Sunday, April 1, 2012

CERPEN ISTRIKU


UNTUK SENYUM ANAKKU
Oleh: Halimah Saufi
            “Bagaimana Dek? Sudah turun panasnya?” Tanya suamiku di sore yang terasa lebih panas dari biasanya ini sambil menghirup kopi yang kusuguhkan untuk menyambutnya pulang kerja.
            “Belum Bang.” Jawabku sambil duduk disampingnya.
            “Adek masih punya uang berapa?” Tanya suamiku lagi.
            “Maaf Bang. Tinggal dua puluh ribu lagi. Tadi pagi Alul minta untuk membeli buku tulis empat buah dan sebuah buku gambar. Katanya sudah habis. Jadi uang sisa yang ada, adek belikan untuk keperluannya sekolah.” Jawabku lagi seraya menjelaskan. Aku tidak ingin dikatakan boros dan menggunakan uang belanja untuk hal-hal yang tidak seharusnya. Kulihat suamiku hanya mengguk-anggukkan kepala sambil menyeruput kopi yang kusuguhkan kepadanya. Kami sama-sama terdiam.
Sudah dua hari anakku yang ke dua, kahfi, yang baru berumur Sembilan bulan terserang demam. Sebagai ibunya tentu aku sangat khawatir. Untuk membawanya berobat kedokter spesialis, jujur saja, aku tidak berani. Aku hanya membawanya berobat ke bidan desa. Bukan aku tidak mau ataupun takut. Tetapi dengan gaji suamiku yang cuma seorang guru honor di sekolah swasta itu tidak mungkin. Walaupun ia mengajar dari pagi hingga sore hari dengan jam penuh dari Senin hingga sabtu. Gaji yang diterimanya setiap bulan sungguh sangat tidak mencukupi untuk semua kebutuhan kami. Uang yang diberikannya setiap habis gajian langsung aku pos-poskan kesemua amplop kebutuhan kami. Seperti membayar rekening listrik, rekening air, sewa rumah, dan belanja kebutuhan sehari-hari. Itupun sudah sangat ku hemat. Belum lagi cicilan sepeda motor kami. Sehingga bila ada hal-hal tak terduga seperti ini, aku sangat ngos-ngosan sekali memikirkannya.
###
            Malam telah larut. Kulirik jam beker yang sudah tidak bisa berbunyi lagi, kado pernikahan kami sembilan tahun yang lalu sudah pukul setengah tiga pagi. Tapi mataku masih tidak dapat terpejam. Aku meraba kening Kahfi dan sekujur tubuhnya. Panasnya masih belum turun. Dan sekali-kali ia terdengar merintih kesakitan. Aku hanya bisa mengompresnya dengan air hangat sambil bermunajat terus pada Allah untuk kesembuhan anak kami.
            “Masih panas juga Dek?” Tanya suamiku tiba-tiba sambil memegang kepala Kahfi. Mungkin ia terbangun mendengar rengekan Kahfi.
            “Iya Bang.” Jawabku singkat. Karena tanpa kujawab pun ia pasti tahu dari memegang kepala Kahfi.
            “Besok pagi, sebelum abang berangkat mengajar, kita bawa Kahfi ke dokter Spesialis ya.” Katanya sambil menatapku.
            “Biayanya?” Tanyaku bingung. Lalu kami sama-sama terdiam.
            “Tabungan Abang masih ada.” Kata suamiku kemudian. Memecahkan kesunyian diantara kami.
            “Tabungan yang mana?” Tanyaku penuh selidik. Karena aku begitu sangat tahu sekali dengan pemasukan suamiku. Dia tidak mungkin punya uang. Apalagi tabungan. Itu sangat tidak mungkin.
            “Sudahlah, jangan difikirkan sekarang. Besok pagi kita bawa Kahfi ke dokter.” Kata suamiku yang mungkin mengetahui isi hati dan fikiranku.
            “Tidurlah.” Katanya kemudian.
            “Adek belum ngantuk Bang”. Kataku yang tidak mungkin bisa tidur melihat keadaan Kahfi seperti ini.
            “Kahfi biar Abang yang jaga. Sudah tiga malam Adek kurang tidur. Nanti malah ikut tumbang. Siapa yang akan menjaga kami?” Katanya lagi sambil membelai kepalaku dengan hangat.
            “Tapi jangan lupa Shalat Lail dulu ya.” Katanya dan kusambut dengan anggukan. Karena walaupun kehidupan ekonomi kami pas-pasan, kami tidak ingin rohani kami juga hidup pas-pasan. Allah lah tempat kembalinya sesuatu itu. Tempat kami bisa berbicara dan mengadu dengan beban dan gejolak hati.
###
            Pagi ini setelah shalat subuh, aku cepat-cepat bergegas membersihkan rumah dan membuat sarapan untuk suamiku dan Alul yang akan berangkat sekolah. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Karena kulihat Kahfi tidur dengan pulas. Panasnya sudah turun. Ia juga tidak merengek-rengek lagi. Aku benar-benar bahagia.
            “Bang, terimakasih ya.” Kataku pada suamiku yang telah siap-siap berangkat mengajar.
            “Untuk apa?” Tanyanya sambil mengernyitkan dahi tidak mengerti.
            “Sudah memberikan anak kita tabungan Abang untuk berobat.” Jawabku menjelaskan. Kemudian aku melanjutkan “Kalau Adek boleh tahu, uang untuk berobat Kahfi semalam dari tabungan abang yang mana?” tanyaku ingin tahu sambil memegang jari-jarinya dengan lembut. Bukan aku tidak percaya, tapi uang berobat Kahfi ke dokter spesialis kemarin sangat besar, tiga ratus lima puluh ribu. Rasanya aku tidak pernah mengetahui suamiku menyimpan uang. Semua gajinya telah diserahkannya padaku. Jadi aku sebagai istri rasanya ingin tahu uang itu darimana. Aku tidak ingin suamiku terlibat dengan rentenir.
            Mengerti dengan kegalauan hatiku. Suamiku gentian meremas jari-jari tanganku dengan lembut. “Adek jangan khawatir. Uang yang kita gunakan untuk berobat Kahfi adalah uang halal.”
            “Tapi dari mana bang?” tanyaku lagi masih dengan nada penuh ingin tahu.
            “Kan sudah Abang bilang dari tabungan Abang, sayang.” Jawabnya dengan nada tenang.
            “Tabungan yang mana Bang?” Tanyaku lagi karena tidak puas dengan jawabannya.
            Sambil menarik nafas dalam dan semakin erat menggenggam jari-jari tanganku iapun akhirnya menjelaskan tentang uang tabungannya itu yang sebenarnya adalah uang dari menggadaikan surat-surat sepeda motor kami kepada teman dekatnya. Ternyata sudah dua bulan yang lalu sepeda motor itu cicilannya lunas. Ia tidak tega melihat aku setiap hari meneteskan air mata untuk menangisi keadaan Kahfi. Jadi sehabis shalat magrib kemarin, ia langsung ke rumah teman dekatnya yang memiliki toko buku untuk menggadaikan surat-surat itu tanpa bertanya dulu kepadaku. Karena bila ditanyakan aku pasti tidak akan mengijinkan.
Penjelasannya yang panjang lebar membuatku menitikkan air mata. Bukan karena sedih, tapi bahagia sekali karena telah diberikan seorang suami yang begitu menyayangi kami. Apa yang dilakukannya sangat berharga. Semua itu demi senyum anakku. Senyum anak kami. Pemberian Allah yang sangat berharga sekali. Terimakasih ya Allah untuk karuniamu ini.
Kisaran, 4 Januari 2012
Halimah Saufi, mantan jurnalis harian Serambi Indonesia, Aceh, dan alumni PW. IPM Sumut. Saat ini aktif sebagai anggota Leutika Reading Society (LRS) Chapter Asahan. 

No comments: