Tuesday, April 10, 2012

CERPEN ISTRIKU

LAYANG- LAYANGKU TERBANG TINGGI
Cerita Pendek oleh: Halimah


(CERPEN ISTRIKU DI MAJALAH MAWADDAH (media dakwah pemuda Muhammadiyah Asahan) EDISI I APRIL 2012)

s
ayup-sayup suara bacaan Al-Qur’an terdengar. Ku gerakkan tubuh ini yang sedikit terasa kaku karena posisi tidur yang mungkin salah, meringkuk seperti ulat bulu untuk menahan udara dingin  yang masuk melewati celah-celah jendela kamarku yang terbuat dari kayu dan modelnya seperti daun jendela tempo dulu, bersisir dan berjarak dengan ukuran satu kali dua. Hampir sebesar daun pintu. Tapi itulah yang begitu ku inginkan selama ini. Agar udara bebas keluar masuk di kamar ini. Bukankah udara segar membuat hati juga segar?
Ku gerakkan tangan kananku meraba bantal di sebelahku. Tidak ada, suamiku tidak ada. Mungkin ia sudah bangun terlebih dahulu untuk melaksanakan shalat sepertiga malam, dan duduk bertafakur atau membaca al-Qur’an menuggu waktu subuh.
Aku bergegas bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi dan berwudhu. Kemudian berjalan menuruni tangga menuju ruang shalat dan kamar anak-anak untuk mengajak mereka berjamaah, karena kamar kami berada di lantai dua. Untuk menghemat lahan. Resiko memiliki tempat tinggal berada di pusat kota. Gantinya, lahan tersebut kami gunakan sebagai taman bermain anak-anak.
Eh, ternyata suamiku tidak berada di ruang shalat, tetapi di perpustakaan keluarga yang sekaligus merangkap sebagai ruang kerja dan belajar untuk anak-anak. Ya, kami sangat tergila-gila dengan buku, sehingga ruang perpustakaan ini lebih besar dari ruangan yang lain, lima kali enam, dengan lemari-lemari besar yang penuh buku. Mulai dari kami kuliah dulu hingga sekarang. Tidak terasa sudah lima belas tahun ruang perpustakaan ini berdiri.
Aku melongokan kepala ke dalam karena pintunya yang terbuat dari kaca tidak tertutup. Lampu neon yang dinyalakan juga sangat terang. Lokasinya yang berada di bawah tangga kamar kami, membuat ruangan ini lebih terasa dingin dan hening.
Apa yang dilakukan suamiku di ruangan ini sampai ia tertidur di atas meja seperti itu? Aku bertanya-tanya dalam hati sambil berjalan perlahan mendekati mejanya. Aku tidak ingin langkah kakiku membangunkan tidurnya dengan tiba-tiba, aku ingin membangunkannya dengan satu kecupan di keningnya, karena hal itu sangat disukainya.
Layar komputer suamiku belum mati rupanya. Saat aku ingin menutupnya, tiba-tiba layar komputer itu terbuka dan menampilkan halaman terakhir yang dibuka oleh suamiku. Hei, apa itu? Jantungku tiba-tiba berdetak tidak karuan. Subhanallah, halaman terakhir yang dibuka oleh suamiku adalah akun facebook miliknya. Dan di layar itu terlihat ada sebuah surat dan foto seorang perempuan berjilbab besar dengan senyum manis.
Aku segera menghapus rasa resahku dan segera membesarkan layar monitor untuk membaca isi surat tersebut. Tertera disitu bahwa pengirimnya menuliskan dan mengirimkan surat itu jam sebelas malam. Saat aku bergerak tidur tadi malam setelah membaca kisah-kisah Nabi pilihan. Ya..aku ingat, suamiku memintaku tidur dahulu karena masih ada hal yang ingin dikerjakan katanya. Ia tidak ingin kutemani karena ia takut aku akan lelah sekali pagi ini untuk menyiapkan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah.
Dengan berlahan-lahan aku membaca surat yang sudah terlihat jelas dilayar monitor.
Assalamu’alaikum…
Ustadz yang dirahmati allah, saya ingin menyampaikan sesuatu. Mungkin bagi ustadz ini terdengar sangat aneh dan lucu. Karena wanita seperti saya yang memakai jilbab besar, ikut pengajian dan berasal dari keluarga baik-baik bersikap seperti ini. Tapi sungguh saya tidak tahu lagi harus berkata dan bercerita kepada siapa lagi tentang isi hati saya ini. Saya harap ustadz mau memberikan jawaban yang bisa memuaskan hati saya, dan membuat saya tetap taat pada Allah. Karena jujur saja, masalah ini membuat saya berfikiran kalau Allah itu tidak adil pada saya.
Dadaku semakin berdegup kencang membaca bait pertama surat perempuan yang sepertinya sangat ku kenal ini. Dengan rasa penasaran yang luar biasa, aku melanjutkan membaca surat di layar komputer suamiku ini. Namun tetap berlahan-lahan karena takut membangunkan suamiku yang masih terlihat sangat lelap.
Kenapa ya,,,selama masa kehamilan ini saya belum pernah merasa menikmatinya. Setelah terbebas dari ngidampun begitu. Banyak orang bertanya-tanya, di usia kehamilan 4 bulan, kaki dan tangan sudah pada bengkak, badan pegal linu. Nyeri dan berat rasanya. Saya masih berusaha melakukan aktivitas seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah dan bekerja di luar. Karena saya berusaha melayani semua kebutuhan suami saya. Tapi apa yang saya dapatkan? Jangankan perhatian hanya untuk menenangkan, sapaan atau bicara pun tidak ada.

Haaaa..mil? Siapa? Aku jadi semakin penasaran dan melanjutkan kebait berikutnya.
Disaat saya curhat tentang apa yang saya rasakan. Tidak ada respon, basa basi, apalagi sentuhan (jauh sekali kalau saya berharap ini). Padahal saya hanya ingin terbuka saja tentang rasa sakit saya, kaki saya yang bengkak terasa berat saat berjalan. Saya hanya mengharapkan pengertiannya. Karena yang saya tahu saat hamil diperlakukan sedikit berbeda dengan yang biasanya., dan saya berharap sedikit pengertian saja. Ingin sedikit dimanja, tapi malah suami saya yang selalu minta dimanja. Kalau ada timbal baliknya ya ga papa. Tapi ini tidak.
Jawabannya Cuma bilang “Biasa itu, memang seperti itulah kalo hamil”. Tanpa ada pembicaraan lebih atau sentuhan. Malah semakin minta ini dan itu. Sepertinya curhat saya barusan tidak ada arti apa-apa. Oleh karena itu, tidak pantaskkah saya merasa sedih, kecewa, dan terluka atas semua ini? Tidak ada empati sama sekali darinya. Padahal saya sangat dengan senang hati melakukan semua tugas saya jika suami saya perhatian. Walaupun Cuma basa basi.
Tapi jangankan diskusi tentang apa yang saya rasakan. Mengoleskan minyak di kaki saya saja tidak mau. Pada akhirnya saya berontak.saya ingin keluar dari semua ini. Bahkan sampai saat ini masih terbersit di hati saya menyesal telah menikah dengannya dan menjadi isterinya. (karena saya tidak bahagia). Salahkah saya?
Saya malah dibilang istri durhaka, manja, dan terlalu berlebihan. Hati saya hancur. Apa benar saya terlalu berlebihan? Padahal hanya sedikit yang saya ungkapkan, masih ada rasa sakit yang saya sembunyikan. Karena saya berusaha ingin bersabar.
Bayi kami memang sehat-sehat saja. Tapi bagaimana dengan saya? Apa tidak perlu diperhatikan? Kehamilan ini menguras tubuh saya, itu yang saya rasakan, saya heran, padahal teman dekat dengan ustadz. Bahkan belakangan ikut pengajian dengan ustadz, tapi kenapa seperti itu?

Eeegh..sejak kapan suamiku buka biro jasa pencurhatan ya? Aku bengong kembali membaca surat yang ditulis perempuan tersebut. Tapi mungkin tulisan itu dikirimkannya pada suamiku karena ia dan suaminya kenal baik dengan suamiku. Dengan cepat aku membuka kembali halaman akun facebook suamiku untuk meneliti wajah perempuan malang ini. Pasti aku kenal. Benar saja. Ketika foto profilnya kubuka lebar, aku mengenal perempuan berjilbab besar yang tersenyum manis ini. Ia adalah istri teman dekat suamiku.
“Oalah, ada-ada aja.” Aku berguman tanpa sadar. Sehingga kepalaku yang sejajar dengan telinga suamiku yang sedang tertidur pulas tiba-tiba terbangun dengan terkejut.
“Ada apa dek?” katanya dengan mata merah yang masih tersipit-sipit dan dada yang turun naik menahan rasa terkejutnya melihat keberadaanku di sampingnya dan mendengar suaraku yang tak sengaja besar.
Ngak papa. Tadi baca surat di layar Buya. Kasian kali sama perempuan itu. Ternyata Nda kenal sama yang ngirim. Jadi ya keceplosan aja. Maaf ya uda buat terkejut banguninnya?” kataku sambil mengecup kening suamiku tercinta yang masih terduduk di depan layar komputernya.
“Oooo..iya. Ini surat  dari Yoli, istri Sukendar teman Buya waktu SMA dulu. Yaa Nda pasti kenallah.” Jelas suamiku. Yang kusambut dengan senyum dan anggukan kepala tanda mengiyakan kata-katanya.
“Dia sekarang sedang hamil muda, tapi Sukendar cuek-cuek aja. Padahal dia ingin diperhatikan.”
Trus Buya bilang apa sama dia?” tanyaku langsung ingin tahu.
“Itulah yang Buya fikirkan dari tadi malam. Apa yang harus Buya katakan. Tapi sekarang baru dapat jawabannya.” Katanya sambil tersenyum padaku.
“Apa?” tanyaku penasaran dengan senyum suamiku itu.
“Tugas Nda lah yang menjelaskan kepada Yoli. Sebagai perempuan kalian pasti lebih enak ceritanya nanti ya.” Katanya sambil berdiri dan mengecup keningku.
“Loh...diakan curhatnya sama Buya?” tanyaku bingung karena tidak tahu harus mengatakan apa dengan istri teman suamiku itu.
“ Ya, jawab aja apa yang Nda rasakan saat hamil. Atau apapunlah. Istri Buya kan cerdas.” Jawab suamiku sambil mengedipkan mata dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam perpustakaan pribadi kami ini.
Selanjutnya aku yang tertegun dan bingung menyusun kata-kata apa yang pas dan cocok untuk membalas surat Yoli. Karena seingatku, dari kehamilan pertama sampai anak ke empat kami, suamiku sangat perhatian. Dia tidak pernah memintaku melakukan pekerjaan yang berat. Selalu mengelus-elus perutku. Mengajak janin kami bercerita. Membelikan segala keinginanku saat hamil, terutama makanan-makanan sehat, ia tidak ingin anaknya kurang gizi katanya. Dan malahan sangat memanjakan aku. Jadi apa yang harus aku jawab untuk permasalahan istri temannya ini?
Bukankah setiap rumah tangga pasti punya masalah. Hanya saja ada yang dengan cepat dan sigap mampu menghadapinya. Namun tak jarang pula ada yang kebingungan sehingga seantero dunia mengetahui permasalahan keluarga mereka. Mungkin itu semua memang harus kembali kepada iman dan amal seseorang. Sekuat apapun badai menerjang, bila pondasi hati kuat bertahan, pasti akan berlalu tanpa terasa.
Agh…inilah perjalanan hidup. Semua penuh lika-liku. Hidup berumah tangga seperti menerbangkan layang-layang. Harus bersahabat dengan angin. Menguasai teknik dengan baik. Jika ingin layang-layang terbang tinggi dan tidak tersangkut di dahan-dahan pohon, lakukan dengan sepenuh hati. Konsentrasi tinggi.
Mungkin permasalahan utama Yoli dan Sukendar terletak pada prinsip dan cara hidup mereka masing-masing di dalam keluarga sebelum menikah. Mereka bertahan dengan kekuatan sendiri. Padahal seharusnya tidak. Suami istri bagai satu tubuh, harus berjuang bersama dan saling melengkapi. Memang tidak mudah, tetapi rasanya tidak salah bila diusahakan dengan sekuat tenaga.
Yap! Mungkin hal itu yang akan aku diskusikan dengan Yoli bila nanti kami beretemu. Karena kalimat terakhir di dalam suratnya itu membuatku sangat miris. Ia membawa-bawa suamiku dan pengajiannya pastilah karena beban hati yang dirasakannya  begitu berat. Paling tidak, aku tidak ingin ia berfikiran buruk tentang suamiku dan rumah tangga kami.
“Jangan dipikirkan sekarang. Yuk kita shalat. Sudah hampir habis subuhnya. Anak-anak juga sudah siap tuh.” Kata suamiku yang muncul dari kamar mandi berjalan menuju ruang shalat untuk berjamaah bersama. Dan ternyata anak-anak sudah bangun. Mereka sudah siap di shaf masing-masing. Sungguh indah setiap pagi yang kujalani bersama suami dan empat orang buah hati yang begitu santun dan taat beribadah. Ya Allah, terimakasih untuk surga dunia-MU ini. Layang-layangku telah mampu terbang tinggi. >>>
Halimah, S. Th. I., Saat ini aktif sebagai anggota Leutika Reading Society (LRS) Chapter Asahan.

No comments: