapku tajam. Tak berapa lama kemudian ia setengah berlari menghampiriku dengan wajah penuh senyum.
            “ Hai Cok. Kapan datang?, kenapa tidak menelpon dulu?. Ayo masuk-masuk. Mau minum apa? ” Tanyanya panjang lebar sambil menarikku duduk di sampingnya di dekat TV dan menyodorkan segelas teh botol dingin yang diambilnya dari kulkas di sebelah TV. Tak lama kemudian kamipun terlibat percakapn yang sangat menyenangkan. Mulai dari cerita tentang kenangan-kenangan kami di SD dulu, sampai pengalaman cerita-cerita kami di sekolah masing-masing.
            Setelah hampir dua jam kami bercerita. Akhirnya kami membuat kesepakatan untuk membuat cerita baru dengan pergi bersama ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi. Baik tempat bermain maupun tempat kami sering pergi bersama keluarga. Apalagi hari ini aku telah diberi ijin oleh kedua orang tuaku mengendarai kereta, jadi kami bisa kemanapun juga. Dan aku juga sudah memiliki SIM. Karena, walaupun aku baru duduk di kelas dua SMP, umurku sudah delapan belas tahun. Dan di daerahku, anak seusiaku masih duduk di bangku SMP bukanlah hal yang aneh. Karena daerah kami yang sedikit jauh tertinggal, sulit untuk menemukan sekolah yang dekat dengan rumah. Jadi kalau sudah berumur, di anggap bisa menjaga diri. Karena pulang-pergi ke sekolah jalannya sangat sepi. Sehingga namaku dulu sering jadi bahan pelesetan teman-teman. UCOK alias Umur Cukup, Otak Kurang.
            Setelah mendapatkan ijin dari orang tua Asrul, kamipun berangkat dengan hati yang riang. Kami mengendarai kereta sambil bercerita dan tertawa-tawa. Hingga tidak terasa hari sudah sangat terik. Matahari terasa memanggang kulit. Kami kepanasan dan kahausan. Hendak berhenti tetapi tidak menemukan ruko ataupun orang yang berjualan es karena kami berada di jalan lintas menuju Riau, jadi yang ada hanya hamparan sawah dan pohon sawit. Kemudian kamipun sepakat untuk menaikkan gas kereta agar lebih cepat sampai di kota terdekat, paling tidak menemukan tempat untuk bisa istirahat sambil minum es.
            Tidak lama kemudian keretaku melaju dengan sangat kencangnya. Tiba-tiba di daerah yang jalannya menurun dan menikung, ada sebuah mobil kijang dari arah berlawanan yang juga melaju kencang. Kami sama-sama sangat terkejut. Dengan cekatan aku membanting stang kekiri dan meliuk-liuk diantara truk-truk besar dengan kecepatan yang masih tinggi. Berusaha mengendalikan kereta dengan menurunkan kecepatan dan mencari posisi aman di belakang sebuah truk besar. Namun sebelum aku sempat berada pas di belakang truk tersebut dan menurunkan kecepatan, tiba-tiba aku melihat di depanku ada sebuah truk besar dan sebuah lubang yang cukup dalam ditengah-tengah jalan beraspal yang akan kulalui.
            Dengan sekejap mata keretakupun terperosok ke dalam lubang tersebut dan terhentak sangat kuat. Sehingga aku merasa tulang-tulang punggungku sakit semuanya. Aku juga merasa pegangan Asrul di pinggangku juga terlepas. Bersamaan dengan itu aku mendengar bunyi “Kreekg”  dan sebuah jeritan. Kemudian gelap.
******
            Sakit. Saat aku membuka mata dan berusaha menggeliat di atas tempat tidur, aku merasa badanku ”ngilu” semua. Tapi rasa itu kemudian hilang ketika aku sadar sekarang sedang berada di atas tempat tidur rumah sakit. Bapak, ibu dan saudara-saudaraku yang lain kemudian datang menhampiriku ketika mereka tahu aku terbagun. Dan dari cerita ibu aku tahu kalau aku sudah satu minggu pingsan. Dan dari ibu juga aku tahu kalau sekarang Asrul masih berada di ruanag ICCU karena mengalami koma karena geger otak berat dan kaki kirinya harus di amputasi. Menurut dokter kesembuhannya hanya tinggal tiga puluh persen. Kalaupun sadar, Asrul akan lumpuh seumur hidup dan tidak bisa mengingat apa-apa lagi.
            Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Aku juga merasa sangat bersalah. Jika saja waktu itu aku tidak mengajak Asrul pergi, maka kejadian ini tidak akan terulang lagi.
            Dua hari kemudian aku sudah diijinkan pulang oleh dokter. Tetapi sebelum pulang aku menyempatkan diri melihat kondisi Asrul yang masih dipasangi selang diseluruh tubuhnya. Aku menangis sejadi-jadinya melihat keadaan Asrul hingga terduduk di atas lantai, karena terus berfikir bagaimana masa depannya nanti dengan keadaanya yang seperti ini. Dia tidak akan bisa menjadi polisi seperti yang ia cita-citakan semenjak kecil.
            Tak lama kemudian, sebuah tangan lembut merangkul bahuku. Ibu Asrul. Ia tersenyum walapun air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Ia malah menghiburku dan mengatakan bahwa ini semua sudah menjadi kehendak yang Maha pemberi kehidupan. Aku harus kuat dan tetap mendoakan untuk kesembuhan Asrul.
            Setelah merasa agak enakan akupun permisi pamit mohon pulang. Sebelum keluar kamar, akupun mendekati Asrul yang terbaring tidak berdaya. Mendekatkan mulutku ketelinganya sambil berbisik “ Asrul, maafkan aku.”

No comments: